Monday, May 31, 2004
NGAMEN DOA
Kini sudah ada orang yang ngamen pake doa, di bus 86 jurusan Kota-Lebak Bulus. Masya Allah, di bus yang selalu penuh sesak selepas jam 4 sore, yang selalu menyimpan seabreg copet dengan kemampuan di atas rata-rata, ada orang di sana yang berdakwah. Mengutip ayat ini-itu, terutama tentang hidup sesudah mati. "Cintailah orang tuamu pasti kamu dicintai Allah," katanya, yang sudah saya dengar sewaktu mulai bisa melafalkan alif-ba-ta.
Aduh biung, gejala apa ini? Mungkin hanya orang malas kerja? Krisis yang belum berakhir? Kemiskinan? Ah, dia mengutip hadis lain tentang agama. "Agama itu adalah berbuat baik," begitu katanya. Seharusnya ditambahkan, agama juga berusaha dengan baik, dan dakwah dengan baik? Dipake ngamen, maksudnya. Mengumpulkan satu-dua receh.
Saya lihat dia cuma dapat seribu. Saya tahu ketika dari kantong bekas wadah permen itu ia mengeluarkan perolehannya karena kenek meminta tukaran receh seceng. Merunduk-runduk ketika menyodorkan plastik itu. Masih 40, cing! Mukanya masih bersih, dengan peci yang mencong. Mungkin belum terlalu lama terkena polusi Jakarta. Menyapu jalan juga bukankah pekerjaan halal?
Ah, Jakarta. Bikin orang betah mengutuknya.
Tuesday, May 18, 2004
DENDAM
Di Bandara itu, di layar tivi itu, Ferry Santoro melambai. Tersenyum. Matanya basah. Lalu merangkul istri dan anaknya. Sebuah pertemuan yang mengharukan. Topinya hampir jatuh.
Saya menonton adegan itu dengan bulu tangan yang jadi kasap. 11 bulan bukan waktu yang sebentar dalam tawanan senapan, antara harapan pulang nama dan pulang badan.
Kita bersyukur ia akhirnya bebas. Ia mungkin akan segera menjadi konsumsi umum, lewat wawancara televisi, sehimpun paragraf di koran dan majalah, atau radio. Semua orang menunggu dan ingin mendengar bagaimana ia hidup dalam hutan-hutan Aceh. Mungkin ia juga akan segera bikin beberapa buku, biografi yang seperti novel, atau sehimpun cerita lewat rekaman gambar atau suara.
Tapi di televisi itu kita juga melihat di Aceh, para ibu dan anak-anak meraung, ketika suami dan ayah mereka diangkut ke Jakarta. Sebuah awal dimulai untuk hidup yang rudin, dengan cap yang tak kenal ampun: keluarga pemberontak. Anak-anak itu mungkin sudah "mati" ketika merengek pada susu ibunya. Sebuah gong dendam telah ditabuh untuk menebus penderitaan. Anak-anak itu akan mencatatnya dalam memori yang kelam, tentang sebuah perang...perang...perang!
Saya, mungkin juga kita, sulit merumuskan sebuah perasaan ketika melihat dan membayangkan situasi seperti itu. Pertikaian mungkin belum akan berakhir.
Thursday, May 13, 2004
GRAFOMANIA
Seseorang menulis sehimpun catatan harian pada sebuah buku tebal. Ia menulis dengan detil yang mengagumkan tentang apa saja yang ditemuinya dalam keseharian. Ia tak peduli untuk apa catatan riwayat hidup itu ia bikin. Seseorang itu hanya menulis, dan tak pernah dibaca lagi hingga kini, sampai menghasilkan bertumpuk-tumpuk diari.
Lalu, ia memasuki sebuah peradaban baru, sebuah kebebasan baru, sebuah peranti demokrasi baru, sebuah internet. Ia pun tak perlu buku tebal yang akan berdebu itu. Seseorang itu menuliskan sehimpun catatan hariannya di sana. Ia menulis seperti mendapat mainan baru. Ia terus menulis di sana ada atau tanpa pembaca.
Adakah ia, dan juga kita, telah menjelma jadi seorang grafomania? Istilah Milan Kundera untuk menyebut mereka yang menulis sehimpun catatan bukan untuk sebuah khalayak yang mereka kenal. Kaum grafomania, menulis apa saja yang ditunjukan untuk siapa saja, sayangnya mengenai hal-hal yang tak penting. Penulis blog yang sedang jatuh cinta akan menuliskan kekalutan perasaannya di halaman itu. Seorang grafomania, akan mencetak keasyikan itu dan menerbitkannya. "Versi lain dari kekuasaan yang mencemaskan," begitu kata Kundera.
Adakah ini masih berlaku? Internet adalah dunia yang diringkas: catatan putus cinta itu tercetak dan tersebar begitu kursor menekan papan "publish post".
Suara Kundera memang datang dari abad 20, ketika setiap negara punya batasnya yang tegas dan setiap warga negara punya identitas yang jelas. Ia sendiri disanjung di Eropa setelah terusir dari Ceko dan mendarat di Prancis. Tapi dengan itu Kundera seperti meneropong abad 21 yang ditandai dengan satu bagian internet yang merevolusi diari: weblog.
Wednesday, May 12, 2004
SETAHUN
: arline dan mikail
Tak selamanya lupa bisa membebaskan kita. Ini lupa tak menyeranta sewaktu ulang tahun tiba. Kita sudah setahun rupanya. Apa yang kita dapat? Jarak Bakauheuni-Merak yang jadi rutin dan terukur oleh jeda tidur sonder dengkur. Barangkali, sebab itu, setahun jadi jarak yang hampir lupa: tanpa i love u, candlelight dinner, atau sandek. Tapi percayalah, lupa ini tak akan menjerat cinta yang sudah terikat: padamu.
Wednesday, May 05, 2004
JULIAN PO
Apa yang akan kaulakukan jika semua orang bertanya dengan menuduh: siapa yang akan kaubunuh? Padahal kau datang ke kota itu sekadar singgah, sebelum melihat pelangi yang megah, laut dan lembah, nun di sebalik wilayah. Maka, kau mungkin akan seperti Julian Po. Dia, dengan gugup dan berdegup, menjawab: membunuh diri sendiri! Orang-orang percaya, seperti bebas dari sebuah ancaman, lalu menanti apa yang akan terjadi pada akhir hidup seseorang.
Begitulah. Julian Po kini sudah jadi misteri, sekaligus kekaguman, bagi orang-orang kota kecil Appalachia itu. Mereka datang silih berganti ke kamar losmen tempat Po menginap dengan bebas. Mereka ingin tahu sebab apa Po ingin bunuh diri. Bahkan seseorang menggelar lotre dengan satu taruhan, "Apakah Po akan mati hari ini?" Maka anak-anak, remaja, ibu dan bapak, menguntit kemana pun Po jalan-jalan menikmati cuaca kota itu.
Mungkin karena patah hati. Maka Lilah Wellech, yang masih bergairah di ranjang tapi punya suami impoten, menyambangi dengan busung dada dan mata menggoda. Lilah kecele, karena bukan karena perempuan Po berani mengakhiri hidupnya. Lalu ada Lely, si bisu pelayan losmen, yang juga menaruh hati pada sikap hidup pemuda Kroasia yang merekam hidupnya melalui kaset tape recorder itu.
Pendeta Bean tak kurang ibanya. Ia datang dengan Injil dan petuah tentang hidup yang berguna. Tuhan dan sorga. Po menjawab dengan enteng. "Hidup ini," katanya, "tak lebih dari penderitaan yang dipulas, buat apa juga susah-susah mikir Tuhan atau neraka." Bean kagum. Selepas itu ia campakan Injil dan mengumumkan kepada jemaatnya bahwa ia kini sudah tak ber-Tuhan. "Mungkin Dia tidak ada," katanya.
Lalu ada Sarah yang telah menunggu Po seumur hidupnya lewat petunjuk sebuah mimpi. Sarah telah merajut baju hangat yang khusus dibuat untuk menyambut kedatangan Po. Mereka pun terlibat asmara yang sulit dirumuskan. Selepas bersanggama, Sarah lari ke tepi jembatan. Di sana ia terjun. "Kita akan hidup selamanya di sorga,"tulis Sarah di secarik surat yang ia tinggalkan di ranjang. Sarah tahu, dan percaya, Po tak lama lagi akan menyusulnya lewat kematian.
Hidup Po makin kacau karena dirungrung keingintahuan orang-orang. Omongannya saat terpojok dulu itu kini telah jadi sebuah janji bagi warga. Dan mereka menunggu kapan hari yang tepat itu tiba. Lama janji itu tak kunjung dilaksanakan, bahkan dengan korban dan petaka, warga akhirnya datang menuntut. "Kapan kau akan mengakhiri hidupmu, Tuan Po?"
Po, tentu saja, tak bisa menjawabnya dengan cepat. Ia bilang besok. Padahal itu waktu yang sekadar diucapkan untuk menghindar pertanyaan. Pagi-pagi, Po mengepak kopernya. Ia berniat kabur. Tapi warga yang tak sabar segera menyeretnya kembali dan menanggih janji itu. Apa boleh buat. Po berjalan menunju pinggir kota ke tepi laut diiringi warga. Di sana, ia mengakhiri hidupnya. "Semua sungai bermuara ke laut," katanya," tapi laut tak pernah penuh." Ia pun menuntaskan keinginannya menikmati keanggunan pantai.
Ini film humor, sesungguhnya. Ceritanya menghibur tanpa harus ngakak. Ada yang mengendap dari kisahnya, saat di layar itu muncul Director by Alan Wade, lalu sederet nama pendukung film yang dibikin pada 1997 itu: apa jawabmu jika semua orang bertanya tentang sesuatu yang tak kau lakukan?
Subscribe to:
Posts (Atom)