Hallo, Mikail...
Tak terasa ya, kamu sudah jalan enam bulan sekarang. Tubuhmu makin liat dan kuat kalau menggerinjal dari pangkuanku. Rasanya, tiap kali kupangku beratmu kian bertambah saja. Aku bersyukur kamu tumbuh sehat. Juga agak-agak nakal.
Kamu lebih suka main dibanding menghabiskan susu dalam botolmu. Kamu lebih suka memain-mainkan botolnya dibanding menyesap isinya. Kamu juga lebih memilih mengobrol dibanding makan biskuitmu. Kalau ada orang omong sementara kamu sedang memegang piring biskuit, kamu lebih memilih menumpahkan biskut cair itu dan menatap orang yang omong itu.
Biarlah kamu nakal. Aku senang. Itu tandanya kamu cepat merespon sekelilingmu. Mungkin kamu sudah mengerti apa yang aku omongkan, tapi belum bisa menjawabnya dengan bahasa. Suatu saat kamu akan tahu bahwa kita punya bahasa. Bukankah ibumu sudah mulai mengajari kamu membaca?
Seringkali aku kangen menggendongmu. Keluar rumah saat embun masih menggumpal di ujung-ujung daun bambu di depan rumah kita. Kamu suka betul melihat angkot yang hilir mudik di jalanan itu. Juga kicau burung kakeknya Lala yang sudah menjerit-jerit membangunkan orang-orang. Kamu suka ketawa kalau mendengarnya. Mungkin aku berdosa sering kangen seperti itu.
O, ya. Ini tentang namamu. Aku dulu mencarikan nama untukmu begitu kesusahan. Setiap dapat satu nama ibumu kurang setuju. Aku cari nama lain. Akhirnya dapat Mikail dan ibumu setuju. Mikail adalah nama yang bagus. Itu nama malaikat pemberi rizki. Aku berharap nanti kamu seperti malaikat itu. Jadi orang dermawan dan tak kikir.
Lalu Randu. Aku ingat aku dan ibumu dulu bertemu di bawah pohon randu di depan kampus kami. Itu taman kenangan bagi kami. Di sana, di bawah pohon randu yang gugur kapuknya, kami duduk-duduk dan mengobrol. Kapuk-kapuk yang berjatuhan itu tersebar memenuhi taman, seperti salju yang sedang turun. Pohon randu itu telah meneduhi setiap orang yang datang dengan lelah dan menghasilkan ribuan sarjana karena mahasiswa belajar dan mendiskusikan laporan praktikum di sana, tentu saja sambil pacaran :-)).
Ke taman itu orang-orang datang dan ketemu dan membuat janji. Aku sendiri mendapat pelajaran jauh lebih banyak di taman itu dibanding di ruang-ruang kuliah yang apak. Aku tak juga bisa cepat memahami penjelasan guru biologi yang ruwet tentang anatomi tumbuhan. Seorang guru yang hanya ingin tahu bagaimana mahasiswa menjawab setiap pertanyaannya dalam lembar-lembar ujian sesuai teks, bukan bagaimana sebuah jawaban disusun.
Tapi pohon randu itu kini terancam punah. Orang-orang di sana mau bikin mal, yang katanya: sebuah pusat bisnis pertanian yang mewah. Kudengar, pembangunan gedung itu telah bikin banjir ruang-ruang kuliah dan mengusir mahasiswa yang sedang praktikum. Semoga Tuhan mengampuni dosa para pembuat gedung mewah itu.
Tega benar mereka. Taman yang rindang dibabat jadi bangunan yang tak sedikit pun mengesankan bagus. Kampus tua itu, kampus yang tak bisa lekang dari ingatan kami itu, sedikit-demi-sedikit bakal hilang. Yang lebih berat, bagaimana aku mempertanggungjawabkan namamu jika sudah besar nanti?
Kamu pasti akan bertanya apa arti "randu" pada namamu. Duh, bagaimana menjelaskannya sementara pohonnya nanti sudah tak ada. Bagaimana menjelaskan rindang dan besarnya pohon itu hingga setiap mahasiswa betah duduk berlama-lama. Bagaimana aku menjelaskan di taman itu dulu orang-orang datang dan ketemu dan membuat janji. Juga membaca puisi atau menggunjingkan sebuah buku. Bagaimana aku melukiskan pertemuan pertama aku dan ibumu di sana lalu cinta kami berjatuhan dalam siraman gugur bunga randu.
Aku bukan ingin menelusupkan riwayat hidupku ke dalam hidupmu. Aku hanya ingin mengenang cerita kami--aku dan ibumu--lewat kamu. Toh, namaku atau nama ibumu tak menempel pada namamu. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kami hanya ingin mengabarkan kepadamu bahwa kamu ada karena pohon randu itu. Mudah-mudahan saja, pohonnya masih ada ketika kamu bertanya nanti.
No comments:
Post a Comment