Lampung Post
Bagja Hidayat
KARTIWA menghela napas. Ia belum juga berhasil menuliskan sebaris kalimat di layar komputernya yang telah mencorong berjam-jam menunggu tarian jarinya di keyboard. Layar itu seolah siap menampung ledakan-ledakan ide dari kepalanya. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini tak ada ide yang mampir yang akan tersusun menjadi cerita dan siap dikirimkan ke koran bertiras besar. Jarinya macet, pikirannya beku. Layar komputer di depannya jadi begitu menusuk menyilaukan matanya.
Padahal, sebelum-sebelumnya, setiap kali ia menghidupkan komputer, setiap kali layar komputer membentang, idenya langsung tumpah tak terbendung. Cerita-cerita berhamburan lewat jari-jarinya yang tak bisa dihentikan oleh rengekan anak-anaknya, jeritan istrinya, atau raungan televisi di ruang tengah. Ia akan tenggelam dalam kisah yang dibuatnya, masuk ke dalam tokoh-tokoh yang diciptakannya. Dalam 7-8 halaman, cerita tentang hidup, kegetiran, kesenangan, putus cinta, dan segala tragedi hidup manusia lainnya akan terangkum dalam cerita-ceritanya. Lalu koran bertiras besar akan memuatnya dan dibaca oleh jutaan penggemarnya di seluruh penjuru negeri.
Kartiwa dielu-elukan sebagai manusia seribu-satu-ide. Manusia yang tak pernah kering oleh cerita yang mengharukan, menggugah, dan membangkitkan semangat bagi para pembacanya. Setiap minggu ia menerima ratusan surat dari para penggemarnya yang meminta dibuatkan sebuah cerita dengan tema tertentu atau surat yang hanya menyemangati agar ia terus menulis dan terus melahirkan cerita yang evokatif dan melahirkan empati. Ada juga surat dari para penggemar yang menginginkan kisah hidupnya—sejak lahir, tumbuh besar di kampung, kawin, hingga menjelma jadi seorang pencerita yang lihai—diabadikan dalam cerita-cerita lalu dikumpulkan menjadi sebuah otobiografi. Mereka siap membayar berapapun yang diinginkan Kartiwa. Para penggemar itu penasaran kisah hidup seperti apakah yang memicu Kartiwa bisa menjadi seorang penulis jempolan seperti sekarang. Siapa tahu cara didikan orang tua Kartiwa sewaktu kecil bisa ditiru dan ditularkan untuk mendidik anak-anak di dunia.
Tapi Kartiwa bukan penulis pesanan. Ia menulis karena ingin menulis. Ia membuat cerita karena dunia telah kehilangan pengisah, pendongeng, dan tukang-tukang cerita yang telah mati oleh sejarah. Ia menjadi penulis karena sebuah panggilan: dunia memang membutuhkan dan menakdirkannya menjadi seorang pengisah sejati.
Ia sendiri telah memproklamirkan hidupnya sebagai penulis. Ia bisa menghidupi seorang istri, lima anak, satu pembantu, membeli sebuah rumah serta mobil yang mentereng. Tak perlu berkeringat, duit-duit itu bermunculan sendiri dan masuk ke rekeningnya. Pelbagai pernghargaan menulis telah ia raih dan jutaan rupiah hadiah telah ia terima.
Cerita-ceritanya telah dibukukan dan ia mendapat royalti yang besar dari cerita-cerita yang telah ia tulis itu. Penerbit dalam dan luar negeri selalu berebut menerbitkan cerita-ceritanya. Ia tinggal mengangguk atau mengiyakan saja, berbagai penghargaan, duit, tropi, dan puluhan hadiah akan menyusul. Belum lagi jika ada produser sinetron atau film yang akan mengubah cerita-cerita itu menjadi skenario dan disinetronkan di televisi, atau difilmkan dan diikutsertakan dalam berbagai festival di luar negeri. Duit akan kembali masuk ke dalam kantong dan rekening banknya. Tabungannya telah cukup untuk menampung hidup tujuh turunan. Kartiwa telah jadi orang terkenal berkat cerita-ceritanya.
Ia kerap diundang sebagai pembicara di seminar-seminar tentang kepenulisan. Presiden bahkan telah mengundang makan malam di istana dan menawarkan beasiswa untuk memperdalam ilmu soal kepenulisan. Tapi ia menolaknya. Guru-guru besar di universitas itu kalah kemampuan dibanding dirinya. Segala teori menulis itu bukankah ia sendiri yang menelurkan dan dikutip oleh para guru besar saat mengajar mahasiswa-mahasiswanya?
Tapi segala kemewahan itu berhenti malam ini. Idenya macet. Kepalanya pening. Belum satupun cerita ia tulis. Jari-jarinya tak lagi lincah menari-nari di atas tuts-tuts komputernya.
Ia kembali menghela nafas. Cerita-cerita seolah telah tamat. Tak ada lagi yang bisa ia tulis. Seluruh tema telah ia tulis sebelumnya. Semua tragedi telah ia rangkai dalam berbagai cerita dengan berbagai variasi. Semua kesengsaraan, perjuangan hidup, dan sebagainya telah ia jalin dalam cerita-cerita yang menyentuh dan mengharukan.
Nafasnya memberat. Komputer di depannya seolah menghakimi karena dibuat lama menunggu. Berkali-kali ia harus memencet enter untuk menghentikan screen saver yang tiba-tiba menari-nari di layar komputernya. Idenya betul-betul macet.
Judul pun belum ia tuliskan, boro-boro kalimat pertama yang memukau, lalu paragraf-paragraf yang mempesona. Huruf pertama untuk judul pun belum ia ketikkan. Ia telah mencoba membuat judul dengan memulai kalimat pertama. Tapi kalimat itu terasa jelek betul. Ia mengapusnya kembali. Lalu menulis kalimat yang lain lagi. Tetap sama jeleknya. Kalimat yang kabur dan tak jelas ujung pangkalnya. Mau kemana kalimat yang tak jelas ini bersambungan dan berakhir tersusun dalam sebuah cerita. Ia menghapusnya lagi. Jam di dinding ruang kerja itu berdentam lebih keras. Sudah jam 02.30 belum juga ia berhasil memperoleh kalimat yang pas.
Tadi ia hampir mendapat ide. Tentang perjuangan seorang ibu mendapatkan anaknya kembali setelah 30 tahun salah perwalian. Tapi ini cerita klise. Terlalu banyak cerita-cerita semacam ini. Lalu ia menemukan ide tentang seseorang yang kehilangan hatinya, sehingga tak lagi punya perasaan. Tapi orang semacam ini telah ditulis koran-koran dan majalah serta diulas dalam risalah dan editorial oleh para redaktur satu atau dua tahun yang telah lewat. Koran-koran, waktu itu, memuatnya sebagai kepala berita berhari-hari. Orang yang kehilangan hatinya telah diwawancari oleh hampir seluruh media massa. Televisi-televisi bahkan memasang iklan dan pengumuman yang berisi ajakan kepada pemirsa agar ikut mencari hati yang hilang itu. Barang siapa yang menemukan hati berwarna merah jambu yang sudah tak bulat lagi itu akan diberi hadiah puluhan juta rupiah. Istri Kartiwa mungkin telah menggunting potongan koran itu dan disimpannya dalam map kliping. Hanya saja Kartiwa malas memeriksa tumpukan kliping di rak bukunya karena keyakinan istrinya telah menggunting dan mengumpulkannya. Ia mengurungkan lagi cerita semacam itu.
Lalu ia ingin menulis cerita yang absrud yaitu tentang manusia berkepala garuda. Manusia, tokoh utama itu, bisa terbang dan menjadi pemangsa yang menakutkan bagi penduduk sebuah kota. Ia ingin menulis akhir dunia dengan kemuculan manusia-garuda itu. Tapi, ah, ini juga klise. Ia tak mengetahui bagaimana akhir dunia ini. Meskipun cerita ini bagus, futuristik, menurut pikirannya, tapi akan jadi khayalan belaka. Kartiwa ingin menulis tentang keseharian saja, tentang bunga, sice yang gelap, atau lapangan sepak bola dan sawah-sawah serta gunung. Cerita semacam ini, menurutnya, akan lebih menguggah daripada cerita yang belum jelas dan hanya buah khayalan yang menduga-duga saja. Heh, bagaimana kalau manusia itu tanpa kepala? Ya, selama ini manusia hidup dengan kepalanya, bagaimana kalau tokoh yang ia ciptakan hidup tanpa kepala? Hmm, menarik juga. Kartiwa hampir melonjak karena mendapat ide yang brilian.
Kartiwa bersiap, jarinya sudah di atas papan keyboard, ketika sebuah pikiran lain melintas. Ia merasa pernah mendengar atau membaca tentang cerita manusia tanpa kepala tapi benar-benar hidup dan menakuti semua orang. Kepalanya kembali pening. Bagaimana bisa ia terjebak dalam cerita yang penuh tiruan. Ia hampir saja terjerembab ke dalam jurang plagiarianisme. Apa jadinya jika pikirannya tak cepat ingat pada cerita yang pikirannya belum berhasil meraba sumber ceritanya tapi sungguh-sungguh pernah ia baca atau tonton
[1]. Para kritikus akan dengan cepat mengulas ceritanya itu di kolom resensi dan dengan kejam akan mengecapnya sebagai seorang plagiator! Huh, buru-buru ia hapus paragraf yang telah ia buat. Cerita tentang manusia tanpa kepala ia lupakan.
Matanya memberat. Kantuknya hampir tumpah. Adagium cognito ergo sum sudah tak berlaku. Descartes sudah mati. Seperti dirinya. Ah, kenapa tak menulis soal kebuntuan ini saja? Toh ini juga sebuah cerita. Lalu ia mengetik dan mendapat satu paragraf. Kalimat pertamanya berbunyi. “Aku bisa menulis tanpa ide.” Tapi dihapusnya. Bukankah ide menulis tanpa ide sendiri itu sebuah ide. Kalimat yang akan jadi bahan tertawaan para kritikus saja. Ia menghapusnya. Lalu menggantinya dengan kalimat. “Tanpa ide seorang penulis telah mati”. Ya, ya, kalimat bersayap yang bagus. Mati tak harus mati jasadnya. Mati bisa juga idenya. Tapi, ah, bukankah kalimat itu sendiri sudah menjadi sebuah ide? Hmm, benar, itu juga sebuah ide. Kalimat yang konyol. Ia menghapusnya lagi. Itu juga kalimat klise. Semua orang sudah tahu seorang penulis hidup dari ide-idenya, karena itu seorang penulis akan mati karir kepenulisannya jika sudah tak punya ide atau mengasah kemampuan menciptakan ide-idenya.
Aduh, menulis apa lagi ini? Semuanya sudah ada. Koran-koran telah menulisnya. Apalagi yang harus dikisahkan jika kisah-kisah itu sudah jadi berita dan menjadi headline di koran-koran. Ia percaya, halaman-halaman cerita di koran bisa menampilkan alternatif bagi seribu satu kisah yang telah ditulis oleh para wartawan dengan tokoh yang cepat terlupakan. Tapi kisah yang mungkin dan tak mungkin, yang absurd dan semula dianggap tak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata telah ditulis para wartawan. Hari ini saja halaman-halaman koran telah terisi oleh bermacam cerita dari seluruh penjuru dunia. Ada anak yang kawin dengan ibunya karena mereka telah lupa bahwa mereka sepasang anak dan ibu. Seseorang yang lain menginginkan jadi hantu karena sering melihat enaknya jadi hantu dalam tayangan misteri televisi lalu ia menjadi hantu-hantuan dan menakut-nakuti para pejalan yang lewat di perempatan kampungnya, perampokan yang lucu, dan sebagainya.
Apalagi? Lahanku telah habis. Huh!
Kartiwa mendelik. Napasnya begitu berat. Hh. Belum juga satu kalimat. Padahal radaktur koran bertiras besar sudah memesan satu cerita pendeknya untuk dipajang dalam edisi spesial memperingati ulang tahun koran bertiras besar itu yang ke-30. Besok harus sudah selesai dan dirkirm ke meja redaksi. Jika sampai besok ia belum juga bisa membuat satu buah cerita maka, ia cemas, redaktur koran itu akan memutuskan kontrak pemuatan cerita bersambungnya yang tinggal diteken saja. Atau jika cerita yang dibikinnya untuk edisi spesial itu mengecewakan pemilik koran itu maka, ia khawatir, koran langganannya tak akan lagi mau memuat cerita bersambung, novela, atau cerita pendek yang ia kirimkan. Meski masih banyak koran atau majalah lain yang masih memerlukan, tapi Kartiwa tidak rela jika satu saja media massa memutuskan kontrak cerita dengannya. Kartiwa memiliki sifat kehilangan yang amat besar. Ketika ia kehilangan duit seratus ribu rupiah, ia murung berhari-hari memikirkan duit itu karena uang yang akan dikirimkan ke rekeningnya tak lagi genap lima puluh juta. Untuk kehilangan itu, Kartiwa menuliskannya jadi sebuah cerita dan mendapat banyak tanggapan. Ada seorang penggemar yang mengirim surat bahwa ia siap mengganti uang seratus ribu itu agar Kartiwa tak lagi murung sepanjang hari.
Sebuah koran mewawancarainya tentang kehilangan duit yang cuma seratus ribu dan menghasilkan sebuah cerita yang mendapat banyak tanggapan itu. Wartawan koran itu ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi agar para penggemar Kartiwa tenang dan—terutama—kenapa ide kehilangan duit bisa menjadi sebuah cerita yang mengundang banyak minat. Kartiwa—seperti biasanya—akan menjawab dengan tenang, dengan kalimat yang panjang, yang perlu ditanyakan berulang kali oleh wartawan sebelum wartawan itu mengerti apa yang dimaksudkan pengarang hebat itu. Menurut Kartiwa, bagi seorang pengarang seperti dirinya, minat pada sifat kehilangan itu mutlak harus dimiliki. Bukannya kikir, kata Kartiwa, tetapi sifat itulah yang gampang melahirkan perasaan iba dan memupuk kehalusan jiwa yang amat dibutuhkan oleh pengarang seperti dirinya. Wartawan itu puas dan pulang dengan sebuah wawancara ekslusif yang ia yakin akan diburu oleh para pembacanya. Ia juga yakin akan mendapat pujian dari redakturnya selain pujian dari asosiasi wartawan atas kegigihannya mendapatkan wawancara dengan Kartiwa, si pengarang seribu satu ide.
Tapi julukan “pengarang seribu satu ide” kini tinggal julukan saja. Karena kini Kartiwa masih duduk termangu di depan komputer yang sudah jengkel karena terlalu lama didiamkan dan hanya dipelototi saja oleh sepasang mata Kartiwa yang sudah merah dan perih. Kartiwa bangkit karena air dalam cangkirnya sudah habis. Gelas kopi juga sudah dingin karena selain tak disentuh lagi juga karena terkibas pendingin yang nyantol di tembok meja kerjanya. Ia berjalan menuju kulkas di ruang tengah dekat televisi yang tinggal memamerkan jutaan semut karena ditinggal tidur oleh anak-anak Kartiwa.
Pikirannya masih menerawang mencari-cari ide yang bersembunyi atau tersembunyi. Kartiwa masih tak habis pikir kenapa otaknya jadi buntu begini. Ia juga tak menemukan alasan kenapa idenya jadi macet. Tak ada hal, selama itu datang dari dalam dirinya maupun lingkungannya, yang membikinnya harus kehilangan ide. Jika ide-ide itu hilang karena memang tak perlu lagi ada cerita yang patut dikisahkan, Kartiwa akan mafhum. Tapi ia belum berani mengambil kesimpulan seperti itu. Ia masih curiga dirinya sendirilah yang menyebabkan ide-ide itu tak mengalir keluar melalui jari-jarinya. Kartiwa meneguk dua gelas air dingin yang menyegarkan tenggorokannya yang jadi kering karena dihajar oleh berbatang-batang asap rokok. Ia berjalan dan kembali lagi ke depan komputer. Ia harus berpacu dengan waktu untuk membuat satu buah cerita sebelum ayam berkokok.
Kini setelah ia memikirkan kenapa ide jadi macet, pikirannya malah tak dihinggapi bahan cerita sama sekali. Pikirannya malah menerka-nerka dan mencari jawab atas pertanyaan kenapa ide jadi macet begini. Jika ingat ia harus menyelesaikan cerita, Kartiwa terkesiap dan pikirannya kembali mencari cerita yang bagus untuk dikisahkan jadi sebuah cerita pendek atau panjang. Tapi setiap kali pikirannya mereka-reka sebuah kisah, pikiran itu pula yang menolak dan lebih senang menerka kenapa ide-idenya macet. Ia hampir menemukan jawabannya ketika pikirannya kembali ingat ia harus menyelesaikan sebuah cerita.
Kartiwa bertekad, daripada pikirannya berperang antara membikin cerita atau menerka kenapa idenya macet, ia akan memulai cerita dengan menuliskan kalimat pertama, sebuah kisah tanpa judul lebih dulu. Ia berpikir siapa tahu ide itu datang setelah kalimat pertama dibikin meski ia tidak tahu cerita apa yang akan dibuatnya. Ia lupa cara seperti ini sudah ia coba berkali-kali sebelumnya. Ia lupa maka ia bersiap mencari kata-kata yang menakjubkan. Sikap duduknya seperti sikap seorang tentara yang sedang belajar di dalam kelas sebelum berlatih fisik ke lapangan. Rokoknya mengepul di sela jari yang dengan cepat berpindah ke sela bibir dan sebaliknya. Sudah lima menit ia duduk tegap seperti itu tapi belum satu pun kata yang hinggap di kepalanya. Kata-kata berhamburan dalam kepalanya tapi pikirannya itu pula tak cukup bersetuju suatu kata yang mampir itu untuk dituliskan di layar komputernya.
Kartiwa kembali menghela napas. Sudah habis satu batang rokok belum juga ada kalimat yang ia tulis. Boro-boro cerita, bahkan kata pun tak sudi mampir melalui jari-jarinya. Udara jadi gerah. Pendingin tak cukup mengademkan isi kepalanya yang memberontak. Pikirannya kini menghakimi, tidak lagi menerka-nerka, kenapa tak ada ide mampir di kepalanya. Ia jadi jengkel.
Dihisapnya rokoknya dalam-dalam sebelum menuliskan satu kalimat ini: AKU TAK BISA MENULIS LAGI. TANDA SERU. TITIK. Ayam berkokok dua kali.
Bandar Lampung, 2004
[1] Cerita manusia tanpa kepala ada dalam film Sleepy Hollow. Kartiwa pernah nonton film ini bersama keluarganya, tapi ia lupa kapan dan dimananya karena saat menonton pikirannya tidak konsentrasi sehingga selama berada di depan komputer malam ini ia tak berhasil mengingat judul film tersebut. Yang menyangkut di kepalanya hanya tokoh utama film itu yang berkuda tanpa kepala.