31 Desember 1995. Saya kedinginan di puncak Ciremai. Ini, sejauh bisa mengingat, satu-satunya perayaan untuk menyambut matahari terbit di tahun baru, karena setelah itu setiap tahun baru berlalu begitu saja: sedang di jalan, hanya menonton televisi atau ketiduran. Waktu itu masih SMA dan kepingin juga ikut menyambut 1 Januari. Lagi pula, saya baru 17. Kalau tidak salah, pelakon Ine Febrianti juga mendaki Ciremai di akhir tahun itu, dan ketemu dengan calon suaminya. Apakah kita selisih jalan?
Berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Berkumpul dengan teman-teman sekelas lain di terminal di kaki gunung Ciremai. Jarak dari rumah ke terminal itu tak sampai satu jam.
Kami tak bersiap secara khusus. Ide mendaki Ciremai datang begitu saja, ketika pelajaran di kelas hampir berakhir. Hanya membawa dua jaket dan makanan untuk masing-masing orang, juga tenda sewa dari ruang OSIS. Seorang teman membeli satu slop Commodorre yang satu bungkusnya hanya lima ratus perak. Rokok dengan bungkus putih-hijau itu rasa dua hisapan pertamanya mendekati Marlboro yang harganya 3 ribu. Kelak rokok itu yang membawa perkenalan ke beberapa orang yang jauh lebih kedinginan. Seorang lagi membawa gitar
Sebelum malam, perjalanan harus sampai ke puncak. Ciremai terkenal dengan mahluk halusnya. Sering terdengar cerita para pendaki digoda penunggunya dengan hipnotis: semalaman tak menemukan jalan pulang dan hanya berputar-putar mengitari satu pohon. Jalanannya juga licin. Pada Desember, Kuningan selalu berhujan. Maka, ketika matahari belum lingsir kami sudah hampir mencapai puncak tertinggi di Jawa Barat itu. Dingin makin menusuk dan oksigen kian menipis.
Di puncak itu kami kelelahan. Hujan turun renyai. Semesta terungkup gelap. Ini puncak, lalu apa? Desember telah lewat. Pukul 0 orang tak sanggup gaduh. Ini Januari, mana matahari baru itu? Apa sebetulnya yang baru? Mungkin hanya almanak di meja belajar. Selebihnya adalah sesuatu yang rutin, sisanya menunggu. Yang berubah hanya angka-angka karena waktu toh berjalan seperti biasa. "Waktu diam, kita bergerak karena itu kita tua," sergah Michael Crichton.
Tapi apa sebetulnya arti Desember dan Januari bagi kita, orang-orang kepayahan di puncak gunung? Mungkin karena kita butuh penanda. Bahwa ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu. Manusia akhirnya menyadari bahwa ingatan tak selamanya panjang: harus ada batas pada sehimpun catatan. Dan ada batas lagi untuk memulai menulis catatan di lembar yang baru: bahwa jatah hidup kian berkurang.
Tahun baru disambut riang. Bukan karena itu 1 Januari, tapi karena waktu turun telah tiba. Matahari mulai memancar-mancar menerobos celas pinus yang basah. Gigil mulai hilang. Jalan tikus membentang, berkelok-kelok. Kami menyusur punggung gunung itu hingga sampai di Palutungan. Ableh, dll, ini lagu yang kita nyanyikan di tenda yang koyak itu.
December clouds are now covering me
December songs no longer I sing
[December | Collective Soul]
Berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Berkumpul dengan teman-teman sekelas lain di terminal di kaki gunung Ciremai. Jarak dari rumah ke terminal itu tak sampai satu jam.
Kami tak bersiap secara khusus. Ide mendaki Ciremai datang begitu saja, ketika pelajaran di kelas hampir berakhir. Hanya membawa dua jaket dan makanan untuk masing-masing orang, juga tenda sewa dari ruang OSIS. Seorang teman membeli satu slop Commodorre yang satu bungkusnya hanya lima ratus perak. Rokok dengan bungkus putih-hijau itu rasa dua hisapan pertamanya mendekati Marlboro yang harganya 3 ribu. Kelak rokok itu yang membawa perkenalan ke beberapa orang yang jauh lebih kedinginan. Seorang lagi membawa gitar
Sebelum malam, perjalanan harus sampai ke puncak. Ciremai terkenal dengan mahluk halusnya. Sering terdengar cerita para pendaki digoda penunggunya dengan hipnotis: semalaman tak menemukan jalan pulang dan hanya berputar-putar mengitari satu pohon. Jalanannya juga licin. Pada Desember, Kuningan selalu berhujan. Maka, ketika matahari belum lingsir kami sudah hampir mencapai puncak tertinggi di Jawa Barat itu. Dingin makin menusuk dan oksigen kian menipis.
Di puncak itu kami kelelahan. Hujan turun renyai. Semesta terungkup gelap. Ini puncak, lalu apa? Desember telah lewat. Pukul 0 orang tak sanggup gaduh. Ini Januari, mana matahari baru itu? Apa sebetulnya yang baru? Mungkin hanya almanak di meja belajar. Selebihnya adalah sesuatu yang rutin, sisanya menunggu. Yang berubah hanya angka-angka karena waktu toh berjalan seperti biasa. "Waktu diam, kita bergerak karena itu kita tua," sergah Michael Crichton.
Tapi apa sebetulnya arti Desember dan Januari bagi kita, orang-orang kepayahan di puncak gunung? Mungkin karena kita butuh penanda. Bahwa ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu. Manusia akhirnya menyadari bahwa ingatan tak selamanya panjang: harus ada batas pada sehimpun catatan. Dan ada batas lagi untuk memulai menulis catatan di lembar yang baru: bahwa jatah hidup kian berkurang.
Tahun baru disambut riang. Bukan karena itu 1 Januari, tapi karena waktu turun telah tiba. Matahari mulai memancar-mancar menerobos celas pinus yang basah. Gigil mulai hilang. Jalan tikus membentang, berkelok-kelok. Kami menyusur punggung gunung itu hingga sampai di Palutungan. Ableh, dll, ini lagu yang kita nyanyikan di tenda yang koyak itu.
December clouds are now covering me
December songs no longer I sing
[December | Collective Soul]
No comments:
Post a Comment