Monday, April 24, 2006
BAGAIMANA KAU MENCEMASKAN PETANG
bagaimana kau mencemaskan petang, adikku
sementara pagi belum juga nampak
kita tertegun pada gigir kelam
tibatiba saja kita telah tua.
bagaimana kau bisa mencemaskan petang, adikku
sementara kita hanya diam
membiarkan ranting bunga terbang
tibatiba saja waktu telah tiada.
Thursday, April 20, 2006
STATUSMU : ALAMAT SURAT-E
Internet kini membuka status baru. Jika kau punya duit banyak, kliklah Millionaires24.com. Dari sana kau akan mendapat sebuah alamat surat. Kau bisa menuliskan alamat itu di kartu namamu dengan menonjolkan alamat itu: namamu@millionaires24.com. Kau tak perlu mengumumkan seberapa banyak duitmu, karena kini orang sudah mengakui kau seorang dari 10 ribu jutawan yang terdaftar.
Karena itu alamat ini butuh iuran. US$ 5.ooo per tahun atau US$ 399 per bulan--cukup untuk membayar uang muka sebuah rumah sederhana. Apa beda alamat surat di Yahoo.com, Gmail.com atau Hotmail.com? Tak ada! Inbox surat, ya, tempat pemiliknya membaca kabar, yang penting dan yang nonsense. Sakitkah yang mendaftar ke sana? Atau main-mainkah orang yang membikin situs ini?
Mungkin tidak. Kini makin banyak saja orang kaya di dunia. Konon, ada sejuta orang di Indonesia ini yang punya duit Rp 500 juta per bulan yang menganggur. Mereka bingung mau dihamburkan ke mana duit sebanyak itu. Sebab ini duit sisa setelah plesiran, deposito, apartemen, jet dan pulau pribadi.
Internet, selain telah menciptakan dan menumbuhkan para grafomaniak, juga menyediakan prestise. Setelah para petani di Nigeria, Zimbabwe atau India sudah akrab dengan piranti ini, nun di kota-kota orang kian butuh status yang lebih tinggi lewat internet. Jaringan ini tak cukup hanya dijadikan alat untuk meringkas dunia. Sebuah revolusi yang kian mencemaskan.
Tapi, mencemaskan atau tidak, zaman barangkali memang sudah seharusnya begini. Kita tak boleh terkedut, karena ada banyak soal lain di luar sana yang tak (atau belum) kita ketahui. Kita terus bergerak--sadar atau tak sadar, siap atau tak siap--menyongsong kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan sana.
Tuesday, April 18, 2006
MERUBAH SEGALANYA
Lirik lagu memang tak bisa dijadikan rujukan berbahasa yang benar. Seorang teman kebingungan ketika akan menukil sebuah larik lagu Manusia Biasa yang dibuat Radja.
Di sana tertulis, lalu dilafalkan penyanyinya :
...merubah segalanya
mungkin ada kesempatan
untukku...
"Merubah" tentu saja beda dengan "mengubah". Karena merubah bisa berarti "menjadi rubah". Seperti kata "merupakan" yang kini jamak dipakai sepadan dengan "adalah". Tentu saja, Ian Kasela tak berniat menceritakan metamorfosis dirinya menjadi rubah dengan meminta kesempatan sekali lagi... kepada kekasihnya.
Merubah, agaknya, kata yang paling sering disalahpahami. Kata ini muncul tidak saja dalam beragam tulisan, tapi juga pelbagai ucapan. Penyebabnya mungkin karena orang keliru sebab ada kata lain yang mengecoh, yaitu perubahan. Dua aturan harus dijelaskan untuk kata ini tidak saja awal pe- dan akhiran -an.
Dalam teks-teks pidato Bung Karno yang disalin dari pidato-pidatonya di mimbar, kata itu ditulis dengan merobah, seperti umumnya surat-surat yang ditulis para orang tua kita. Juga "di" sebagai kata depan. Pada zaman orang tua kita tak ada beda antara "di" sebagai kata depan dan "di" sebagai awalan. Orang tak sadar, mungkin juga tak tahu, kini dua kata itu sudah dipakai untuk fungsi yang berbeda.
Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Saya baru berkenalan dengan bahasa ini pada sekitar akhir sekolah dasar. Di kampung saya, jika ada orang bicara memakai bahasa ini akan disebut sebagai orang Jakarta. Tentu saja, si orang Jakarta ini juga memakai langgam Betawi dengan logat Sunda. Walhasil, bahasa Indonesia makin asing saja ketika saya mulai mempelajari bahasa dan sastra memakai rujukan buku Bapak Keraff yang ruwet.
Ada banyak kata--jangankan hasil bentukannya kemudian jika bertemu dengan imbuhan--yang tak dimengerti artinya. Saya, setidaknya, ketika itu masih menerjemahkan bahasa Indonesia dalam rumusan bahasa Sunda di kepala baru menuliskan atau mengucapkannya.
Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Ada banyak panduan dibuat, tapi kita tetap berdebat menulis "mempunyai" atau "memunyai". Ada kaidah peluluhan kata dasar yang berhuruf awal s, p, k dan t. Tapi untuk beberapa kata tertentu kita juga mengkhianatinya. Kekisruhan ini makin memperumit pemakaian bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia diproklamirkan memang untuk mempersatukan. Sehingga, agaknya wajar, jika centang perenang pemakaiannya terus terjadi hingga hari ini. Belum lagi bahasa asing. Konon, 9 dari 10 kata Indonesia adalah asing. Mungkin benar.
Kita memperlakukan dan menyerap bahasa asing dengan semena-mena. Istilah handphone kini sudah jadi umum. Ini istilah asli yang dibuat orang Indonesia ketika telepon seluler mulai marak. Sebutlah istilah itu di negeri asalnya, pasti orang akan kebingungan. Ada juga yang menyebutnya telepon genggam. Si pembuat istilah ini lupa, telepon di rumah belum sampai digigit ketika dipakai.
"Kita akan makin tahu betapa miskinnya kosakata Indonesia jika menulis teknologi," kata seorang teman yang menjaga rubrik teknologi. Ah, maklumlah, kita tak pandai menciptakan barang sehingga bingung memberi nama benda yang siap pakai.
Sewaktu skripsi, ada yang mempersoalkan istilah yang saya pakai tidak memakai istilah asing dalam tanda kurung. Padahal, istilah itu sudah tersedia dalam kamus dan lebih pas. Misalnya, pembuat keputusan harus mencantumkan pula decision maker. Belakangan saya tahu, yang menganjurkan itu tak punya alasan jelas kecuali hanya agar terlihat lebih keren.
Barangkali inilah penyebab bahasa Indonesia kian terasa asing. Juga aneh.
Monday, April 03, 2006
SHAOLIN
Mikail mengadu pada ibu, rambutku sudah bikin gatel di telinga. Mikail sudah lama tak potong rambut karena dilarang ayahnya yang kepengen gondrong. Karena mengadu pada ibu, Mikail tahu pengaduannya pasti dikabulkan. Maka rambut yang panjang itu habis dipangkas. Mikail senang dicukur karena sambil lihat Om Pankin, maksudnya, Tukang Parkir. "Nangis gak waktu dicukur?" "Ga!"
Mikail terpesona karena betapa sakti dan berkuasanya seorang tukang parkir: bisa memerintahkan mobil bergerak kemana suka. Padahal betapa beratnya memutar setir seperti pernah dialaminya. Sampai kalau ditanya, "Apa cita-cita kalau sudah besar?" Dia akan menjawab, "Jadi Om Pankin". Astaga!
Setelah plontos, Mikail tak mau disebut gundul atau si botak.
"Mika gak botak," katanya.
"Gundul, deh."
"Gak mau."
"Habis apa dong?"
"Mika kayak shaolin."
"Ya, deh."
O iya, karena baru gundul, eh, shaolin lagi, maka ia difoto. Emang sih mirip shaolin kecil. Pake topi segala, mirip siapa ya? Kok kayak si Bagus penyanyi Netral, ya? Ah, tampangmu itu...
Subscribe to:
Posts (Atom)