Adik saya punya cita-cita yang agak aneh untuk ukuran zaman sekarang: menjadi pegawai negeri. Sewaktu akan lulus SMU, setengah nyengir ia bilang ingin masuk IPDN. Tentu saja semua menghadangnya. "Untuk apa menyekolahkan anak jauh-jauh kalau cuma mau dipukuli," ini suara khas ibu-ibu. Adik saya pun kemudian sekolah di UPI. Ia memang punya mimpi jadi guru.
Jadi guru sendiri terdengar agak aneh. Bapak kami seorang guru yang hidup miskin secara finansial. Apa yang ingin ditiru dari hidup sebagai guru oleh adik saya itu? Mungkin saya tak lagi memahami cita-cita anak zaman sekarang. Atau karena mungkin saya tak pernah punya cita-cita. Saya sekolah karena kepincut dongeng di radio kabupaten yang menceritakan seorang sarjana pertanian yang bekerja di desa sebagai penyuluh dan--terutama--sukses menikahi anak kepala desa. Jadi sarjana adalah sebuah keinginan yang tak spesifik. Cita-cita adik saya jelas: guru. Ini sebuah profesi sekaligus pekerjaan.
Atau cara pandang saya musti diubah. Pegawai negeri dalam kepala saya adalah sebuah ruangan yang tak pernah dipel. Sebuah kantor yang penuh asap rokok dengan ujung meja yang menghitam disesaki map yang tak jelas fungsinya. Sebuah ruangan yang dipenuhi orang berseragam yang menguap atau mengobrol. Pokoknya sebuah kantor yang tak memproduksi apa-apa.
Barangkali saya harus menghapus gambaran kumuh pegawai negeri seperti itu. Sebab, pegawai negeri kini adalah sedan mewah, dengan jas dan dasi, tak ada lagi safari atau korpri. Penataran P4 berganti dengan kursus manajemen. Mereka tinggal "bekerja" karena subsidi disediakan dengan sangat melimpah: 40 persen pajak negeri ini dipakai untuk menggaji ratusan ribu pegawai negeri.
Dan pegawai negeri adalah penyelamat negeri ini. Negeri ini masih ada karena orang masih bisa makan meskipun tak ada pekerjaan. Negara menyelamatkan negeri ini dari chaos akibat bom pengangguran. Indonesia tak seperti Yordania ketika Pangeran Abdullah II naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal. Abdullah menggebrak dengan memangkas jumlah pegawai negeri karena mereka menghabiskan anggaran sambil menguap.
Tapi birokrat Yordania segera hidup makmur begitu bekerja di swasta karena ada begitu banyak perusahaan yang butuh pekerja di luar sana. Tak ada yang mengganggur, birokrasi begitu ringan dan langsing, efektif, dan cekatan. Ia bukan lagi "seekor raksasa" yang rakus makan seperti istilah Trotsky.
Tapi raksasa yang gemuk atau langsing, seperti di sini, pegawai negeri terus diburu. Para tetangga yang punya anak baru lulus kuliah tak henti menanyakan informasi lowongan di departemen. Pekerjaan ini masih (atau terus?) dianggap seksi. Di Jembrana para pegawai bahkan menggondol bonus tiap bulan, setelah gaji dinaikkan dua kali lipat. Syaratnya sangat mudah: bekerja dengan jujur.
Saya mungkin musti segera mengubah stereotip buruk terhadap pegawai negeri. Adik saya barangkali sejenis orang yang realistis, produk zaman kiwari. Sebab, saya yang bekerja menjadi
pegawai luar negeri pun toh tak lebih kaya dibanding bapak saya di kampung. Pegawai negeri jelas menjanjikan tingkat kekayaan, juga status.