SETIAP menjelang Ramadan ada perdebatan perlu-tidaknya warung makan
tutup selama umat Islam berpuasa. Dan pemerintah, paling tidak di
Serang, Banten, meresponsnya dengan melarang warung makan buka dengan
merazianya. Razia ini konon untuk menegakkan toleransi untuk menghormati
mereka yang sedang berpuasa.
Soal hormat-menghormati dalam
ibadah ini kian menunjukkan bahwa kita tak kunjung dewasa dalam
beragama. Selama Orde Baru kita dicekoki dengan indahnya toleransi tapi
kekuasaan 32 tahun itu ditutup dengan kerusuhan rasial. Kita diajari
sejak kecil tentang bagaimana hidup rukun dan saling menghormati antar
pemeluk iman, tapi sebagian besar kita ingin kelompok Ahmadiyah dan
Syiah musnah dan disingkirkan.
Maka imbauan Menteri Agama agar warung makan tetap buka
selama Ramadan pada tahun lalu dikecam sebagai kebijakan yang tak
menghormati bulan yang mulia ini. Padahal, puasa seharusnya tak menuntut
penghormatan dari siapapun, apalagi dari sesama manusia. “Puasa itu
untukKu,” kata Allah dalam sabda Rasullullah yang diriwayatkan Imam
Bukhari lalu dikonfirmasi Imam Muslim dan Abu Hurairah, “Aku yang akan
membalasnya.”
Dalam hadis itu disebutkan bahwa semua amal
dan ibadah anak Adam untuk kita sendiri, kecuali puasa. Allah menyebut
secara khusus bahwa ibadah itu adalah pengabdian kita untukNya. Ia akan
membalasnya secara langsung, dengan segala rahasia dan
kemahabesaran-Nya. Maka patutkah kita menuntut orang lain menghormati
puasa kita?
Islam menyediakan konsep ikhlas yang melampui
segala pengertian tentang berserah diri. Dalam beribadah kita bahkan
dianjurkan tak punya sedikit pun pengharapan akan pahala, alih-alih
balasan yang bersifat duniawi. Misalnya, kita rajin salat hanya karena
ingin diberi rejeki yang banyak. Ikhlas menyingkirkan itu semua.
Ridho
Allah adalah pengharapan agung dalam ibadah yang terkandung dalam
konsep ikhlas. Jika masih terbetik pikiran orang lain perlu menghormati
ibadah kita, jangan-jangan kita masih egois dalam beribadah, jika bukan
tergolong ke dalam orang-orang yang riya. Menuntut penghormatan dalam
ibadah, juga menunjukkan bahwa iman kita begitu rapuh. Iman yang cemas.
Warung
yang buka itu, dan yang tak berpuasa bebas makan, dianggap mereka yang
berpuasa tindakan kurang ajar dan mengundang jalan setan membuka pintu
godaan. Konon ketebalan iman ditentukan oleh seberapa besar godaannya.
Makin tinggi iman seseorang, makin besar godaan yang ia terima. Jika
kita masih menganggap makanan di warung dan orang yang menyantapnya
sebagai godaan, betapa tipis iman dan ibadah kita itu.
Dan
setelah berbuka kita memang menjadi orang kalap. Selama 14 jam berpuasa
kita hanya memupuk dan menabung rasa lapar dan haus untuk kita
lampiaskan setelah azan Magrib. Maka Allah mengingatkan dalam firmanNya
yang lain bahwa umat Islam kerap hanya mendapat lapar dan haus ketika
berpuasa, karena puasa mereka tak sanggup menyucikan keinginan-keinginan
tubuh dan duniawi.
Kita baru berpuasa menghentikan makan
dan minum, belum sampai pada puasa batin untuk mencuci penyakit hati dan
pikiran yang kerap mempengaruhi cara bertindak dalam hubungan sosial
antar manusia. Menuntut orang lain menghomati ibadah kita, kian
menegaskan bahwa kita belum sampai pada hakikat puasa dan untuk apa
Allah memerintahkan kita menjalankannya sebulan penuh.
*) Modifikasi kolom Ramadan di Koran Tempo, 2015