Showing posts with label lagu. Show all posts
Showing posts with label lagu. Show all posts

Tuesday, April 18, 2017

COLDPLAY DAN MACET BANGKOK



Jalan Sukhumvit 31
DI Bangkok jarak 6 kilometer tercapai dalam waktu satu jam. Durasi itu bisa bertambah jika pagi atau sore pada jam ketika orang-orang pergi dan pulang kerja. Apalagi pada Jumat sore antara pukul 16-20. Dan kecepatan itu adalah perhitungan laju sepeda motor.

Maka pada 7 April 2017, ada kombinasi yang mengerikan di jalanan Ibu Kota Thailand itu. Hari Jumat dan Coldplay akan pentas pada pukul 21 di Stadion Nasional Rajamangala. Pintu masuk dibuka sejak pukul 17. Jalanan di sekujur Bangkok pun macet total mulai pukul 16 hari itu.

Di Jalan Sukhumvit, mobil dan sepeda motor sama sekali tak bergerak di kedua arah. Para sopir taksi tertawa sambil mengibaskan tangan ketika ada penumpang yang meminta diantar ke Rajamangala. Mereka buru-buru menutup kembali kaca mobil begitu ada orang yang membungkuk dan baru setengah jalan mengucapkan “Rajamangala”.

Pada Google Maps semua jalan menuju stadion ini merah saga. Lebih sial lagi karena tukang ojek juga menolak mengantarkan penumpang ke sana. Mereka menggelengkan kepala ketika disebut nama stadion ini. Bus-bus juga penuh sesak dan tak ada yang membuka pintu naik.

Hari itu, trotoar jalanan kota Bangkok dipenuhi anak-anak muda berkaos hitam bertuliskan “A Head Full of Dreams Tour Coldplay”. Band populer paling terkenal dari Inggris itu sedang berkeliling Asia menggelar konser. Anak-anak muda itu tak bisa menuju tempat konser karena tak ada transportasi umum yang bisa mengantar mereka ke stadion berkapasitas 65.000 orang itu.

Beberapa yang lain berjalan kaki. Saya melihat iring-iringan mereka dari atas sepeda motor karena tertolong oleh kebaikan Bain Bond—begitulah seorang pengojek yang lancar berbahasa Inggris mengenalkan namanya. “Call me Bond, like James Bond,” katanya. Saya duga awalnya ia bercanda. Tapi ketika lihat wajahnya yang serius, saya ragu ia tak serius dengan namanya.

Ia bersedia mengantar saya ke stadion berjarak 8 kilometer itu. Tentu saja ia tak mau dibayar dengan tarif normal 30 baht. Ia bersedia mengantar jika ongkosnya 150 baht atau Rp 60.000. “Macetnya parah tak ada kendaraan yang mau mengantar ke Rajamangala,” katanya. Bond tak tahu jika di stadion akan manggung Coldplay.

Bond makin terkejut ketika mulai melaju di antara mobil-mobil yang parkir berjamaah di jalanan kota Bangkok sepanjang 8 kilometer itu. “Ya, Tuhan, saya tak pernah melihat macet seperti ini,” katanya. “Ini macet yang sungguh sangat gila, tak bergerak sama sekali,” katanya. Pada Jumat biasanya, kata Bond, jalan memang macet tapi masih bisa diharapkan terurai mulai jam 8 malam.

Di Bangkok, ojek sepeda motor adalah transportasi umum resmi, seperti kereta, bus, taksi, bemo, kereta bawah tanah, perahu, dan kapal di sungai Chao Phraya. Agak aneh bahwa transportasi yang sudah terintegrasi itu tak membuat Bangkok bebas macet. Setiap bulan, orang Bangkok menghabiskan 64 jam di jalanan, paling tinggi di Asia. Dibanding Jakarta yang baru 47 jam. Ini karena panjang jalan Bangkok hanya cukup menampung 2 juta mobil sehari. Sementara jumlah mobil mencapai 5 juta. Dar!



Maka ojek jadi salah satu pilihan jitu menghindari macet. Tukang ojek mangkal di tempat-tempat keramaian dengan memakai rompi oranye. Harganya bisa ditawar. Tak banyak yang bisa berbahasa Inggris. Bond mengaku belajar bahasa Inggris dari penumpang-penumpangnya. “Saya tak belajar resmi di sekolah,” katanya.

Umumnya tukang ojek tak menyediakan helm untuk penumpang. Sewaktu saya meminta helm kepada Bond, dia bilang penumpang tak perlu memakainya. “Lagipula ini macet, pasti tak bisa cepat,” katanya. Baiklah. Sewaktu saya tanya lagi apakah tak akan kena tilang jika bertemu polisi? Bond terdengar tertawa. “Tak akan!”

Dalam macet yang parah itu memang tak ada polisi terlihat di jalan mengatur lalu lintas. Empat hari di Bangkok hanya sekali saya bertemu polisi di perempatan. Naik motor berboncengan. Mereka tak peduli para ojekers membawa penumpang tanpa helm. Agaknya itu hal biasa saja. Bahkan polisi itu tak menegur tukang ojek yang membawa dua penumpang.

Di jalanan Bangkok, tukang ojek boleh membawa dua penumpang tanpa helm. Dan mereka melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Wuedan.

Semua kegilaan itu terbayar oleh Chris Martin dan kawan-kawan di Rajamangala. Selama tiga jam, mereka memukau dengan 24 lagu. Pencahayaan panggung, kata teman yang menonton konser mereka di Singapura dan Manila sepekan sebelumnya, lebih bagus. Rajamangala malam itu banjir cahaya merah-hijau-kuning khas band paling populer asal Inggris saat ini.

Sebelum konser, langit mendung malah sempat gerimis. Penonton dari Vietnam di depan saya sudah memakai jas hujan. Tapi bulan perlahan-lahan nampak dan Bangkok berpesta bersama Coldplay. “Terima kasih,” kata Chris di panggung. “Malam yang luar biasa. Terima kasih untuk Anda semua yang sudah datang meski harus menempuh macet....” Rupanya, ia memantau jalanan juga.

Tak ada beda konser-konser Coldplay dengan negara-negara lain yang bisa ditonton di YouTube. Coldplay tampil prima. Musik dan vokal Chris Martin nyaris sama dengan suaranya di pita kaset. Dan lagu paling heboh, menurut saya, adalah “Hymn for The Weekend” dan “Something Just Like This”—single mereka bersama The Chainsmokers.

Lagu yang ditunggu-tunggu tentu saja “Fix You”. Tapi Chris tak membawakannya dengan sendu lewat intro piano. Ia memulai bernyanyi sambil tiduran sehingga pasangan di depan saya tak menyadari itu lagu romantis yang mereka nantikan.  Maka alih-alih berpelukan, mereka mengangkat tangan sambil bernyanyi histeris.

Ada dua panggung tempat mereka bernyanyi. Panggung di tengah penonton lebih kecil. Mereka memainkan “In My Place”—lagu pertama yang membuat mereka terkenal—“Dont Panic” dan “Till Kingdom Come” secara akustik. Di panggung itu, Chris mengenalkan tiga anggota bandnya: Jonny Buckland pemain gitar, basis Guy Berryman, dan drumer Will Champion. “Kami sudah 21 tahun bersama dan saya bersyukur kami masih jadi teman baik,” katanya.

Sepanjang konser di bangku penonton nyaris tak terdengar bahasa lain selain bahasa Indonesia. Juga saat mengantri di loket penukaran tiket. Orang Indonesia banyak sekali. Seorang teman mengatakan Bangkok mirip Lebaran hari itu. Di jalanan, di kereta, mal, atau pasar kaget, selalu ketemu dengan orang yang bercakap memakai bahasa gaul Indonesia.

Orang Indonesia sudah terdeteksi sejak di pesawat dan saat antri panjang melewati meja imigrasi di bandara Dong Mueang. Mereka berbincang dan saling menyapa dengan pertanyaan menembak, “Jamaah Coldplay Indonesia, ya?”

Agak aneh bahwa penyelenggara konser tak melampirkan Jakarta sebagai tempat persinggahan tur Asia dengan antusiasme penonton Indonesia seperti itu. Sebelum Singapura dan Manila, Coldplay konser di Australia. Sebab di Rajamangala malam itu setidaknya ada Rp 100 miliar yang tumpah ke sini. Dari penjualan tiket, souvenir, hingga makanan di sekitar stadion. Belum lagi tiket pesawat, hotel, dan jajanan, serta oleh-oleh.

Konon karena di Indonesia masih banyak pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, seperti syarat umum yang diajukan band-band asal Inggris. Aneh juga, karena Thailand dan Filipina kurang apa dalam soal kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia dibanding Indonesia.

Menurut seorang teman, alasan hak asasi itu gimmick promotor saja. Coldplay selektif memilih promotor dan negara tempat konser karena tuntutan mereka sangat tinggi, terutama soal tata panggung dan pencahayaan yang rumit. Gelang bercahaya yang dipakai penonton yang dikendalikan dari jauh jadi ciri khas konser mereka. Gelanggang juga butuh yang luas karena penontonnya selalu membludak.

Syarat terakhir seharusnya bisa dipenuhi. Gelora Bung Karno di Senayan berkapasitas 80.000 orang. Syarat lain bisa dipenuhi karena teknologi toh bisa mereka bawa. Jadi mungkin ini hanya soal kemahiran melobi dan bernegosiasi promotor dari Indonesia.

Di lihat dari penonton Indonesia yang datang, penggemar Coldplay punya rentang usia yang panjang. Dari 16 hingga 50 tahun. Seorang penonton datang berombongan 15 orang bersama keluarga besarnya. Satu keluarga yang menggendong bayi dan bendera Indonesia tersorot kamera ketika di Rajamangala. Seorang kawan punya teman yang datang bersama mertuanya.

Maka ketika Chris Martin dkk undur diri dan lampu-lampu padam menjelang tengah malam, stadion Rajamangala mirip GBK. Dan jalanan penuh oleh orang Indonesia yang berduyun jalan kaki karena tak ada taksi atau ojek yang bersedia mengantar mereka pulang ke penginapan. Dan jalanan masih macet...

Friday, November 14, 2014

RUMAH


Film yang bagus, kata orang, tak hanya diingat alur cerita dan adegan-adegannya setelah selesai ditonton. Ia juga “meneror”.

Entah mengapa, setelah menonton Fury saya merasa film ini bercerita tentang kerinduan, kegalauan, kesepian, ketakutan, akan rumah dan kampung halaman. Sebagian besar film ini menceritakan apa yang terjadi di tank Sherman yang dihuni lima tentara Amerika dengan latar Perang Dunia II tahun 1945. Mereka terjebak pertempuran melawan 300 tentara SS Jerman karena roda tank hancur terkena granat ranjau.



Teror Fury kian menjadi karena lagu Cedarwood Road, yang saya dengarkan tak sengaja setelah menonton film itu. Ini lagu U2 di album terbaru, Song of Innocence, dan bukan lagu pengiring film. Bono, yang menyanyikan dan menulis lagu ini, sedang mengenang kampungnya di Irlandia Utara. Ia lahir dan tumbuh di Cedarwood Road 10, perkampungan dengan jalan lurus dan sungai yang lebar, juga bunga ceri yang mekar di kiri-kanannya. Cedarwoord Road sukses merekam deskripsi dan suasana yang tertampung maupun tak tertampung adegan dan ucapan tokoh-tokoh Fury. Kesamaan pinus dalam Fury dan pinus yang terbayang dalam Cedarwood barangkali karena syuting film di Inggris.

Cedarwood Road, Dublin

Dengan nada agak murung, Bono mengenang sungai yang mengalir di sepanjang jalan pinus: “Menyeberang dari sisi Selatan ke Utara, sungguh perjalanan yang jauh.” Di Fury, menyeberangi sebuah persimpangan yang hanya lima meter butuh perjuangan yang amat keras karena terlebih dulu harus mengalahkan dan membunuh puluhan musuh, juga teman yang jadi korban.

Sebagaimana umumnya tempat lahir, hubungan dengan orang-orangnya lebih dari sekadar kampung halaman. Tempat, peristiwa, dan lanskapnya berkait dengan kenangan dan pengalaman hari ini yang rumit dijelaskan hubungan-hubungannya. Bono melihat Cedarwood Road sebagai “zona perangnya” di masa remaja—wilayah yang membentuknya menjadi ia hari ini. “Saya masih berdiri di sini, di jalan ini. Saya masih butuh seorang musuh.”

Musuh, kata pesan bijak Sun Tzu, kita perlukan untuk menjadi cermin agar kita paham kelemahan dan kelebihan kita sendiri. Musuh tak harus orang yang bersiap membokong ketika kita lengah. Ia bisa juga tantangan, untuk mendewasakan.

Cedarwood Road 10

Seperti Don Wardaddy (Brad Pitt) di Fury. Ia masih saja di zona perang sesungguhnya, setelah bertempur di pelbagai perang di Afrika. Hidupnya seperti selalu membutuhkan seorang musuh, untuk menegaskannya bahwa ia masih hidup. “Ini rumahku,” katanya, menunjuk tank itu, ketika empat anak buahnya hendak lari dari pertemuan dengan 300 tentara SS itu.

Kata “rumah” barangkali tak terlalu menggetarkan dalam bahasa Indonesia. Dalam kalimat Wardaddy itu ada nuansa yang tak tertampung dalam padanannya, yakni sebagai sebuah tempat kembali, tempat hidup, tanah air.

Seperti kata Bono, kita selamanya tak akan bisa melepaskan kampung halaman, seberapa jauh pun kita meninggalkannya, seberapa keras dan sengit pun kita berkonflik dengannya, cause it’s never dead, it’s still my head. Pada Wardaddy, ia memilih tinggal di tank meski tahu hanya ada satu pilihan, yaitu mati. Kemana juga ia akan lari? Perang tak menyediakan jalan kembali. “Wars are not going anywhere, Sir.”

If the door is open it isn’t theft, you can’t return to where you’ve never left.

Bono selamanya terkenang Cedarwood Road karena jejak hidupnya ada di sana. Wardaddy tak bisa keluar dari medan perang karena selama hidup ia mengukir peninggalannya di medan yang keras itu. Maka ia memilih bertahan di tank, menyongsong akhir hidupnya, di tempat yang ia sebut “rumah” itu. “Kamu pikir saya tidak takut?” katanya kepada Norman Ellison, pengemudi tank, yang mengkeret. “Kadang-kadang ketakutan menyergap di tempat yang kita sebut rumah,” kata Bono.


Betapa heroik dan mengharukan jalan cerita dan hidup seperti itu. Barangkali karena itu Fury meneror setelah ditonton….


CEDARWOOD ROAD :