Saturday, April 17, 2004

PARTAI



Demokrasi memang tidak bisa menjawab banyak soal. Terutama ketika ia menyerah pada kekuatan jahat yang direstui banyak orang. Lalu kita ingat The Big Brother (oleh Landung Simatupang diterjemahkan menjadi Bung Besar) dalam novel George Orwell : 1984. Di sana yang jahat juga menjadi benar, karena diamini banyak orang, melalui partai--satu peranti dalam demokrasi. Novel gelap ini bercerita tentang hidup Winston Smith.

Ia seorang laki-laki 39 tahun, seorang suami dari istri yang terlihat lebih tua, dan menderita kelainan pembuluh darah yang kerap menyiksanya. Winston tinggal di Victory Mansions, London, yang merupakan bagian Oceania--negara yang dipimpin si Bung. Orwell membayangkan dunia terbagi menjadi tiga belahan: Oceania yang meliputi Inggris dan Amerika, Australia, Atlantik; Eurasia yang meliputi Eropa, Rusia dan Afrika Selatan. Orwell menyebut nama Indonesia bersama Timur Tengah, India, Cina dan daratan Asia lainnya masuk ke negara Eastasia. Meski tak disebut jelas karena nama dan tempat terlalu fiksi, Orwell tengah menggambarkan dunia yang dicekam Perang Dunia II, ketika Stalin dan Lenin sedang menancapkan ideologinya.

Winston, karena hidupnya selalu terluka, merindukan hidup tenang yang ia pikir ada dalam Persaudaraan yang tak lain hanya perangkap partai si Bung. Maka Winston mendaftar ke sana melalui seseorang yang ditemuinya di jalan, O'Brien, yang kelak menyelundupkan sebuah buku pintar tentang politik, The Theory and Practice of Oligarchical Collectivism. Buku itu, yang ditulis si Penjahat Masyarakat Emmanuel Goldstein mengajarkan bagaimana memutarbalikan soal-soal hidup. Dalam satu bab buku itu, misalnya, Goldstein merumuskan bahwa perang adalah kedamaian. Goldstein, seorang kanan yang merongrong pemerintahan partai si Bung dan punya acara televisi berjudul Dua Menit Benci, percaya bahwa kelanggengan dunia hanya bisa diwujudkan jika perang terus terjadi.

Winston percaya sepenuhnya pada pandangan hidup seperti itu karena didorong oleh keputus-asaannya menjalani hidup yang rudin (oleh Orwell orang-orang macam Winston di sebut kaum "proles", kaum bawah yang kurang lebih sama dengan "proletar" dalam rumus Karl Marx). Maka Winston terjebak dalam perangkap O'Brien yang kelak menyiksanya di kamar 101 Kementrian Cinta dan memaksakan pandangan-pandangan partai (membaca buku Goldstein adalah kejahatan yang tak terperi). Semacam cuci otak sebelum diterima jadi anggota. Winston, misalnya, dipaksa menerima 2+2=5 karena partai menghendaki demikian.

Winston tak menyangka jika langkahnya malah menjauhkan dari hidup tenang yang diimpikannya. Ia juga terpisah dari Julia, pekerja di Departemen Fiksi, si cuek-berambut hitam-26 tahun, selingkuhannya yang telah membangkitkan semangat hidupnya kembali. Ia dilarang melakukan hal-hal manusiawi oleh partai seperti menaruh minat pada guci antik karena itu bagian dari apresiasi seni. Bercinta dengan Julia semau keinginan mereka, bertelanjang di ranjang, atau mabuk jelewer di cafe Pak Charrington. Itu semua, menurut O'Brien si agen Polisi Pikiran, hanya akan menumpulkan semangat Persaudaraan saja. Winston takluk karena apapun yang dipikirkannya, apapun yang dilakukannya, akan diketahui oleh Polisi Pikiran dan wajah si Bung muncul memarahinya melalui layar-jauh-besar. Di Ocenia berlaku slogan yang kerap dinyanyikan setiap orang yang sekaligus jadi alarm hidup sehari-hari: "Big Brother is watching you", Big Brother is watching you, Big Brother...".

Winston baru tersadar bahwa pandangan Julia selama ini yang tak lagi mempercayai partai maupun acara Dua Menit Benci adalah benar belaka (meski pandangan Julia tak seradikal pandangan Tomas dalam novel Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being). Tapi ia sudah kecebur. Apa boleh buat. Otaknya sudah tercuci. Ia ingin lari dari Goldstein malah terperangkap di ketiak si Bung--yang bahkan O'Brien pun tak pernah melihat tampang aslinya.

Orwell seperti sedang meramal bagaimana ideologi kiri dan kanan, yang sama bahayanya, akan berhadapan muka pada tahun 1984 . Dunia menunggu apa yang akan terjadi pada tahun itu. Yang terjadi memang tak segenting apa yang diramal Orwell. Tapi ia telah dengan telak menanggambarkan abad 20 sebagai suatu masa yang rusuh oleh ide-ide yang melahirkan totalitarianisme di mana-mana. Kecemasan Winston dan Julia adalah kecemasan setiap orang pada demokrasi yang ternyata tak bisa menjawab semua soal, dan langgeng, ada di setiap zaman. Seperti kecemasan kita hari-hari ini sambil menunggu hasil perhitungan suara pemilu lalu.

No comments: