Monday, December 26, 2005
18 BULAN
Malam ini, 29 Desember 2005, untuk pertama kalinya Mikail menjawab pertanyaan dengan tepat melalui telepon. Biasanya, ia membanting gagang telepon atau telepon genggam ibunya tiap kali diajak ngobrol. Berikut ini percakapannya :
- Ayah : Hallo, Mika...
+ Mika : Ayah..
- Ayah : Mika sudah makan?
+ Mika : Dah.
- Ayah : Makan apa?
+ Mika : Abon (ia hanya bisa mengucapkan kata ini untuk segala jenis lauk makan nasi)
- Ayah : Makan sama siapa?
+ Mika : Ibu
- Ayah : Tadi siang main apa?
+ Mika : Embem (dia belu bisa bilang mobil)....tertawa... Embem.... (Suara ibu di belakang : Mika lagi ngobrol apa?)
- Ayah : Mainnya sama siapa?
+ Mika : Agung, Ki (Mas Uki)
- Ayah : Mika sudah ngantuk?
+ Mika : Gak (ketawa lagi, lalu memberikan telepon ke Ibu, tapi katanya merebut kembali gagang telepon). Ayah.. tu. (Suara Ibu : Iya, tukang kue putu lewat).
+ Ayah : Mika mau kue putu?
- Mika : Ga.
+ Ayah : Iya. Kan Mika udah maem.
- Mika : Ya.
- Ayah : Mika bobo ya. Udah malam ini, nak...
+ Mika : Gak. E-e
- Ibu : Mikanya mau e-e dulu nih. Udah dulu ya...
[Buru-buru. Telepon ditutup.]
Sunday, December 18, 2005
FILSUF
Socrates, teman saya, punya petitih yang baru saja ia resapi betul dan dipertimbangkan bolak-balik. "Untuk umur saya," katanya, "saya harus lebih banyak mengerti orang lain, bukan sebaliknya." Dia memang agak telat kawin.
Saya manggut-manggut. Itu rumusan yang persis saya dapatkan juga setelah tahu rasanya kawin dan beranak-pinak. Lalu kami tertawa setelah saling diam. "Telat atau tidak telat kawin ternyata bisa bikin orang jadi filsuf." Persis Socrates. Tentu saja Socrates betulan yang dari Yunani dan bapak filsafat itu.
Frase "mengerti orang lain" ternyata dasar dan awal dari sejarah filsafat. Setidaknya ini menurut Jostein Gaarder. Siapa yang tak kenal dia?
Empat novelnya sudah diindonesiakan. Dan Dunia Sophie--novel keduanya--meledak diterjemahkan ke 42 bahasa di dunia. Novel-novel penulis Norwegia itu memang berkeinginan memperkenalkan dan merangsang minat orang pada filsafat. Menurut Gaarder, kecenderungan orang malas menjawab pertanyaan "apakah dunia ini sebuah misteri?" karena kita terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi, dengan kerja, dengan hidup sehari-hari. Karena itu menelaah kemisteriusan dunia saja sudah malas. Atau menjawab sekadar pertanyaan, "Siapakah aku?" "Dari manakah aku berasal?"
Baiklah. Kita kembali ke frase "mengerti orang lain". Menurut Gaarder, para filsuf di awal-awal perkembangannya lebih banyak laki-laki. Itu karena para lelaki lebih merasa penting untuk dipahami. Sedangkan perempuan lebih merasa penting jika bisa memahami. Karena itu para lelaki lebih berani unjuk gigi, tampil ke muka cari perhatian, dan lahirlah ilmu-ilmu filsafat. Lihatlah Socrates, kata Gaarder. Dia berkeliling menyapa orang-orang Yunani hanya untuk mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal sepele di sekitar sampai ia dinyatakan orang berbahaya dan mengancam "demokrasi"--sesuatu yang ia kenalkan ke khalayak--hingga tiba saatnya ia dipaksa minum racun cemara.
Karena itu frase "mengerti orang lain" jadi lebih terkesan feminim. Maka para pengerti atau para pencari jawaban pertanyaan-pertanyaan filosofis itu dikenal dengan nama kaum "sophies". Dan Gaarder memilih nama Sophie, gadis 16 tahun, sebagai tokoh utama dalam novel Dunia Sophie itu.
Saya tidak tahu bagaimana perkembangannya kini. Tapi dalam dunia sekitar kita, kita pernah mendengar penyair Sapardi Djoko Damono pernah berkata bahwa "dunia sastra Indonesia terletak di tangan perempuan" karena begitu banyak penulis-penulis muda yang muncul dari jenis kelamin ini. Dan, sepertinya, mereka "menjanjikan". Di beberapa milis yang saya ikuti, mereka yang aktif berkomentar dengan bahan bacaan yang luas dan argumentasi yang mantap memang lebih banyak perempuan. Mungkin perlu ada survei, setidaknya dari kategori umur belasan, lebih banyak mana remaja laki-laki atau perempuan yang lebih suka membaca.
Untuk kasus Socrates, teman saya, mungkin bisa jadi terbalik. Karena itulah kami tertawa. Telat kawin memang bisa bikin orang jadi suka merenung-renung.
Wednesday, December 14, 2005
LAGU DI ANGKOT
Saya masih tercengang-cengang oleh angkutan kota, terutama di Bandarlampung, meskipun sudah sedikit bisa berdamai. Berdamai dengan kebrisikan pengeras suara yang menyemburkan lagu-lagu house music. Bukan mulai suka, tapi mulai bisa tak peduli. Saya bisa cuek sambil menutup kuping.
Bunyi pengeras ternyata tak cuma dipasang untuk hiburan, tapi juga sebagai daya tarik bagi penumpang. Pantas saja, setiap angkot berlomba memperbesar pengeras suara yang sudah menghabiskan jatah duduk dua penumpang. Jika ada orang naik, para sopir akan mengeraskan bunyi lagu, tak peduli jantung penumpang di belakangnya berdegup karena getaran bunyi itu. Bagi pengidap lemah jantung, hati-hati memilih angkot di Bandarlampung.
Kini saya juga tak lagi bertanya-tanya kenapa para penumpang mau saja telinganya dijejali suara-suara aneh itu. Mereka ternyata juga doyan. Atau, seperti saya, tak peduli! Mungkin mereka juga pernah meminta suara diturunkan tapi dihardik sopir yang marah. Saya pernah.
Jam 13, terik memanggang. Saya naik angkot sambil menggendong Mikail yang tidur. Angkot ini saya pilih karena tak mengeluarkan bunyi lagu. Eeh, begitu kami masuk, si sopir langsung membunyikan tape kasetnya. Astaga, Mikail yang belum genap delapan bulan menjerit karena kaget. Istri saya minta suara dikecilkan, tapi kondektur itu bersungut-sungut. "Bung, apa Bung tak lihat saya bawa bayi?" Si kondektur cuek. Katanya, tanpa bunyi lagu ia bakal tak dapat penumpang. Saya mengalah. Kami turun mencari angkot yang lain.
Tapi jenis musik angkot kini mulai bergeser. Lagu-lagu untuk triping sudah agak jarang diputar. Ini zaman Peterpan dan Radja. Hampir semua angkot tak ada yang tak memutar lagu-lagu dua kelompok band ini. Kalau bukan Jujur pasti lagu-lagu album Taman Langit. Sepertinya, penumpang juga suka dengan lagu-lagu ini. Kaki-kaki, sepatu-sepatu, ikut bergoyang mengiringi ketukan setiap lagu. Ada juga yang lirih bernyanyi dengan gumam, meskipun suara lagu terdengar sember karena kalau bukan kaset bajakan, pengeras suara sudah pecah.
Para pengusaha rekaman harus berterima kasih kepada para sopir angkot. Setadinya saya pikir lagu Jujur atau Cinderela adalah sebuah lagu lama yang ngetop di daerah. Setahun kemudian, saya tahu itu lagu Radja yang sudah mengeluarkan empat album. Kini, oleh tabloid Bintang Indonesia mereka dinobatkan sebagai kelompok musik paling unggul tahun ini. Atau lagu Tak Bisakah yang sudah populer jauh sebelum iklan film Alexandria dipajang.
Para sopir bisa jadi tim pemasar yang efektif dan efesien. Lagu tak beda dengan merek: disukai bisa dengan dijejalkan setiap hari ke kuping orang. Sebuah lagu akan menyambar memori orang yang mendengar. Dan memori manusia jauh lebih besar dibanding MP3 dengan kapasitas berapapun. Kita akan tahu sebuah lagu setelah mendengar meskipun tak hapal atau samar-samar. Angkot juga bisnis yang tahan krisis. Para sopir menggerutu sejak harga bensin naik 2,5 kali lipat. Tapi mereka terus narik karena "rezeki bisa berserakan di setiap tikungan jalan".
Monday, December 12, 2005
IBU
Seputar Indonesia
Bagja Hidayat
Aku dan ibu duduk berhadapan di ruang tengah. Aku bertanya bagaimana hajatan di rumah kemenakan Pak Lurah di kota itu. Bapak dan Ibu telat pulang sehari dari janji yang cuma sehari di Bandung. Bapak sedang keluar rumah entah kemana sementara adik-adik sedang main ke rumah temannya. Ibu, seperti biasa, selalu menjadi pencerita yang menyenangkan tentang pengalaman-pengalamannya.
"Ibu dan bapak sempat jalan-jalan?" tanyaku. Aku mengupas kulit mangga pelan-pelan.
"Itulah kenapa kami sampai harus menginap," kata Ibu. Tangannya meraih majalah di kolong meja lalu membuka halamannya satu-satu.
"Ke mana saja? Bandung, kata orang, tempat yang bagus untuk jalan-jalan."
"Begitulah. Sampai ibu harus menanggung malu." Mata ibu tertuju pada majalah di pangkuannya.
"Menanggung malu?”
"Ibu jadi tontonan banyak orang karena nongkrong di rumah bordil."
"Bordil? Untuk apa ke tempat seperti itu?" aku jadi tak habis pikir.
"Untuk apalagi kalau bukan melacur.”
"Apa?" Aku berhenti mengupas mangga. “Siapa yang melacur?”
"Bapakmu.” Suara Ibu tetap datar.
"Apa?"
Aku terperanjat dari tempat dudukku. Mangga terjatuh ke ubin. Aku menatap ibu lekat-lekat. Ibu terdiam melihat reaksiku yang tiba-tiba itu. Diam ibu adalah diam seperti patung. Tak ada reaksi kendati suaraku meninggi.
"Maksud ibu apa?"
"Bapakmu pergi ke pelacur."
"Ibu tidak sedang memakai bahasa kiasan, kan?"
"Ya, tidak. Bapakmu pergi ke rumah bordil, ibu dan Bu Lurah menunggu di luar."
"Ibu biasa saja?"
"Ah, masak kamu tidak mengerti, sih."
"Bu. Bapak melacur, dan ibu diam saja, biasa saja?"
"Apa yang ibu bisa lakukan?"
"Apa yang ibu bisa lakukan? Astagfirullah. Ibu tidak apa-apa?"
"Ya, tidak. Sudah jadi kebiasaan bapakmu."
"Astagfirullah!"
"Ibu menurut saja."
"Gusti. Bu, ini serius! Kenapa ibu membiarkannya? Ibu memilih menanggung malu?"
Air mukanya berubah. Kini matanya sembab. Tapi tak sampai menangis. Ibu hanya diam. Air mata itu seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang mulai keriput. Ibu sudah seperti terbiasa bagaimana menahan air mata agar tak sampai menetes. Air mukanya sekejap saja murung. Setelah itu kembali seperti sedia kala. Seolah-olah beberapa waktu sebelumnya tak ada kejadian atau obrolan yang mengejutkan dan menyedihkan.
Bapak pergi melacur! Ini sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini, aku pikir, bapak dan ibu akur-akur saja. Mereka terlihat rukun dan harmonis. Tak pernah kudengar bapak marah karena ibu berbuat salah atau sebaliknya. Ibu tak pernah mengomel. Bapak selalu mendengar apa kata ibu. Tapi, ternyata, hidup mereka penuh sandiwara. Penuh kebohongan di depan anak-anaknya. Aku tahu ibu sedang menangis dalam senyumnya. Aku tahu hatinya remuk. Aku tahu hidupnya hancur.
"Astagfirullah, Bu." Aku memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Aku sesenggukan dalam pelukannya. Ibu tak bereaksi. Ia diam membatu. Tangannya masih memegang majalah yang terbuka. Tubuh cekungnya juga tak memberikan reaksi apapun ketika kupeluk. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengutuk ke-diam-an ibu. Menujah ketakberdayaan ibu. Aku ingin menjerit dan marah pada ibu. Tapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan dari dalam tenggorokanku. Aku tercekat. Betapa selama ini kami, semua anaknya, dibohongi dengan keharmonisan hubungan mereka.
Aku lepaskan pelukan setelah bisa sedikit menguasai diri. Ibu masih mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah. Matanya tertuju ke arahku tapi tidak menatapku.
"Kenapa, Bu?" aku mencoba bertanya di sela sisa-sisa isak. Agak lama aku menunggu jawaban ibu. Matanya berkedip. Ia menarik napas pendek. Kini tatapannya benar terarah padaku. Ibu menatapku penuh iba.
"Ibumu frigid," ia menjawab datar. Tak ada tambahan ekspresi setelah menyelesaikan ucapannya. "Tak bisa lagi melayani ayahmu." Aku kembali menghela napas. Aku tak menyangka jawaban itu yang akan kuterima dari serentetan kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaanku atas peristiwa itu.
"Sejak kapan?"
"Sejak adikmu lahir."
"Selama itu, Bu? Astagfirullah." Aku kembali terisak. Hatiku makin remuk. Pikiranku langsung tertuju pada bapak yang bolak-balik melacur selama 15 tahun. Dan mereka berhasil menyimpan rahasia itu hingga terbongkar kini.
"Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan ayahmu," katanya, "ini juga kesalahan ibu, ibu menerimanya sebagai takdir. Bapakmu masih muda, kamu pasti tahu."
Obrolan terputus. Suara langkah bapak terdengar di halaman. Ibu berlari ke kamar. Aku menyeka sembab. Kesedihan itu hilang berganti amarah yang siap melonjak. Aku tak lagi bisa menahan amarah. Aku ingin menumpahkannya saat itu juga. Bapak masuk tanpa mengetuk. Air mukanya cerah, secerah yang biasa kulihat. Ia menghisap rokok yang hampir habis lalu mematikannya pada asbak.
"Bapak dari mana?" aku langsung menyergah. Aku sudah tak ingat apakah kata-kataku benar tersusun keluar dari mulutku.
"Dari rumah Pak Lurah. Ibumu mana?"
Dunia di sekelilingku jadi merah dan gelap. Tanganku bergetar memegang pisau dapur.
[2004-2005]
Bagja Hidayat
Aku dan ibu duduk berhadapan di ruang tengah. Aku bertanya bagaimana hajatan di rumah kemenakan Pak Lurah di kota itu. Bapak dan Ibu telat pulang sehari dari janji yang cuma sehari di Bandung. Bapak sedang keluar rumah entah kemana sementara adik-adik sedang main ke rumah temannya. Ibu, seperti biasa, selalu menjadi pencerita yang menyenangkan tentang pengalaman-pengalamannya.
"Ibu dan bapak sempat jalan-jalan?" tanyaku. Aku mengupas kulit mangga pelan-pelan.
"Itulah kenapa kami sampai harus menginap," kata Ibu. Tangannya meraih majalah di kolong meja lalu membuka halamannya satu-satu.
"Ke mana saja? Bandung, kata orang, tempat yang bagus untuk jalan-jalan."
"Begitulah. Sampai ibu harus menanggung malu." Mata ibu tertuju pada majalah di pangkuannya.
"Menanggung malu?”
"Ibu jadi tontonan banyak orang karena nongkrong di rumah bordil."
"Bordil? Untuk apa ke tempat seperti itu?" aku jadi tak habis pikir.
"Untuk apalagi kalau bukan melacur.”
"Apa?" Aku berhenti mengupas mangga. “Siapa yang melacur?”
"Bapakmu.” Suara Ibu tetap datar.
"Apa?"
Aku terperanjat dari tempat dudukku. Mangga terjatuh ke ubin. Aku menatap ibu lekat-lekat. Ibu terdiam melihat reaksiku yang tiba-tiba itu. Diam ibu adalah diam seperti patung. Tak ada reaksi kendati suaraku meninggi.
"Maksud ibu apa?"
"Bapakmu pergi ke pelacur."
"Ibu tidak sedang memakai bahasa kiasan, kan?"
"Ya, tidak. Bapakmu pergi ke rumah bordil, ibu dan Bu Lurah menunggu di luar."
"Ibu biasa saja?"
"Ah, masak kamu tidak mengerti, sih."
"Bu. Bapak melacur, dan ibu diam saja, biasa saja?"
"Apa yang ibu bisa lakukan?"
"Apa yang ibu bisa lakukan? Astagfirullah. Ibu tidak apa-apa?"
"Ya, tidak. Sudah jadi kebiasaan bapakmu."
"Astagfirullah!"
"Ibu menurut saja."
"Gusti. Bu, ini serius! Kenapa ibu membiarkannya? Ibu memilih menanggung malu?"
Air mukanya berubah. Kini matanya sembab. Tapi tak sampai menangis. Ibu hanya diam. Air mata itu seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang mulai keriput. Ibu sudah seperti terbiasa bagaimana menahan air mata agar tak sampai menetes. Air mukanya sekejap saja murung. Setelah itu kembali seperti sedia kala. Seolah-olah beberapa waktu sebelumnya tak ada kejadian atau obrolan yang mengejutkan dan menyedihkan.
Bapak pergi melacur! Ini sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini, aku pikir, bapak dan ibu akur-akur saja. Mereka terlihat rukun dan harmonis. Tak pernah kudengar bapak marah karena ibu berbuat salah atau sebaliknya. Ibu tak pernah mengomel. Bapak selalu mendengar apa kata ibu. Tapi, ternyata, hidup mereka penuh sandiwara. Penuh kebohongan di depan anak-anaknya. Aku tahu ibu sedang menangis dalam senyumnya. Aku tahu hatinya remuk. Aku tahu hidupnya hancur.
"Astagfirullah, Bu." Aku memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Aku sesenggukan dalam pelukannya. Ibu tak bereaksi. Ia diam membatu. Tangannya masih memegang majalah yang terbuka. Tubuh cekungnya juga tak memberikan reaksi apapun ketika kupeluk. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengutuk ke-diam-an ibu. Menujah ketakberdayaan ibu. Aku ingin menjerit dan marah pada ibu. Tapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan dari dalam tenggorokanku. Aku tercekat. Betapa selama ini kami, semua anaknya, dibohongi dengan keharmonisan hubungan mereka.
Aku lepaskan pelukan setelah bisa sedikit menguasai diri. Ibu masih mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah. Matanya tertuju ke arahku tapi tidak menatapku.
"Kenapa, Bu?" aku mencoba bertanya di sela sisa-sisa isak. Agak lama aku menunggu jawaban ibu. Matanya berkedip. Ia menarik napas pendek. Kini tatapannya benar terarah padaku. Ibu menatapku penuh iba.
"Ibumu frigid," ia menjawab datar. Tak ada tambahan ekspresi setelah menyelesaikan ucapannya. "Tak bisa lagi melayani ayahmu." Aku kembali menghela napas. Aku tak menyangka jawaban itu yang akan kuterima dari serentetan kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaanku atas peristiwa itu.
"Sejak kapan?"
"Sejak adikmu lahir."
"Selama itu, Bu? Astagfirullah." Aku kembali terisak. Hatiku makin remuk. Pikiranku langsung tertuju pada bapak yang bolak-balik melacur selama 15 tahun. Dan mereka berhasil menyimpan rahasia itu hingga terbongkar kini.
"Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan ayahmu," katanya, "ini juga kesalahan ibu, ibu menerimanya sebagai takdir. Bapakmu masih muda, kamu pasti tahu."
Obrolan terputus. Suara langkah bapak terdengar di halaman. Ibu berlari ke kamar. Aku menyeka sembab. Kesedihan itu hilang berganti amarah yang siap melonjak. Aku tak lagi bisa menahan amarah. Aku ingin menumpahkannya saat itu juga. Bapak masuk tanpa mengetuk. Air mukanya cerah, secerah yang biasa kulihat. Ia menghisap rokok yang hampir habis lalu mematikannya pada asbak.
"Bapak dari mana?" aku langsung menyergah. Aku sudah tak ingat apakah kata-kataku benar tersusun keluar dari mulutku.
"Dari rumah Pak Lurah. Ibumu mana?"
Dunia di sekelilingku jadi merah dan gelap. Tanganku bergetar memegang pisau dapur.
[2004-2005]
Tuesday, November 29, 2005
ORANG-TUA
Apa perbedaan orang-tua dan orang-muda? Saya sering tidak mengerti apa yang ada di benak para orang tua. Mereka memberi petuah dan kebajikan yang tak dimengerti orang-orang muda.
Samar-samar Ivan Turgenev memberi jawaban. Dalam novelnya yang terkenal, Ayah dan Anak, Turgenev membuat garis tegas antara orang tua dan orang muda. Ayah mewakili prototif orang tua yang udik tapi penuh perhitungan, yang cemas tapi menaruh harapan, sementara Bazarov tipikal anak muda yang trengginas dan progresif. Pikiran dan gerak-geriknya mewakili sepotong "mahluk-revolusi". Ah, apa pula revolusi? Dengan berat hati saya cantumkan juga kata ini karena latar Ayah dan Anak bercerita tentang sebuah masa ketika Rusia mulai rusuh dengan ide-ide besar.
Bazarov yang baru lulus dokter itu pulang kampung. Ia tinggal di rumah seorang kawan, anak dari Ayah dalam novel ini. Kedua orang muda ini sering terlibat diskusi tentang zaman yang terbelakang. Cita-cita, harapan, dan solusi yang mungkin bisa diteraapkan. Dan Ayah adalah keterbelakangan yang nyata di depan mata mereka. Petuah dan kebajikannya sudah usang.
Ayah, yang tak mengerti bahwa dunia sudah berubah di luar sana, hanya berpikir bagaimana membuat tanah pertanian subur dan panen untuk hidup sehari-hari. Ia, misalnya, hanya perlu ke kebun mencari rumput untuk meredam demam seorang adiknya. Sedangkan Bazarov ingin penyakit itu dideteksi dan si bibi minum obat. Mereka pun kerap bertengkar untuk hal-hal sepele.
Ayah tak mengerti apa yang selalu diobrolkan kedua orang muda itu. Ia bahkan berpikir Bazarov adalah orang berbahaya yang bisa meracuni pikiran anaknya karena melabrak pakem-pakem tradisi. Bazarov makin prustasi ketika tahu keterbelakangan itu hinggap di seluruh negeri. "Kita harus berubah," katanya. Tapi dengan cara apa? Bazarov mewakili kaum intelektual Rusia ketika itu--dan di manapun--yang tak berdaya menghadapi kondisi masyarakat.
Dalam pandangan Bazarov, Ayah adalah orang yang tak mau berubah. Sementara di mata Ayah, Bazarov adalah orang yang tak tahu adat. Dua-duanya memakai mata yang berbeda dalam memandang situasi. Maka kedua generasi ini pun berbenturan.
Barangkali orang-orang tua memang seperti itu. Dan adat orang-orang muda juga sama seperti Bazarov. Mereka gelisah melihat sekeliling, membayangkan masa depan, meraba dirinya sendiri. Keduanya memakai tolok ukur yang berbeda.
Saya makin tahu perbedaan itu dalam sebuah obrolan warung kopi setiap malam di dekat rumah. Para orang tua selalu bercerita bagaimana pengalaman ketika muda. Seorang bapak, misalnya, mengaku bandel sewaktu muda tapi ia juga kini mengecap bandel pada anaknya yang jarang pulang.
Lain malam obrolan sampai pada soal umur. Sewaktu muda bapak yang rumahnya di ujung sana bercerita bahwa dulu ia kuat memanggul semen dua zak sekaligus. Sekarang, katanya, meskipun masih kuat ia hanya akan memanggul satu zak saja. Nah, inilah bedanya.
Orang-muda akan berpikir buat apa dua kali bolak-balik jika semen bisa diangkut sekali balik. Hanya buang waktu. Sedangkan orang-tua berpikir buat apa sekaligus jika masih bisa diangkut dua kali. Kebajikan dan banyak pertimbangan adalah hal yang membedakannya. Orang-tua, kata sebuah pemeo, memang tak pernah salah. Kita salah mengecap pikiran-pikiran mereka saat ini, tapi akan mengakui benar jika kita juga sudah jadi orang-tua. Dan umur, ini penutup obrolan semalam, tak pernah menipu.
Wednesday, November 16, 2005
BOLA
Bola...
Bola gayamu mempesona
[Bola | Ona Sutra]
Sepak bola mungkin tak selamanya menyangkut nasionalisme. Permainan ini lintas batas, kata Albert Camus. Kita bisa mendukung kesebelasan sebuah negara walaupun secara politik pernah dan sedang bermusuhan dengan negara kita.
Setiap kali pertandingan sepak bola piala dunia, entah kenapa, saya selalu menjagokan Belanda. Kesebelasan lain, semisal Prancis atau Brasil, bermain sangat bagus. Tapi saya selalu berharap Belanda-lah yang terus bermain hingga final, meski tak harus jadi juara. Padahal, Belanda pernah menjajah kita. So wot gitu loh?
Dalam pertandingan Uruguay-Australia tadi sore saya bersorak untuk kesebelasan asuhan Guus Hiddink itu. Orang sebelah berteriak, kenapa mau mendukung Australia padahal negara ini selalu ikut campur urusan Indonesia.
Australia memang menjengkelkan untuk beberapa hal. Di Kuta, Bali, bule Australia petantang-petenteng serasa di negaranya sendiri. Mereka bisa tertawa sekerasnya di bandara, padahal banyak orang lain yang menunggu pesawat dalam diam. Atau kepala negara mereka yang hanya mau menjawab pertanyaan wartawan negaranya sendiri padahal jumpa pers digelar di Istana Negara. Mereka juga terkenal rasis kepada orang kulit berwarna.
Tapi pertimbangan ini tak muncul dalam adu rebutan bola itu. Saya tak tahu apa yang mendorong saya berpihak pada Australia. Mungkin karena, di atas kertas, Australia kalah dibanding Uruguay. Simpati selalu saja datang untuk pihak kelas dua. Dan sejak piala dunia di Jerman Barat 1974 tim sepak bola Australia tak pernah merumput di kejuaran ini.
Tapi mungkin karena kesebelasan Australia bermain cemerlang. Di lapangan itu, 11 pemain Socceroos berhasil membuat 11 pemain Uruguay kerepotan menghadang di lini belakang. Hasilnya 1-0 untuk Australia sampai dua kali perpanjangan waktu berakhir. Untuk menentukan siapa yang berhak maju ke putaran piala dunia di Jerman tahun depan harus diundi lewat adu penalti--karena Uruguay pernah menang dalam pertandingan sebelumnya. Dan saya bersorak setiap kali Mark Schwarzer menepis bola dari kaki pemain Uruguay. Saya berteriak makin keras ketika John Aloisi melesakkan bola penentu ke gawang Gustavo Adolfo.
Kemungkinan lain, saya orang yang tak pernah punya jagoan dari negara sendiri setiap kali menonton haru-biru piala dunia sepak bola. Sehingga dukungan selalu ditumpahkan ke tim-tim kecil yang ajaib jika menang. Dalam sepak bola, alasan nasionalisme mungkin tak tepat benar.
Friday, November 11, 2005
KACAU HURUF
Eko Endarmoko
Praktikal atau praktis? Praktek atau praktik? Standar atau standard? Rasanya kita mendapati makin banyak saja kata yang ditulis berbeda-beda.
Ingat jugalah pemakaian kata-kata "kritikal" dan "teknikal", seperti "praktikal", yang agak sering kita temukan. Konon ketiga kata ini diserap dari bahasa Inggris critical, technical, dan practical. Kalau dikatakan bentuk yang baku adalah "kritis", "teknis", dan "praktis", pertimbangannya bukan semata karena ketiganya bisa juga dianggap serapan dari bahasa Belanda kritisch, technisch, dan praktisch, melainkan lebih karena akhiran -ical Inggris, dan -isch Belanda, dalam kaidah bahasa Indonesia menjelma -is, seperti pada "ekonomis", "hipotetis", atau "logis".
Sementara itu, Pusat Bahasa butuh waktu lama untuk menetapkan bentuk kata yang mesti dipakai adalah "praktik", bukan "praktek". Mulanya mungkin kita terkaget-kaget, tapi tampaknya itu terjadi karena kita belum terbiasa. Bukankah juga ada kata "praktikum", "praktis", dan "praktisi"? Dan berdasar nalar yang sama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) mestinya menulis bukan "populer", melainkan "popular", bukan "reguler", melainkan "regular", pun bukan "sekuler", melainkan "sekular".
Kaidah pembentukan kata serapan di situ cukup jelas dan logis, namun ironisnya dilanggar sendiri oleh lembaga yang merumuskannya, Pusat Bahasa. Ini contoh lain. Kita diminta menulis "standar", bukan "standard", meski ada kata "standardisasi". Padahal, menurut kaidah berbahasa yang baik dan benar, gugus konsonan /rd/ di akhir kata serapan tetap dipertahankan sebagaimana kita menulis "absurd" dan "fyord". Ingatlah pula pada huruf /t/ di akhir kata yang kini banyak disunat: "ekspor", "impor", "ekstrover", "introver", "transpor".
Pernah juga kita diminta menulis "subyek" dan "obyek", tapi sekarang diganti "subjek" dan "objek". Barangkali karena setelah diperiksa asal-usulnya, kedua kata itu, baik dalam bahasa Belanda maupun Inggris--dua bahasa yang termasuk paling banyak menyumbang kosakata buat kita--ditulis subject dan object. Baiklah. Lalu bagaimana dengan bentuk "proyek"? Tidakkah bahasa Belanda dan Inggris sama-sama menuliskan keduanya project?
Lihatlah, dalam soal yang "sepele" saja, yakni bagaimana menulis kata, lembaga yang melulu mengurusi bahasa sudah repot. Ia tidak hanya mengabaikan kaidah, tapi juga seperti tidak yakin pada alasan-alasan yang mendasari kaidah itu. Apakah sebetulnya yang menjadi kriteria di dalam menyerap kata asing: ejaan, bunyi, ataukah bahasa asalnya?
Yang kemudian mengundang cemas, bahasa Indonesia jadi seakan tak punya aturan dan terkesan tak siap menjalankan fungsi kecendekiaan. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan kaidah yang jelas sambil tak lupa bahwa bahasa cenderung mengelak diringkus oleh kaidah yang cerewet dan kaku. Dirumuskan terbalik, selama kaidah meneropong bahasa sebagai barang mati maka selama itu pula bahasa Indonesia akan terus awut-awutan seperti sekarang. Atau setelah buta huruf, kita perlu melewati fase kacau huruf dulu sebelum betul-betul melek huruf?
Koran Tempo, 9 November 2005
Thursday, November 10, 2005
DI MANAKAH 'DI'?
Goenawan Mohamad
Coba kita memasuki Jalan Diponegoro. Di depan Taman Surapati akan tampak sepetak tanah yang rapat dikelilingi pagar, dengan sekalimat pemberitahuan:
DI SINI AKAN DI BANGUN
Si penulis pemberitahuan itu pasti tak tahu ada dua macam "di" dalam kalimatnya yang seharusnya berbeda. "Di" yang pertama menunjukkan tempat "yang harus dituliskan terpisah dari kata yang menunjukkan tempat itu". "Di" yang keduamerupakan sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif "yang harus merapat padakata yang diawalinya".
Bedanya? Kita tahu, "di langgar" (artinya: di surau) tidak sama dengan "dilanggar" (artinya: ditabrak).
Tapi benarkah kita tahu? Ketika- ejaan diperbaharui di awal tahun 1970-an,umumnya orang ingat ada perubahan menulis secara tertentu; misalnya huruf "tj"("tjowok") diganti dengan "c" (jadi "cowok"). Tapi umumnya orang lupa, sejak saat itu sebenarnya ada ketentuan agar kita menuliskan secara berbeda kedua macam "di" itu.
Tapi apa lacur: sampai pada awal abad ke-21, kekacauan masih banyak terjadi. Kalimat di depan Taman Surapati itu adalah contohnya.
Dengan kata lain, ada yang gagal dari niat pembaharuan ejaan 30 tahun yang lalu.
Mungkin karena Pusat Bahasa "yang jadi pendorong ikhtiar nasional itu" hanya sibukdengan perkara cara menulis yang berubah. Atau mungkin para pegawainya hanya repot dengan ide perubahan bersama antara Melayu-Indonesia dan Melayu-Malaysia-dalam hal ejaan. Mungkin karena para pakar Pusat Bahasa sendiri tak sadar bahwamementingkan ejaan se-sungguhnya menegaskan perubahan sebuah kebudayaan.
Ejaan adalah perkara huruf. Kini, mau tak mau, kita hidup dalam kebudayaanberaksara. Agaknya Walter Ong, dengan bukunya yang termasyhur itu, Orality and Literacy, yang pertama kali dengan bagus menunjukkan apa implikasi "beraksara" itu. Terutama jika dibandingkan dengan kebudayaan yang hampir sepenuhnyamengandalkan komunikasi dan ekspresi lisan.
"Teknologi tulisan," kata Ong, mengubah kesa-dar-an manusia. Berbeda dengan kebudayaan lisan, aksara memberi bentuk linear kepada pikiran kita. Dengan itu, ter-bu-ka dan terdoronglah kita untuk bersikap ana-litis. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah adalah ketika orang Yunani mulai menghayati alfabet.Dunia pemikirannya pun berubah, tak lagi berdasar kisah lisan Homeros,melainkan bersama Plato, yang mampu mengurai persoalan hidup dan jalan pikiransecara tajam.
Mengurai juga berarti menyadari dalam menggunakan kata, bukan mengigau. Karenatanpa sikap analitis yang memadai, kita pun mudah mencampur-adukkan "kontra" de-ngan- "kontrak", sehingga kita memasang pengumuman di depan pintu: "RUMAH INI DIKONTRAKAN" (dengan satu "k").
Atau kita alpa bahwa akar kata "berubah" bukanlah "rubah" (nama sejenis hewanyang dalam bahasa Inggris disebut "fox"), melainkan "ubah", sehingga "merubah" sebenarnya berarti "menjelma jadi rubah".
Memang ada yang hilang dalam kebudayaan aksara, tapi bisakah kita mengabaikan,betapa pentingnya kini sikap analitis dalam berbahasa dan berpikir? Tak hanyauntuk melahirkan seorang Plato. Tapi juga buat soal yang lebih sehari-hari: misalnya ketika kita harus menggugat sebuah perlakuan yang kita anggap secara seenaknya menafsir-kan hukum. Kita hanya bisa menggugat secara efektif, jika bisa bertanding tafsir atas kata-kata dalam peraturan itu" dan adu tafsir padadasarnya adu analisis.
Syahdan, ada sebuah teori, berdasarkan pengalaman, bahwa di masyarakat yang terbiasa dengan aksara, orang ramai tak mudah dihasut. Orang akan lebih mampu menyimak kembali dan menguraikan informasi yang didapat.
Kalau tak percaya, coba bayangkan di sebuah pertemuan seseorang berseru: "Tadi siang Quran kita dibiarkan di langgar!" Orang ramai yang mendengar mungkin akan marah besar: mereka menyangka bahwa yang dimaksudkan adalah "Tadi siang Quran kita dibiarkan dilanggar!"
Tuesday, November 08, 2005
PIKIRAN SEORANG PEDAGANG KELONTONG
Saya bertetangga dengan seorang pedagang kelontong. Ia suka begadang. Dan terang-terangan mengaku doyan main kartu, judi kecil-kecilan. Selama puasa kemarin, saya jadi sering mengobrol hingga menjelang sahur.
Ia cuma lulusan sekolah dasar di Jepara. Hijrah ke Jakarta sekitar tahun 1970-an. Jadi sopir truk, bus, hingga kini jadi sopir direksi sebuah perusahaan. Ia selalu bersyukur cuma lulusan SD bisa punya gaji tetap. Tiga anaknya sekolah di perguruan tinggi. Di rumah, ia buka warung. Orangnya menyenangkan, ramah pada setiap orang. Kami langsung akrab padahal baru kenalan saat itu juga.
Yang mengejutkan ia menyamakan koruptor dengan komunis. Seharusnya begitu jika Indonesia mau kembali maju, katanya. Aduh. Dulu, ketika Suharto naik, semua penganut, pengikut, simpatisan komunis dikremus. Dosanya turun temurun. Anak-cucu-cicit yang moyangnya pernah ikut PKI dilarang mendaftar jadi pegawai negeri. Kalau memaksa juga dijamin tak bakal lolos litsus. Dan ini program yang sangat sukses.
Bagaimana kalau program itu juga diberlakukan untuk koruptor? Anak-cucu-cicit koruptor diberi dosa turun temurun: tak boleh menikmati fasilitas negara. Bila perlu usir dari negeri ini, kalau belum tega menembak kepalanya seperti dilakukan para algojo Cina.
Bagi Pak Giman, saya tak bertanya nama lengkapnya [rasanya kurang sopan karena semua orang memanggil dia cukup dengan Pak De], Indonesia tidak cocok dengan demokrasi. Dan apapula demokrasi? Demokrasi, kata Pak Giman, adalah sebuah sistem di mana semua orang bebas bicara, bebas bertindak, karena itu negeri ini jadi seperti pasar. Yang paling kencang berteriak-- seperti tukang parkir dan calo bus itu--dia yang akan didengar orang. Indonesia sudah biasa dengan kerajaan. Ada pusat, ada orang kuat, ada yang bisa dijadikan rujukan terakhir ketika sebuah masalah tak kunjung bisa dipecahkan. Kita tak bisa dan biasa menyerahkan pemecahan masalah pada suara orang banyak. Sistemnya akan kacau. Sistem akan riuh dan masalah akan semakin bertumpuk. Persis seperti yang terjadi sekarang.
Pak Giman tak pesimistis Indonesia bakal selamat hingga kiamat. Ia meramal kita akan terus-terusan begini. Saya mengangguk. Sebagai orang Indonesia, kita seperti menunggu Godot. Cita-cita reformasi, tujuan demokrasi, adalah sebuah harapan, sebuah Godot. Kapan harapan itu tiba, jangan pernah mengharapkannya. Kita mengharapkan sebuah harapan. Konyol betul. Bukankah Godot tak pernah datang?
Saya bergidik mendengar Pak Giman. Suaranya mewakili keputusasaan hampir semua orang. Ada berapa puluh juta suara yang sebangun dengan pikiran Pak Giman, kita tidak tahu. Apa yang akan terjadi jika puluhan juta suara itu berkumpul? Republik Indonesia mungkin masih ada, tapi "Indonesia" saya menyangsikannya.
Setiap kali obrolan sampai sejauh ini, Pak Giman selalu menutupnya dengan separoh pesimisme. 10-20 tahun lagi saya meninggal, katanya. Dan saya tak perlu berpikir konyol seperti ini lagi.
Monday, October 24, 2005
PENGKHIANAT?
SUATU sore, saya membuang sebuah buku Salman Rusdhie ke selokan. Buku terjemahan itu hanyut lalu hinggap entah di mana. Saya puas telah membuangnya. Buku itu masih hangat: baru saya beli dari sebuah toko buku.
Saya membelinya karena kepincut oleh nama besar Rusdhie. Saya teledor tak memeriksanya barang 2-3 halaman saat di toko itu. Dalam angkutan kota menuju rumah, saya membayangkan diri sendiri sore itu akan membaca sebuah buku yang asyik di beranda sambil menikmati angin dari hujan yang sebentar. Sekali lagi saya kecele: sampai lima halaman pertama buku tipis itu, saya bersikeras menangkap apa yang ingin ditulis Rusdhie. Dan saya tak mendapatkannya.
Setiap kali membaca buku terjemahan yang buruk, saya selalu ingat Umberto Eco. Seorang penerjemah, kata dia mengutip pemeo Italia, adalah seorang pengkhianat. Eco mengutip pepatah ini untuk menutup sebuah esainya yang jernih tentang terjemahan sejumlah novelnya. Il nome della rosa dan Pendolo di Foucault dijadikan contoh bagaimana ia merisaukan karya terjemahan.
Eco tentu saja risau : bisakah gagasanku tersampaikan oleh bahasa lain? Karena setiap kata dalam suatu bahasa tak tergantikan oleh kata dalam bahasa yang lain. Eco merasa "terhina" setiap kali bukunya selesai diterjemahkan. Penerjemahan, katanya, merupakan "proses politik yang menyakitkan". Karena sebuah karya terjemahan berarti telah menumpulkan kejeniusan gagasan setiap penulis yang ternyata bisa ditiru dengan wadah yang lain, dengan bahasa yang lain.
Saat penerjemahan sedang berlangsung, Eco kerap kali bersepakat dengan William Weaver, penerjemahnya, jika ada kata atau bentukan yang sulit dicari padanannya. Sebab itu ia menganalogikan penerjemahan dengan jual beli telur di pasar. "Jika pedagang minta harga 100 dan kau menawar 10 maka kalian akan bersepakat pada harga 50," katanya. Negosiasi seperti ini sering terjadi karena bahasa lain ternyata tak cukup menampung gagasan yang tertuang dalam bahasa asli.
Saat berdiskusi, ketika ada penerjemah yang tak mengerti gagasannya pada sebuah paragraf, kerisauan Eco makin bertambah-tambah. "Itu menunjukan pikiranku suram saat menulis paragraf itu," katanya, "aku seringkali tergoda menulis ulang."
Milan Kundera, novelis Ceko yang mukim di Paris, bersikap lebih sengit pada seni terjemahan. Ia yakin sebuah karya sastra tak akan tergantikan oleh karya yang lain, sekalipun terjemahan. Baginya, "Sihir seni terletak pada keindahan bentuknya." Jika jiwa sebuah novel masih ada saat diterjemahkan atau ditulis ulang, dalam pengantar bukunya ia pernah menulis begini, maka novel itu bernilai rendah.
Komunikasi yang terjalin dalam sebuah karya terjemahan tidak lagi teks dengan pembaca, tidak saja penulis dengan pembaca, tapi penulis, penerjemah, teks, dan pembaca sekaligus. Distorsi makin terbuka karena prosesnya makin panjang. Maka alangkah tepatnya pemeo orang Italia itu. Dan saya puas telah membuang Salman Rusdhie.
*) beberapa bagian pernah dimuat di Lampung Post
Thursday, October 13, 2005
KISAH PENGARANG KARTIWA
Lampung Post
Bagja Hidayat
KARTIWA menghela napas. Ia belum juga berhasil menuliskan sebaris kalimat di layar komputernya yang telah mencorong berjam-jam menunggu tarian jarinya di keyboard. Layar itu seolah siap menampung ledakan-ledakan ide dari kepalanya. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini tak ada ide yang mampir yang akan tersusun menjadi cerita dan siap dikirimkan ke koran bertiras besar. Jarinya macet, pikirannya beku. Layar komputer di depannya jadi begitu menusuk menyilaukan matanya.
Padahal, sebelum-sebelumnya, setiap kali ia menghidupkan komputer, setiap kali layar komputer membentang, idenya langsung tumpah tak terbendung. Cerita-cerita berhamburan lewat jari-jarinya yang tak bisa dihentikan oleh rengekan anak-anaknya, jeritan istrinya, atau raungan televisi di ruang tengah. Ia akan tenggelam dalam kisah yang dibuatnya, masuk ke dalam tokoh-tokoh yang diciptakannya. Dalam 7-8 halaman, cerita tentang hidup, kegetiran, kesenangan, putus cinta, dan segala tragedi hidup manusia lainnya akan terangkum dalam cerita-ceritanya. Lalu koran bertiras besar akan memuatnya dan dibaca oleh jutaan penggemarnya di seluruh penjuru negeri.
Kartiwa dielu-elukan sebagai manusia seribu-satu-ide. Manusia yang tak pernah kering oleh cerita yang mengharukan, menggugah, dan membangkitkan semangat bagi para pembacanya. Setiap minggu ia menerima ratusan surat dari para penggemarnya yang meminta dibuatkan sebuah cerita dengan tema tertentu atau surat yang hanya menyemangati agar ia terus menulis dan terus melahirkan cerita yang evokatif dan melahirkan empati. Ada juga surat dari para penggemar yang menginginkan kisah hidupnya—sejak lahir, tumbuh besar di kampung, kawin, hingga menjelma jadi seorang pencerita yang lihai—diabadikan dalam cerita-cerita lalu dikumpulkan menjadi sebuah otobiografi. Mereka siap membayar berapapun yang diinginkan Kartiwa. Para penggemar itu penasaran kisah hidup seperti apakah yang memicu Kartiwa bisa menjadi seorang penulis jempolan seperti sekarang. Siapa tahu cara didikan orang tua Kartiwa sewaktu kecil bisa ditiru dan ditularkan untuk mendidik anak-anak di dunia.
Tapi Kartiwa bukan penulis pesanan. Ia menulis karena ingin menulis. Ia membuat cerita karena dunia telah kehilangan pengisah, pendongeng, dan tukang-tukang cerita yang telah mati oleh sejarah. Ia menjadi penulis karena sebuah panggilan: dunia memang membutuhkan dan menakdirkannya menjadi seorang pengisah sejati.
Ia sendiri telah memproklamirkan hidupnya sebagai penulis. Ia bisa menghidupi seorang istri, lima anak, satu pembantu, membeli sebuah rumah serta mobil yang mentereng. Tak perlu berkeringat, duit-duit itu bermunculan sendiri dan masuk ke rekeningnya. Pelbagai pernghargaan menulis telah ia raih dan jutaan rupiah hadiah telah ia terima.
Cerita-ceritanya telah dibukukan dan ia mendapat royalti yang besar dari cerita-cerita yang telah ia tulis itu. Penerbit dalam dan luar negeri selalu berebut menerbitkan cerita-ceritanya. Ia tinggal mengangguk atau mengiyakan saja, berbagai penghargaan, duit, tropi, dan puluhan hadiah akan menyusul. Belum lagi jika ada produser sinetron atau film yang akan mengubah cerita-cerita itu menjadi skenario dan disinetronkan di televisi, atau difilmkan dan diikutsertakan dalam berbagai festival di luar negeri. Duit akan kembali masuk ke dalam kantong dan rekening banknya. Tabungannya telah cukup untuk menampung hidup tujuh turunan. Kartiwa telah jadi orang terkenal berkat cerita-ceritanya.
Ia kerap diundang sebagai pembicara di seminar-seminar tentang kepenulisan. Presiden bahkan telah mengundang makan malam di istana dan menawarkan beasiswa untuk memperdalam ilmu soal kepenulisan. Tapi ia menolaknya. Guru-guru besar di universitas itu kalah kemampuan dibanding dirinya. Segala teori menulis itu bukankah ia sendiri yang menelurkan dan dikutip oleh para guru besar saat mengajar mahasiswa-mahasiswanya?
Tapi segala kemewahan itu berhenti malam ini. Idenya macet. Kepalanya pening. Belum satupun cerita ia tulis. Jari-jarinya tak lagi lincah menari-nari di atas tuts-tuts komputernya.
Ia kembali menghela nafas. Cerita-cerita seolah telah tamat. Tak ada lagi yang bisa ia tulis. Seluruh tema telah ia tulis sebelumnya. Semua tragedi telah ia rangkai dalam berbagai cerita dengan berbagai variasi. Semua kesengsaraan, perjuangan hidup, dan sebagainya telah ia jalin dalam cerita-cerita yang menyentuh dan mengharukan.
Nafasnya memberat. Komputer di depannya seolah menghakimi karena dibuat lama menunggu. Berkali-kali ia harus memencet enter untuk menghentikan screen saver yang tiba-tiba menari-nari di layar komputernya. Idenya betul-betul macet.
Judul pun belum ia tuliskan, boro-boro kalimat pertama yang memukau, lalu paragraf-paragraf yang mempesona. Huruf pertama untuk judul pun belum ia ketikkan. Ia telah mencoba membuat judul dengan memulai kalimat pertama. Tapi kalimat itu terasa jelek betul. Ia mengapusnya kembali. Lalu menulis kalimat yang lain lagi. Tetap sama jeleknya. Kalimat yang kabur dan tak jelas ujung pangkalnya. Mau kemana kalimat yang tak jelas ini bersambungan dan berakhir tersusun dalam sebuah cerita. Ia menghapusnya lagi. Jam di dinding ruang kerja itu berdentam lebih keras. Sudah jam 02.30 belum juga ia berhasil memperoleh kalimat yang pas.
Tadi ia hampir mendapat ide. Tentang perjuangan seorang ibu mendapatkan anaknya kembali setelah 30 tahun salah perwalian. Tapi ini cerita klise. Terlalu banyak cerita-cerita semacam ini. Lalu ia menemukan ide tentang seseorang yang kehilangan hatinya, sehingga tak lagi punya perasaan. Tapi orang semacam ini telah ditulis koran-koran dan majalah serta diulas dalam risalah dan editorial oleh para redaktur satu atau dua tahun yang telah lewat. Koran-koran, waktu itu, memuatnya sebagai kepala berita berhari-hari. Orang yang kehilangan hatinya telah diwawancari oleh hampir seluruh media massa. Televisi-televisi bahkan memasang iklan dan pengumuman yang berisi ajakan kepada pemirsa agar ikut mencari hati yang hilang itu. Barang siapa yang menemukan hati berwarna merah jambu yang sudah tak bulat lagi itu akan diberi hadiah puluhan juta rupiah. Istri Kartiwa mungkin telah menggunting potongan koran itu dan disimpannya dalam map kliping. Hanya saja Kartiwa malas memeriksa tumpukan kliping di rak bukunya karena keyakinan istrinya telah menggunting dan mengumpulkannya. Ia mengurungkan lagi cerita semacam itu.
Lalu ia ingin menulis cerita yang absrud yaitu tentang manusia berkepala garuda. Manusia, tokoh utama itu, bisa terbang dan menjadi pemangsa yang menakutkan bagi penduduk sebuah kota. Ia ingin menulis akhir dunia dengan kemuculan manusia-garuda itu. Tapi, ah, ini juga klise. Ia tak mengetahui bagaimana akhir dunia ini. Meskipun cerita ini bagus, futuristik, menurut pikirannya, tapi akan jadi khayalan belaka. Kartiwa ingin menulis tentang keseharian saja, tentang bunga, sice yang gelap, atau lapangan sepak bola dan sawah-sawah serta gunung. Cerita semacam ini, menurutnya, akan lebih menguggah daripada cerita yang belum jelas dan hanya buah khayalan yang menduga-duga saja. Heh, bagaimana kalau manusia itu tanpa kepala? Ya, selama ini manusia hidup dengan kepalanya, bagaimana kalau tokoh yang ia ciptakan hidup tanpa kepala? Hmm, menarik juga. Kartiwa hampir melonjak karena mendapat ide yang brilian.
Kartiwa bersiap, jarinya sudah di atas papan keyboard, ketika sebuah pikiran lain melintas. Ia merasa pernah mendengar atau membaca tentang cerita manusia tanpa kepala tapi benar-benar hidup dan menakuti semua orang. Kepalanya kembali pening. Bagaimana bisa ia terjebak dalam cerita yang penuh tiruan. Ia hampir saja terjerembab ke dalam jurang plagiarianisme. Apa jadinya jika pikirannya tak cepat ingat pada cerita yang pikirannya belum berhasil meraba sumber ceritanya tapi sungguh-sungguh pernah ia baca atau tonton[1]. Para kritikus akan dengan cepat mengulas ceritanya itu di kolom resensi dan dengan kejam akan mengecapnya sebagai seorang plagiator! Huh, buru-buru ia hapus paragraf yang telah ia buat. Cerita tentang manusia tanpa kepala ia lupakan.
Matanya memberat. Kantuknya hampir tumpah. Adagium cognito ergo sum sudah tak berlaku. Descartes sudah mati. Seperti dirinya. Ah, kenapa tak menulis soal kebuntuan ini saja? Toh ini juga sebuah cerita. Lalu ia mengetik dan mendapat satu paragraf. Kalimat pertamanya berbunyi. “Aku bisa menulis tanpa ide.” Tapi dihapusnya. Bukankah ide menulis tanpa ide sendiri itu sebuah ide. Kalimat yang akan jadi bahan tertawaan para kritikus saja. Ia menghapusnya. Lalu menggantinya dengan kalimat. “Tanpa ide seorang penulis telah mati”. Ya, ya, kalimat bersayap yang bagus. Mati tak harus mati jasadnya. Mati bisa juga idenya. Tapi, ah, bukankah kalimat itu sendiri sudah menjadi sebuah ide? Hmm, benar, itu juga sebuah ide. Kalimat yang konyol. Ia menghapusnya lagi. Itu juga kalimat klise. Semua orang sudah tahu seorang penulis hidup dari ide-idenya, karena itu seorang penulis akan mati karir kepenulisannya jika sudah tak punya ide atau mengasah kemampuan menciptakan ide-idenya.
Aduh, menulis apa lagi ini? Semuanya sudah ada. Koran-koran telah menulisnya. Apalagi yang harus dikisahkan jika kisah-kisah itu sudah jadi berita dan menjadi headline di koran-koran. Ia percaya, halaman-halaman cerita di koran bisa menampilkan alternatif bagi seribu satu kisah yang telah ditulis oleh para wartawan dengan tokoh yang cepat terlupakan. Tapi kisah yang mungkin dan tak mungkin, yang absurd dan semula dianggap tak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata telah ditulis para wartawan. Hari ini saja halaman-halaman koran telah terisi oleh bermacam cerita dari seluruh penjuru dunia. Ada anak yang kawin dengan ibunya karena mereka telah lupa bahwa mereka sepasang anak dan ibu. Seseorang yang lain menginginkan jadi hantu karena sering melihat enaknya jadi hantu dalam tayangan misteri televisi lalu ia menjadi hantu-hantuan dan menakut-nakuti para pejalan yang lewat di perempatan kampungnya, perampokan yang lucu, dan sebagainya.
Apalagi? Lahanku telah habis. Huh!
Kartiwa mendelik. Napasnya begitu berat. Hh. Belum juga satu kalimat. Padahal radaktur koran bertiras besar sudah memesan satu cerita pendeknya untuk dipajang dalam edisi spesial memperingati ulang tahun koran bertiras besar itu yang ke-30. Besok harus sudah selesai dan dirkirm ke meja redaksi. Jika sampai besok ia belum juga bisa membuat satu buah cerita maka, ia cemas, redaktur koran itu akan memutuskan kontrak pemuatan cerita bersambungnya yang tinggal diteken saja. Atau jika cerita yang dibikinnya untuk edisi spesial itu mengecewakan pemilik koran itu maka, ia khawatir, koran langganannya tak akan lagi mau memuat cerita bersambung, novela, atau cerita pendek yang ia kirimkan. Meski masih banyak koran atau majalah lain yang masih memerlukan, tapi Kartiwa tidak rela jika satu saja media massa memutuskan kontrak cerita dengannya. Kartiwa memiliki sifat kehilangan yang amat besar. Ketika ia kehilangan duit seratus ribu rupiah, ia murung berhari-hari memikirkan duit itu karena uang yang akan dikirimkan ke rekeningnya tak lagi genap lima puluh juta. Untuk kehilangan itu, Kartiwa menuliskannya jadi sebuah cerita dan mendapat banyak tanggapan. Ada seorang penggemar yang mengirim surat bahwa ia siap mengganti uang seratus ribu itu agar Kartiwa tak lagi murung sepanjang hari.
Sebuah koran mewawancarainya tentang kehilangan duit yang cuma seratus ribu dan menghasilkan sebuah cerita yang mendapat banyak tanggapan itu. Wartawan koran itu ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi agar para penggemar Kartiwa tenang dan—terutama—kenapa ide kehilangan duit bisa menjadi sebuah cerita yang mengundang banyak minat. Kartiwa—seperti biasanya—akan menjawab dengan tenang, dengan kalimat yang panjang, yang perlu ditanyakan berulang kali oleh wartawan sebelum wartawan itu mengerti apa yang dimaksudkan pengarang hebat itu. Menurut Kartiwa, bagi seorang pengarang seperti dirinya, minat pada sifat kehilangan itu mutlak harus dimiliki. Bukannya kikir, kata Kartiwa, tetapi sifat itulah yang gampang melahirkan perasaan iba dan memupuk kehalusan jiwa yang amat dibutuhkan oleh pengarang seperti dirinya. Wartawan itu puas dan pulang dengan sebuah wawancara ekslusif yang ia yakin akan diburu oleh para pembacanya. Ia juga yakin akan mendapat pujian dari redakturnya selain pujian dari asosiasi wartawan atas kegigihannya mendapatkan wawancara dengan Kartiwa, si pengarang seribu satu ide.
Tapi julukan “pengarang seribu satu ide” kini tinggal julukan saja. Karena kini Kartiwa masih duduk termangu di depan komputer yang sudah jengkel karena terlalu lama didiamkan dan hanya dipelototi saja oleh sepasang mata Kartiwa yang sudah merah dan perih. Kartiwa bangkit karena air dalam cangkirnya sudah habis. Gelas kopi juga sudah dingin karena selain tak disentuh lagi juga karena terkibas pendingin yang nyantol di tembok meja kerjanya. Ia berjalan menuju kulkas di ruang tengah dekat televisi yang tinggal memamerkan jutaan semut karena ditinggal tidur oleh anak-anak Kartiwa.
Pikirannya masih menerawang mencari-cari ide yang bersembunyi atau tersembunyi. Kartiwa masih tak habis pikir kenapa otaknya jadi buntu begini. Ia juga tak menemukan alasan kenapa idenya jadi macet. Tak ada hal, selama itu datang dari dalam dirinya maupun lingkungannya, yang membikinnya harus kehilangan ide. Jika ide-ide itu hilang karena memang tak perlu lagi ada cerita yang patut dikisahkan, Kartiwa akan mafhum. Tapi ia belum berani mengambil kesimpulan seperti itu. Ia masih curiga dirinya sendirilah yang menyebabkan ide-ide itu tak mengalir keluar melalui jari-jarinya. Kartiwa meneguk dua gelas air dingin yang menyegarkan tenggorokannya yang jadi kering karena dihajar oleh berbatang-batang asap rokok. Ia berjalan dan kembali lagi ke depan komputer. Ia harus berpacu dengan waktu untuk membuat satu buah cerita sebelum ayam berkokok.
Kini setelah ia memikirkan kenapa ide jadi macet, pikirannya malah tak dihinggapi bahan cerita sama sekali. Pikirannya malah menerka-nerka dan mencari jawab atas pertanyaan kenapa ide jadi macet begini. Jika ingat ia harus menyelesaikan cerita, Kartiwa terkesiap dan pikirannya kembali mencari cerita yang bagus untuk dikisahkan jadi sebuah cerita pendek atau panjang. Tapi setiap kali pikirannya mereka-reka sebuah kisah, pikiran itu pula yang menolak dan lebih senang menerka kenapa ide-idenya macet. Ia hampir menemukan jawabannya ketika pikirannya kembali ingat ia harus menyelesaikan sebuah cerita.
Kartiwa bertekad, daripada pikirannya berperang antara membikin cerita atau menerka kenapa idenya macet, ia akan memulai cerita dengan menuliskan kalimat pertama, sebuah kisah tanpa judul lebih dulu. Ia berpikir siapa tahu ide itu datang setelah kalimat pertama dibikin meski ia tidak tahu cerita apa yang akan dibuatnya. Ia lupa cara seperti ini sudah ia coba berkali-kali sebelumnya. Ia lupa maka ia bersiap mencari kata-kata yang menakjubkan. Sikap duduknya seperti sikap seorang tentara yang sedang belajar di dalam kelas sebelum berlatih fisik ke lapangan. Rokoknya mengepul di sela jari yang dengan cepat berpindah ke sela bibir dan sebaliknya. Sudah lima menit ia duduk tegap seperti itu tapi belum satu pun kata yang hinggap di kepalanya. Kata-kata berhamburan dalam kepalanya tapi pikirannya itu pula tak cukup bersetuju suatu kata yang mampir itu untuk dituliskan di layar komputernya.
Kartiwa kembali menghela napas. Sudah habis satu batang rokok belum juga ada kalimat yang ia tulis. Boro-boro cerita, bahkan kata pun tak sudi mampir melalui jari-jarinya. Udara jadi gerah. Pendingin tak cukup mengademkan isi kepalanya yang memberontak. Pikirannya kini menghakimi, tidak lagi menerka-nerka, kenapa tak ada ide mampir di kepalanya. Ia jadi jengkel.
Dihisapnya rokoknya dalam-dalam sebelum menuliskan satu kalimat ini: AKU TAK BISA MENULIS LAGI. TANDA SERU. TITIK. Ayam berkokok dua kali.
Bandar Lampung, 2004
[1] Cerita manusia tanpa kepala ada dalam film Sleepy Hollow. Kartiwa pernah nonton film ini bersama keluarganya, tapi ia lupa kapan dan dimananya karena saat menonton pikirannya tidak konsentrasi sehingga selama berada di depan komputer malam ini ia tak berhasil mengingat judul film tersebut. Yang menyangkut di kepalanya hanya tokoh utama film itu yang berkuda tanpa kepala.
Friday, October 07, 2005
TENTANG PUASA, DLL
Puasa telah mengajarkan bahwa kita punya napsu yang terbatas. Begitu teng magrib, napsu kita terhenti oleh secangkir kolak pisang dan segelas teh manis hangat. Napsu yang membludak sejak siang hangus tak bersisa. Kita bahkan KO setelah makan malam.
Tapi apa yang terjadi jika tak puasa. Rasanya napsu itu tak henti-henti. Jika boleh dan ada, apapun yang bisa dimakan dan enak akan kita libas. Kita lupa menghentikan keinginan-keinginan karena memang boleh, sepanjang tak ada larangan. Tapi, dengan puasa, larangan itu tak perlu ditegas-tegaskan. Kita berhenti sendiri.
Mungkin ini hanya satu soal. Karena napsu bisa datang dalam beragam bentuk. Lihatlah ke pusat-pusat belanja. Aneh juga, ekonomi selalu menyediakan 1-2 persen ruang kenaikan inflasi akibat puasa dan lebaran. Artinya, pada bulan-bulan seperti ini, orang akan lebih banyak membeli, lebih banyak menghamburkan uang. Biasanya uang beredar selalu bertambah.
Bukankah seharusnya terjadi sebaliknya? Kita bisa menabung dan mengekang napsu dunia saat puasa. Tapi mungkin susah. Ini manusiawi, kata orang di sebelah. Apa salahnya memanjakan diri sendiri. Toh, ujungnya--seperti diulang-ulang para pendakwah--puasa melatih kita merasakan derita orang lain. Terpenting adalah kita sudah tahu bahwa lapar itu tidak enak. Karena itu "orang-orang yang menderita" tahu bahwa ini bulan yang menganjurkan peduli.
Jumlah pengemis bertambah, kata sebuah koran. Pak ogah mengepung di setiap perempatan. Gelandangan berlipat. Setiap kali kondisi seperti ini datang, saya selalu ingin menganjurkan : stop memberi orang miskin.
Orang miskin itu aneh. Bukan saja karena ada orang miskin akibat malas, tapi upaya seperti ini terasa makin memanjakan negara. Kita seperti membayar pajak dobel. Negara tak peduli dengan kewajibannya, sehingga kita yang memikulnya. Rp 100 ribu dari kompensasi kenaikan harga BBM pun bukan karena kebaikan pemerintah, tapi karena itu memang hak orang miskin.
Orang miskin akan terus berharap dan menunggu karena rezeki akan datang setiap kali bulan puasa. Orang miskin akan tiba-tiba ada setiap kali Ramadan. Sayangnya BPS tak pernah menyensus berapa banyak orang miskin saat sebelum dan sedang puasa. 15,5 juta keluarga itu data sebelum puasa. Sekarang jumlahnya mungkin sudah bertambah.
Wednesday, September 28, 2005
KEBAIKAN YANG TERCECER DI JALANAN
Barangkali sudah separuh umur saya habiskan untuk berusaha melawan lupa. Dan lupa itu pula yang sering membawa pada sengsara. Pekan lalu kunci rumah lupa terbawa dari Badarlampung sehingga saya harus mondok di kantor. Siang tadi saya lupa mengisi bensin sepeda motor. Dan, aha, saya harus banyak mengeluarkan keringat mendorong sepeda itu dari Monas ke Departemen Keuangan.
Tapi selalu ada kebaikan yang tercecer di jalanan.
Betatapun jalanan Jakarta begitu absurd untuk urusan tolong menolong. Di kereta, orang-orang akan cuek padahal ada satu penumpangnya yang sedang dirampok. Ada banyak penunggang sepeda motor yang menyalip sembarangan, menerobos lampu merah dan merampas hak pejalan di trotoar. Tak sedikit juga raung klakson dari mobil-mobil yang was-was terserempet. Supir yang menghentikan mikrolet tanpa lampu sen atau penyebrang yang tak lihat kiri-kanan.
Dan dia tiba-tiba saja sudah ada di depan saya. Bertanya kenapa saya mendorong sepeda begitu rupa. Lalu menawarkan jasa. "Saya derek," katanya, "ada pom bensin di belakang gedung itu." Tangannya menunjuk. Saya yang sudah kelelahan mendorong sepeda dalam ngentab udara Jakarta sepanjang dua kilometer, mengangguk begitu saja.
Pelan-pelan dia menderek sepeda saya. Kaki hilang pegal. Napas mulai teratur di sadel itu. Pom bensin sudah terlihat. Harus antri. Rasanya, tak ada pom bensin yang tak dipenuhi para pengendara. Seandainya SBY tahu, dan ia ikut ngantri di sana, mungkin dia akan semakin bimbang memutuskan menaikkan harga bensin. Para pengendara itu sabar mengantri, hilang waktu, ditambah harga yang melangit tanggal 1 Oktober nanti. Siapa yang tidak makin gerah?
Dia pamit. Mau ke Senen, katanya. Itu jurusan yang perlu memutar lagi di Pasar Baru. Saya berkali-kali bilang terima kasih. Rasanya, kata itu belum cukup mengganti pertolongan yang sudah ia keluarkan. Dia tancap gas setelah mengangguk. Saya lupa tanya nama, bahkan tak tahu rupa karena helm pun ia tak membuka.
Saat ngantri yang panjang itu saya bersyukur entah untuk apa. Untuk sejumlah tenaga yang tak jadi dikeluarkan atau karena ada orang yang begitu ikhlas mau membantu orang lain. Mungkin kedua-duanya. Moment bersyukur kadang-kadang memang datang tiba-tiba. Seringkali itu terjadi ketika kita takjub oleh sesuatu yang kita pikirkan tak ada.
Seperti di sebuah ATM di Mayestik beberapa bulan silam. Ada anak SMA yang berlari-lari mengejar seorang bapak karena kartu ATM-nya masih tersangkut di mesin itu. Saya lihat, bapak itu begitu saja menerima kartu dari tangan anak muda itu. Mungkin ia buru-buru mau menyebrang. Padahal, ketika kartu ATM saya hilang ditelan mesin, mengurus mengeluarkan duit dari rekeningnya begitu menjengkelkan. Bahkan perlu izin tak kerja satu hari. Bapak itu mungkin sadar telah ditolong, hanya tak sempat bilang terima kasih. Mungkin sama takjub, ada orang lain yang mau rela mencegah dirinya tak bertemu susah.
Jakarta, betapapun asing dan anehnya kota ini, masih menyimpan hal-hal yang wajar. Hal yang lumrah dilakukan penduduknya, tapi jadi terasa kian aneh. Kebaikan itu [ternyata] masih tercecer di sudut-sudutnya. Atau, absurditas kota hanya ada di benak kita saja?
Tuesday, September 20, 2005
LAKI-LAKI TUA DAN UUD
Umurnya 77. Setahun lebih tua dari umur meninggal kakek saya. Punggungnya sudah bungkuk, gigi serinya tinggal satu. Sehingga kalau ngomong tedengar pelo. Tapi kulitnya bersih. Dan ini yang penting : dia bisa mengurai teori ekonomi sambil tertawa.
Saya ketemu dengan dia di balkon ruang rapat Komisi Keuangan DPR. Dia yang menghampiri, dan kami begitu saja ngobrol. Dia mengaku baru menyerahkan sebuah surat seruan ke DPR. Surat yang meminta "DPR dan pemerintah kembali ke ekonomi Undang-Undang Dasar 1945." Bagi dia, praktek ekonomi sekarang sudah tak beda dengan paham liberalisme dan kapitalisme. Aduh...
Dan, astaga, ia mengutip John Maynard Keynes. Karena Keynes-lah, kata bapak tua ini, kita jadi sengsara. Sebab teori Keynes soal uang, bunga dan tenaga kerja itu yang telah melahirkan kapitalisme dan liberalisme. Pemerintah ogah campur tangan mengurus hidup rakyatnya, malah menyembah-nyembah mencari utang. Orang dibiarkan berusaha mencari penghidupan sendiri. Sehingga sedikit ada orang kaya dan lebih banyak orang miskin karena mereka tak punya uang.
Karena Keynes pula, harga minyak akan disesuaikan dengan harga di pasar. Subsidi akan dicabut. Dengan kata lain, pemerintah ogah menyediakan kebutuhan rakyatnya dengan harga murah. "Ini menyimpang dari UUD 1945," ia berseru. UUD, menurut dia, sudah menyuruh pemerintah "memanfaatkan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Menurut bapak tua yang mengaku cuma tamat SMA ini, Indonesia jadi terlihat sebagai negeri yang aneh. Dasar negaranya memanjakan rakyat tapi prateknya malah ingin menjauhi rakyat.
"Wah, bapak pendukung sosialisme, ya?" kata saya.
"Bukan!" ia menoleh ke arah saya. "Saya katakan, ini ekonomi UUD 1945." Saya diam.
Ia terus saja ngomong, tak memberi kesempatan saya menimpali. Terus dan terus, hingga rapat selesai. Saya berdiri hendak pamit. Ia merogoh saku celananya dan menyodorkan kartu nama. "Siapa tahu perlu." Saya mengangguk. Tapi, baiknya, namanya tak usah ditulis di sini. Karena di DPR, orang seperti bapak tua ini banyak sekali, entah datang dari mana.
Sunday, September 11, 2005
11 SEPTEMBER
Empat tahun lalu, tanggal ini bikin geger, lalu kini dikenang. Barangkali sebutan 11/9 atau 9/11 jadi generik. Setiap mengingat tanggal ini, orang akan menghubungkannya dengan horor yang tak ada bandingannya.
Tapi kini kita makin merasa, 11 September adalah awal malapetaka di mana-mana. Kita, seolah-olah diigiring atau makin mengiyakan nujum Samuel Huntington bahwa inilah abad peperangan Islam vs Barat. Bukankah, ketika dia meramalkan itu lebih dari 10 tahun lalu, kita sangsi adakah ramalan itu benar. Dan ramalan itu benar, bukan karena perhitungannya yang mantap, tapi karena kita gagal mencegahnya.
Dalam pidatonya, 9 jam setelah kejadian--dari film Fahrenheit 9/11 kita tahu, Presiden Bush tak cepat tanggap mendapat serangan sangat mendadak itu--Bush berkata, "Mulai sekarang dunia akan berbeda". Berbeda, paling tidak tak ada lagi menara kembar hampir setengah kilometer menjulang di langit New York. Dan kita tahu, dunia memang berbeda, karena Bush menyerbu Afghanistan yang tak tahu apa-apa lalu Irak dengan alasan yang mengada-ada. Para pembisik presiden memang orang-orang yang mengganggukan kepala pada Huntington lalu paranoid di tengah mimpi menguasai minyak.
Dan dunia makin tak menentu setelah itu. Bencana rasanya datang bertubi-tubi. Langsung maupun tak langsung kepada kita : minyak langka, listrik padam tiba-tiba, rupiah jadi loyo, kebutuhan makin mahal, kita makin susah. Kita masih was-was, suatu kali bom meledak tiba-tiba di tempat umum. Pemerintah juga kelihatannya bingung memecahkan soal sehari-hari yang ruwet.
Yang lebih mencekam adalah, orang jadi gampang marah lalu dengan leluasa merasa punya hak membungkam orang lain. Orang Islam ramai-ramai menutup tempat sembahyang orang lain. Mereka lupa, jika satu masjid saja ditutup demonya tak surut-surut. Orang makin merasa paling benar dan paling merasa punya hak masuk sorga. Orang-orang cemas, jika Tuhan tak dibela, kita akan terkutuk laknat.
Kita tentu masih ingat, tanggal 12 September semua koran hampir memuat judul yang sama pada headline: Amerika Diserang! dan sejenisnya. Seolah-olah, memang, Amerika punya musuh yang selama ini sembunyi lalu muncul menyerang. Dan sekarang, kitalah yang sedang diserang.
Saturday, September 10, 2005
Tuesday, August 30, 2005
PINTU-PINTU CAK NUR
Cak Nur meninggal, dan kita kehilangan orang yang tak henti-henti menyerukan, mengusik dan menghidupkan generator dalam diri kita: bahwa manusia tak layak untuk sombong. Manusia tak punya hak merasa paling benar. Karena "benar" sungguh di luar jangkuan kita. Seseorang cemas, "Adakah orang seperti Cak Nur di zaman anak saya kelak?"
Setiap tokoh lahir karena zaman menginginkannya. Mungkin nanti akan lahir orang lain yang punya kapasitas lain untuk kembali mengusik, menyerukan, menghidupkan generator dalam diri kita yang hidup di zaman itu.
Tapi, rasanya Cak Nur telah melintasi zamannya sendiri. Apa yang ia serukan, apa yang ia dorong terus menerus menyangkut sesuatu yang memang tak akan tumpas dalam waktu yang singkat: kesombongan manusia itu. Setiap kali mendengarkan atau membaca Cak Nur, saya selalu merasa iman saya diakui bahwa apa yang saya tempuh bisa jadi mungkin.
Dan kita makin merasakannya. Ada banyak kelompok orang yang memaksakan keyakinannya sendiri kepada orang lain. Makin banyak orang yang cemas orang lain akan tersesat karena tak mengikuti jalan-Nya. Padahal, kata Cak Nur, Dia bisa "ditemui" lewat banyak pintu.
Orang-orang yang mencemaskan Cak Nur itu menganggap bahwa Dia hanya bisa dimasuki lewat satu pintu saja. Pintu yang lain adalah terlarang. Pintu yang lain sungguh tak dianjurkan dimasuki, bila perlu tutup dan segel.
Maka seseorang pantas cemas. Kita pun was-was, suatu kali dipaksa masuk lewat pintu itu. Kita belum akan punya orang yang bisa menerangkan dengan jernih dan sejuk bahwa jika hanya ada satu pintu, Dia sungguh zat yang terbatas. Mungkin kita menunggunya dalam waktu yang lama.
Thursday, August 18, 2005
APOCALYPSE NOW
Indosiar kemarin malam memutar Apocalypse Now. Film tahun 1979, tapi saya tergoda menuliskannya kembali.
Ini film yang penuh dengan kata-kata. Tapi mungkin karena itulah Francis Coppola mempesona kita. Seperti trilogi Godfather, yang tak bosan-bosan ditonton itu (sampai sekarang saya sulit menghilangkan kesan bahwa Brando benar-benar seorang mafia dari Sissilia). Coppola tak hanya piawai menampilkan gambar dengan menyelipkan humor yang tak garing, tapi juga kata-kata. Karena ini peranti yang memungkinkannya bebas menyampaikan renung-renungannya.
Demikianlah. Film ini merupakan perjalanan panjang Kapten Willard, dimainkan dengan cemerlang oleh Martin Sheen, mencari Kolonel Kurtz (Marlon Brando) yang hilang di rimba tropis Vietnam. Keduanya tentara dari kesatuan Baret Hijau, Amerika. Willard menyusuri sungai-sungai Vietnam untuk satu misi khusus: membunuh Kurtz.
Siapa dan untuk apa Kurtz dibunuh? Willard sendiri bingung. Dalam perjalanan, di waktu senggang, ia membaca segepok dokumen yang menghimpun buruannya. Kurtz diperkenalkan sedikit-demi-sedikit lewat narasi Willard. Dan Willard tercengang, lalu kagum. Kurtz seorang tentara jempolan. Ia selalu sukses menggasak pasukan Vietkong, sekaligus seorang ayah yang memelas minta dimengerti oleh anak dan istrinya. Jika Kurtz selalu sukses mengemban misi, untuk apa ia dibunuh?
Okelah, Kurtz seorang tentara yang kejam. Ia, misalnya, membunuh empat tentara penting Vietnam Selatan dan agen gandanya. Tapi, bukankah demikian perang semestinya? Perang adalah kegilaan. Akal sehat disimpan agar tak merasa berdosa telah berlaku kejam.
Letnan Kolonel Kilgore, yang ditugasi menjemputnya, adalah tentara yang bengis dalam ukuran normal seraya tertawa. Kilgore menyerbu--diiringi musik Wagner yang diputar kencang-kencang--sebuah teluk yang dikuasi Vietkong hanya agar bisa berselancar. Ia menyukai bau napalm saat pagi. Uap bensin itu, katanya, "Mengabarkan bau kemenangan". Bagi Kilgore, perang adalah sebuah darmawisata yang mengasyikan, juga, tanpa tujuan.
Coppola telah dengan telak menggambarkan hipokrisi: perang adalah kegilaan mahal yang sia-sia. Kejam adalah sebuah kata sifat yang niscaya dalam perang, dari pihak sini maupun sana. Jika atasan Willard yang bermarkas di Korea itu menginginkan Kurtz tewas hanya karena alasan kejam, mereka telah munafik mengutusnya untuk membunuh seorang yang telah berlaku "benar" dengan alasan yang wajar. Bukankah Amerika menyerbu Vietnam sendiri dengan mengabaikan alasan itu?
Mungkin karena iri. Kurtz dianggap membangkang karena berperang dengan caranya sendiri. Konon, Kurtz mengumpulkan suku primitif lalu mendirikan kerajaan kecil di Kamboja dan dipuja bagai dewa di sana.
Willard memang akhirnya membunuh Kurtz, yang muncul menjelang akhir film. Dengan parang. Kurtz sendiri sudah tahu ia diburu. Karena itu, sebenarnya, ia telah bersiap menyambut Willard. "Horor itu," katanya sebelum meninggal dengan suara berat, "punya wajah". Ia juga mengutip puisi TS Elliot yang terilhami novel Heart of Darkness Joseph Conrad yang menjadi basis film ini: "Mistah Kurtz -- he dead."
Tapi bagian ini belum bisa disaksikan di Indosiar. Film terpotong saat Willard menembak mati seorang ibu yang terluka agar perjalanan tak terganggu. Indosiar harus patuh pada larangan jam siar lewat tengah malam. Pemerintah masih memberlakukan peraturan, yang katanya, untuk menghemat energi listrik dan bahan bakar minyak yang sekarat.
Dan wajah horor itu akan berakhir di Aceh, mudah-mudahan. Alhamdulillah, pemerintah mengedepankan akal sehat dengan mau menghamburkan kata-kata yang hampir gagal berkali-kali. Bukankah Indonesia merdeka 21.901 hari yang lalu itu juga karena sudah bosan dengan wajah mengerikan itu?
UPDATE
Monday, August 15, 2005
PUISI
cintamu sebatas hp
hp-ku hilang
cintamu melayang
amir, purwakarta [lampu merah, 14 Agustus 2005]
note : puisi ini dikirim Amir lewat sandek ke redaksi Lampu Merah dan dimuat di salah satu rubriknya (saya lupa namanya). Kalimat awalnya, saya temukan juga di kaca belakang mikrolet M11 jurusan Kebon Jeruk-Tanah Abang, sekitar tiga tahun lalu.
Wednesday, July 27, 2005
ESAI DENGAN GAYA
Oleh : Farid Gaban*
PENGANTAR
Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai fiksi.
Membuka halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut:
- OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
- SUBYEKTIFITAS: memiliki lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang "obyektif".
- PERSUASIF: memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan "apa adanya". Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.
Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan:
- SERIUS dan PANJANG: orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan seperti itu takkan dibaca orang banyak.
- KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak "berjiwa", karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: obyektif, berjarak, anti-humor dan tanpa bumbu.
- MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.
- SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk menikmatinya.
KOLOM: "ESSAY WITH STYLE"
Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir "semua orang". Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman-tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.
Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.
Mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul "genre" baru dalam esai, yakni "creative non-fiction", atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.
Dalam "creative non-fiction", penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, "creative non-fiction" juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ("style") serta personalitas si penulis.
Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa interupsi).
PENULISAN KOLOM INDONESIA
"Creative non-fiction" bukan "genre" yang sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses mengembangkan "style" dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta "stylist".
Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha Ainun Nadjib.
Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media dan agama).
Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan-penyair dan cerpenis/novelis. Dalam "creative non-fiction" batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.
Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan ("Catatan Pinggir"), Bondan ("Asal-Usul" di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian "Kedaulatan Rakyat"), para penulis di era 1980-an sudah berhenti menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).
Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru-namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya "terlalu serius" dan kering. Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.
Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.
Padahal, sekali lagi, mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai lebih besar lagi.
TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking ("A Brief History of Time"), observasi antropologis Oscar Lewis ("Children of Sanchez") dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun ("Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan") bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno ("Kiat") dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas ("Beranda Kita") bisa dinikmati seperti cerpen?
Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis "pakar" yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.
Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:
Keingintahuan dan Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu "memelihara" keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?
Kesediaan untuk berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang "rumit" dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.
Kepekaan dan Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang "sastrawi" jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru).
Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Kekayaan Bahan (resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang "berkacamata kuda". Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.
Kemampuan Sang Pendongeng (storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.
APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?
Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi memiliki gengsi.
Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. "Beranda Kita"-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam sekalipun.
Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.
- Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
- Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
- Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
- Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
- Media dan Telekomunikasi
- Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
- Kimia dan Fisika Terapan
- Elektronika
- Otomotif
- Perilaku dan gaya hidup
- Keluarga dan parenting
- Psikologi dan kesehatan
- Arsitektur, interior, gardening
- Pertanian dan lingkungan
Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.
TEKNIK PENULISAN KOLOM
Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya "sudah ada di situ" tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).
Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas ("Less is more" kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.
Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.
Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:
- Dialog (Umar Kayam)
- Reflektif (Goenawan Mohamad)
- Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
- Humor/Satir (Mahbub Junaedi)
Menulis
Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).
Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar?
Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.
Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. "Tidak" sering bisa diringkas menjadi "tak", "meskipun" menjadi "meski" dan sebagainya.
Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.
Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata "seharusnya", "semestinya" dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don't tell it, show it.
Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih "basah" dan berjiwa.
Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di "luar sana".
Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan ke media.
"MENJUAL" KOLOM KE MEDIA
Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?
Nama penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru. Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak pernah ada penulis yang "punya nama" tanpa pernah menjadi penulis pemula? Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal. Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau majalah Tempo.
Otoritas: redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.
Style dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja, tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya "style" yang orisinal dan istimewa serta sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.
Populer: koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi yang tidak banyak mendalaminya.
BAHAN BACAAN LANJUTAN
Teknik Penulisan
- Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
- Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad Diponegoro)
Catatan Harian dan Korespondensi
- Catatan Harian Soe Hok Gie
- Surat-surat Iwan Simatupang
- Catatan Harian Ahmad Wahib
Kumpulan Esai
- Catatan Pinggir dan Kata, Waktu (Goenawan Mohamad)
- Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih tanpa Banda (Umar Kayam)
- Faisal Baraas (Beranda Kita)
- Puntung-Puntung Roro Mendut (YB Mangunwijaya)
Kumpulan Cerpen
- Orang-orang Bloomington (Budidarma)
- Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
- Odah (Mohamad Diponegoro)
- Leak (Faisal Baraas)
- Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan Simatupang)
- Bromocorah (Mochtar Lubis).
* Farid Gaban (fgaban@yahoo.com) kini Pemimpin Redaksi Kantor Berita Pena Indonesia (www.penaindonesia.com). Dua bukunya yang pernah diterbitkan Mizan, Bandung: "Dor! Sarajevo" (reportase Perang Bosnia) dan "Belajar Tidak Bicara" (kumpulan esai di Harian Republika).
Sunday, July 17, 2005
IKARUS
Ikarus terbang makin tinggi. Ia mengabaikan pesan Daedalus, ayahnya sendiri: jangan terbang terlalu tinggi karena matahari akan melelehkan lilin di sayapmu; juga jangan terlalu rendah karena gelombang akan melengketkan kapas-kapas itu. Dan Ikarus terbang makin tinggi hingga panas itu melumat sayapnya. Ia jatuh dari langit menembus samudra dan mati di dasarnya. Tapi orang mengingat Ikarus sebagai anak muda yang cergas dan tak gampang menyerah. Orang akan mengingat anak muda dari Kreta itu jika merayakan ide mula-mula manusia bisa terbang.
Dan ide terbang memang datang darinya. Ketika Ikarus dan ayahnya dijebloskan ke penjara oleh Raja Minos, ia punya ide brilian: terbang agar bisa keluar dari penjara yang tebal dan ketat itu. Daedalus, seniman paling terkenal di Yunani itu, tercenung mendengar usul nyeleneh anaknya. "Dengan apa kita terbang?" ia bertanya. "Dengan otak," Ikarus menjawab. Maka mulailah mereka menyusun kapas-kapas menjadi sayap-sayap besar dan mereka terbang menembus gembok penjara.
Anak-anak seringkali punya imajinasinya sendiri. Ide terbang mula-mula didapat Ikarus ketika melihat burung-burung di atas tower penjara. Ia membayangkan "asyik betul jika manusia punya sayap." Dan imajinasi bisa jadi mungkin dengan kutat kerja sungguh-sungguh. Ini pula yang dilakukan Edison atau Einstein. Galileo menciptakan teropong karena membayangkan dalam kegelapan sana ada benda-benda, ada hidup, yang tak terjangkau oleh mata yang punya batas.
Maka alangkah mengganggunya ketika Ivan Illich berteriak-teriak bahwa sekolah telah membuat fase anak-anak jadi rusak. Hanya di sekolahlah, kata dia, anak-anak dikategorikan berdasarkan umur. Padahal, imajinasi tak mengenal umur, bukan? Dan astaga, Phillipe Aries mendukungnya dengan data-data yang ruwet tapi menggoda untuk dipercaya : konsep anak-anak mulai ada seiring sejarah kapitalisme modern. Aduh, betapa rumitnya membaca dua orang itu, tapi ide-idenya selalu terasa benar. Sebab, Ikarus tak mengenal sekolah. Sekolah baru muncul di zaman Plato dan didokumentasikan dalam era Aristophenes. Dan sekolah zaman sekarang, Nak...
Setiap kali melihat dan memperhatikanmu, kepalaku penuh dengan "apa yang melintas, terpikirkan, terekam, oleh kepala anak usia setahun?" Sudahkah kamu mengenal wajahku, bau tubuhku, atau getar telapak kakiku? Ingatan terjauhku hanya bisa menjangkau suatu kali digendong Abahmu, sehabis kondangan entah dari mana. Rasanya usiaku saat itu sudah lewat satu atau dua tahun. Dan saya lupa, apa imajinasi pada umur-umur itu.
Tapi Abahmu mungkin senang mengasuhku ketika itu. Seperti aku juga senang setiap kali melihat polahmu. Setiap bapak pasti ingin berbicara seperti Daedalus ketika menguburkan jasad anaknya, "Ikarus, anakku, aku senang kamu telah punya imajinasi." Dan imajinasimu, Mikail, kadang sering mengkhawatirkan kami, "orang-orang dewasa". Tak apalah, dan selamat berumur setahun empat hari.
Wednesday, July 06, 2005
RAUT TURSI
Rautnya tursi. Mungkin karena warna bajunya, mungkin karena rambutnya, mungkin karena lampu-lampu di atasnya, mungkin karena bukan lain itu semua. Rautnya memang tursi. Saya tak berani menatapnya. "Bukankah ini sebuah puisi?" Apa yang puisi apa yang bukan.
Saya tak berani menatapnya karena mungkin ia sendiri yang jadi puisi. Setidaknya ia ingin jadi puisi. Atau telah, untuk saya, orang di depannya, yang dalam sela-sela sisa-sisa keberanian mencuri-curi menatapnya. Saya tahu itu sia-sia. Rautnya yang tursi mengingatkan saya pada dongeng tentang topeng yang pasi.
Bapak mengisahkannya entah kapan entah sedang apa. Saya lupa pada peristiwanya. Yang menyangkut di ingatan hanya wajah topeng itu saja. Barangkali kurang tepat membandingkan raut orang di depan saya dengan topeng itu. Hanya dampaknya sama: saya tak berani memandangnya.
Topeng itu konon pernah hilang dari kamar Aki. Semua orang ribut. Semua orang mencari tapi bingung kemana harus pergi. Tak ada yang pergi sampai topeng itu kembali. Aki tak lagi sering menyendiri. Temannya telah kembali. Keduanya merayapi hari-hari tua yang sepi dan sakit: tak ada anak-anak, tak ada orang-orang tua.
Saya pernah mengintipnya, sayup-sayup di umur entah berapa. Topeng itu dipasang di atas cermin tua yang gagah dengan ukiran-ukiran yang ruwet. Menatap cermin itu sudah terasa beratnya. Galuh jati. Dan topeng itu, topeng kayu yang aneh, topeng dengan kerut-kerut dahi yang gering, akan menatap Aki jika berbaring di ranjangnya. Topeng ini yang telah membikin saya ada: bikin Aki panjang umur lalu membuat bapak lahir, menyelamatkan ulu hati dari hujaman bayonet Jepang. "Saya hanya seorang pembuat topeng."
Saya bilang ini dongeng. Kisahnya mungkin nyata, dekat sekali karena nama-nama begitu akrab. Tapi kejadian-kejadiannya, keanehan-keanehannya teramat fiksi. Atau karena bapak tak bisa menjelaskannya dengan masuk akal? Saya memilih percaya dugaan ini. Sampai topeng itu dikubur dan rumah tua dibagikan ke bibi-bibi lalu dibangun yang baru. Dikubur karena semua anak, semua cucu, tak ada yang betah menatap atau menyimpannya.
Begitulah. Ada kerut gering dalam raut yang tursi itu. Kerut pasi topeng itu. "Bukankah ini sebuah puisi?" Ya, ya, kamu mungkin sebuah puisi.
* grafis Meredith Blue dari Kristy Nilsson's Artwork
Friday, June 24, 2005
GADIS KECIL
GADIS KECIL
tapi di antara larik larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Dan Sapardi terus menyiasati kita. Menyiasati dengan kata-kata "yang takkan letih-letihnya kucari". Lalu Dua Ibu pun menyiasati kita dengan nada-nada, dengan musik, dengan nyanyi. Album puisi-puisi Sapardi mereka, Gadis Kecil, sudah keluar. Cakram padat 11 lagu-puisi baru dan lama yang dipoles ulang. Saya menonton pertujukannya malam tadi di Warung Apresiasi, Bulungan itu, seperti 2003 lalu. Dengan hujan yang parah begitu teng 19.30.
7 lagu baru. Empat lagi diambil dari album-album sebelumnya. Aku Ingin. Ah, ya. Ini puisi lagi. Amat tenar. Technorati mencatat setidaknya 167 blog pernah memuat sajak ini. Saya curiga lebih. Kata Nana Soebi--penyanyinya itu--karena lagu ini, "saya jadi tahu ada blog". Bersyukurlah para blogger, ada satu pengunjung yang setia mengklik alamat-alamat catatan kita lalu membacanya dengan saksama. Dan lagu ini, di album ini, jadi lebih dahsyat dengan tambahan biola yang menyayat-nyayat.
Ini album cukup variatif. Ada Hutan Kelabu dalam Hujan yang membangkitkan kenangan patah cinta, pada kabut yang lembut, hujan yang muram. Melodi flute membikin kita "terpojok" dalam kenangan itu. Musiknya seberhasil Dalam Sakit di album Hujan Bulan Juni: "musik" di belakang puisi itu bangkit begitu nyata, begitu kena. Atau Nokturno yang purnama, Dalam Bus dan Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta yang rancak.
Dua lagu terakhir enak buat goyang atau mengetuk-ngetukan telapak sepatu. Dan memang, dalam bunyi bas yang menggelinding, setelah nada jadi menakik, setelah ritme bertambah cepat, Sajak Kecil berhenti dengan serempak. Perut saya kenyang, tapi mulut masih meminta ketika lagu ini dimainkan dua kali di Bulungan itu.
Sapardi ada juga. Dia hanya membaca satu sajak, Dalam Doaku. Semestinya dia memang hanya membaca. Ia ikut menyanyi, saya tak yakin penonton akan bertahan di kursinya :-)). Juga Ags Arya Dipayana, penggubah sajak-sajak Sapardi selain Umar Muslim, membaca sajak Pada Suatu Hari Nanti yang penggalannya saya kutip di atas.
Saya berharap lagu dari album Hujan Dalam Komposisi ini dinyanyikan. Saya suka, anak saya amat menyukainya. Ia bisa langsung tidur dengan tenang dan nyaman ketika saya gendong sambil menembang lagu ini. Ia mungkin tak peduli dengan suara sember bapaknya.
Mendengarkan lagu-lagu ini dari cakram padatnya kita akan lebih tersiasati lagi. Saya hanya merasa vokal Nana dan Reda lebih prima. Meski tak terlalu terasa dalam pertunjukannya, kecuali di toko buku QB Pondok Indah tempo hari itu--tanpa pengeras suara, hanya gitar kopong, lagu-lagu mereka terdengar lebih lembut ketimbang dalam rekamannya. Tapi tetap saja, di Bulungan itu, selama satu setengah jam itu, penonton telah tersiasati oleh lirik-lirik Sapardi. Tanpa dia, "musik" lagu-lagu ini takkan ada.
tapi di antara larik larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Dan Sapardi terus menyiasati kita. Menyiasati dengan kata-kata "yang takkan letih-letihnya kucari". Lalu Dua Ibu pun menyiasati kita dengan nada-nada, dengan musik, dengan nyanyi. Album puisi-puisi Sapardi mereka, Gadis Kecil, sudah keluar. Cakram padat 11 lagu-puisi baru dan lama yang dipoles ulang. Saya menonton pertujukannya malam tadi di Warung Apresiasi, Bulungan itu, seperti 2003 lalu. Dengan hujan yang parah begitu teng 19.30.
7 lagu baru. Empat lagi diambil dari album-album sebelumnya. Aku Ingin. Ah, ya. Ini puisi lagi. Amat tenar. Technorati mencatat setidaknya 167 blog pernah memuat sajak ini. Saya curiga lebih. Kata Nana Soebi--penyanyinya itu--karena lagu ini, "saya jadi tahu ada blog". Bersyukurlah para blogger, ada satu pengunjung yang setia mengklik alamat-alamat catatan kita lalu membacanya dengan saksama. Dan lagu ini, di album ini, jadi lebih dahsyat dengan tambahan biola yang menyayat-nyayat.
Ini album cukup variatif. Ada Hutan Kelabu dalam Hujan yang membangkitkan kenangan patah cinta, pada kabut yang lembut, hujan yang muram. Melodi flute membikin kita "terpojok" dalam kenangan itu. Musiknya seberhasil Dalam Sakit di album Hujan Bulan Juni: "musik" di belakang puisi itu bangkit begitu nyata, begitu kena. Atau Nokturno yang purnama, Dalam Bus dan Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta yang rancak.
Dua lagu terakhir enak buat goyang atau mengetuk-ngetukan telapak sepatu. Dan memang, dalam bunyi bas yang menggelinding, setelah nada jadi menakik, setelah ritme bertambah cepat, Sajak Kecil berhenti dengan serempak. Perut saya kenyang, tapi mulut masih meminta ketika lagu ini dimainkan dua kali di Bulungan itu.
Sapardi ada juga. Dia hanya membaca satu sajak, Dalam Doaku. Semestinya dia memang hanya membaca. Ia ikut menyanyi, saya tak yakin penonton akan bertahan di kursinya :-)). Juga Ags Arya Dipayana, penggubah sajak-sajak Sapardi selain Umar Muslim, membaca sajak Pada Suatu Hari Nanti yang penggalannya saya kutip di atas.
Saya berharap lagu dari album Hujan Dalam Komposisi ini dinyanyikan. Saya suka, anak saya amat menyukainya. Ia bisa langsung tidur dengan tenang dan nyaman ketika saya gendong sambil menembang lagu ini. Ia mungkin tak peduli dengan suara sember bapaknya.
Mendengarkan lagu-lagu ini dari cakram padatnya kita akan lebih tersiasati lagi. Saya hanya merasa vokal Nana dan Reda lebih prima. Meski tak terlalu terasa dalam pertunjukannya, kecuali di toko buku QB Pondok Indah tempo hari itu--tanpa pengeras suara, hanya gitar kopong, lagu-lagu mereka terdengar lebih lembut ketimbang dalam rekamannya. Tapi tetap saja, di Bulungan itu, selama satu setengah jam itu, penonton telah tersiasati oleh lirik-lirik Sapardi. Tanpa dia, "musik" lagu-lagu ini takkan ada.
Subscribe to:
Posts (Atom)