Wednesday, May 04, 2005

BARBIR



Peralatan tukang cukur ternyata sama. Terutama gambar model rambut yang dipajang di dinding-dinding ruang pangkas: gaya rambut tahun 90-an milik kepala model-model seangkatan Andy Lau yang terlihat dari samping kiri-kanan dan depan. Tapi diberi judul : Tatanan Rambut Terbaru atau Model Rambut Masa Kini. Tentu saja, bukan di salon yang ada pelayanan plus pijat dan krimbat segala, yang mereknya memakai nama pemangkas rambut terkenal. Ini di tukang cukur yang mereknya semisal "Pangkas Rambut Gaya" atau "Pangkas Rambut TOP".

Di pelosok Kuningan, kampung saya di bawah Ciremai itu, juga memajang gambar serupa. Begitu pun di Bogor. Di Samarinda juga sama. Di Bandar Lampung kok ya gak ada gambar lain. Bali dan Makassar tak ada bedanya. Lima pulau sudah, saya menemukan gambar yang sama itu-itu saja. Ketika saya intip nama percetakannya, wow, ternyata emang dia biangnya. Sama!

Waktu rambut mahasiswa empat-tahun-tak-disisir akan dipangkas karena bukan zamannya lagi gondrong saya bingung harus motong rambut semodel apa. Iseng-iseng saya tunjuk salah satu gambar di dinding: foto sebelah Andy Lau yang poninya tak dipangkas menjuntai sampai ujung hidung. Belah pinggir norak amat. Sementara belakang dan pinggirnya terpotong klimis. Eh, si barbir ini malah nyengir. "Wah, yang begitu mah susah. Harus pake tancho," katanya, mesem-mesem. Rupanya, dia cuma tahu satu merek minyak rambut. Saya sudah bisa menebak. "Loh, jadi foto-foto ini buat apaan?"
"Hehehe. Ini mah gaya aja. Biar tembok gak kosong." Waduh.
"Kalau gitu mohawk aja deh."
"Apaan tuh?"

Ya, sudah. Saya minta dipotong jangan terlalu pendek. Sedeng aja. Lalu prosesi pun dimulai. Ritual yang selalu mengundang kantuk. Saya merem-melek. Gunting dan silet bekerja krash-krash. Kepala saya dipegang, agak didorong ke kiri dan kanan. Setengah jam kemudian, saya buka mata. Wah, ini mah bukan potongan sedeng. Masih panjang. Dan kok pake poni. Waduh, mirip Andy Lau. "Pangkas pendek aja," buru-buru saya minta.
"Ini sudah pendek." Si barbir terkejut karena cukurannya tak disukai.
"Lebih pendek lagi. Sesenti."

Maka riwayat rambut sepanjang-panjang dan agak kriwil yang sudah jadi bahan ledekan, pujian, jijikan, bikin ibu saya sempat tak menerima pulang sebelum potong, itu tamat sudah. Panjangnya tinggal hingga tak bisa terpotong mata gunting.

Sekarang, tiap kali menyambangi tukang pangkas rambut saya abaikan gambar-gambar itu, meski beberapa barbir menempel sertifikat telah ikut seminar Rudy Hadisoewarno. Ketika ditanya potong model apa. Saya mantap menjawab. "Pendek". Jawaban "sesenti" disiapkan jika "pendek" tetap tak memuaskan.

No comments: