GADIS KECIL
tapi di antara larik larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Dan Sapardi terus menyiasati kita. Menyiasati dengan kata-kata "yang takkan letih-letihnya kucari". Lalu Dua Ibu pun menyiasati kita dengan nada-nada, dengan musik, dengan nyanyi. Album puisi-puisi Sapardi mereka, Gadis Kecil, sudah keluar. Cakram padat 11 lagu-puisi baru dan lama yang dipoles ulang. Saya menonton pertujukannya malam tadi di Warung Apresiasi, Bulungan itu, seperti 2003 lalu. Dengan hujan yang parah begitu teng 19.30.
7 lagu baru. Empat lagi diambil dari album-album sebelumnya. Aku Ingin. Ah, ya. Ini puisi lagi. Amat tenar. Technorati mencatat setidaknya 167 blog pernah memuat sajak ini. Saya curiga lebih. Kata Nana Soebi--penyanyinya itu--karena lagu ini, "saya jadi tahu ada blog". Bersyukurlah para blogger, ada satu pengunjung yang setia mengklik alamat-alamat catatan kita lalu membacanya dengan saksama. Dan lagu ini, di album ini, jadi lebih dahsyat dengan tambahan biola yang menyayat-nyayat.
Ini album cukup variatif. Ada Hutan Kelabu dalam Hujan yang membangkitkan kenangan patah cinta, pada kabut yang lembut, hujan yang muram. Melodi flute membikin kita "terpojok" dalam kenangan itu. Musiknya seberhasil Dalam Sakit di album Hujan Bulan Juni: "musik" di belakang puisi itu bangkit begitu nyata, begitu kena. Atau Nokturno yang purnama, Dalam Bus dan Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta yang rancak.
Dua lagu terakhir enak buat goyang atau mengetuk-ngetukan telapak sepatu. Dan memang, dalam bunyi bas yang menggelinding, setelah nada jadi menakik, setelah ritme bertambah cepat, Sajak Kecil berhenti dengan serempak. Perut saya kenyang, tapi mulut masih meminta ketika lagu ini dimainkan dua kali di Bulungan itu.
Sapardi ada juga. Dia hanya membaca satu sajak, Dalam Doaku. Semestinya dia memang hanya membaca. Ia ikut menyanyi, saya tak yakin penonton akan bertahan di kursinya :-)). Juga Ags Arya Dipayana, penggubah sajak-sajak Sapardi selain Umar Muslim, membaca sajak Pada Suatu Hari Nanti yang penggalannya saya kutip di atas.
Saya berharap lagu dari album Hujan Dalam Komposisi ini dinyanyikan. Saya suka, anak saya amat menyukainya. Ia bisa langsung tidur dengan tenang dan nyaman ketika saya gendong sambil menembang lagu ini. Ia mungkin tak peduli dengan suara sember bapaknya.
Mendengarkan lagu-lagu ini dari cakram padatnya kita akan lebih tersiasati lagi. Saya hanya merasa vokal Nana dan Reda lebih prima. Meski tak terlalu terasa dalam pertunjukannya, kecuali di toko buku QB Pondok Indah tempo hari itu--tanpa pengeras suara, hanya gitar kopong, lagu-lagu mereka terdengar lebih lembut ketimbang dalam rekamannya. Tapi tetap saja, di Bulungan itu, selama satu setengah jam itu, penonton telah tersiasati oleh lirik-lirik Sapardi. Tanpa dia, "musik" lagu-lagu ini takkan ada.
Friday, June 24, 2005
Monday, June 20, 2005
ISENG
Demikianlah, judul blog ini menjadi "catetan iseng-iseng". Dan iseng, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang saya pegang ini (tertulis cetakan Balai Pustaka edisi 1999), bisa berarti :
1. merasa menganggur (tidak ada yang dikerjakan);
2. (berbuat atau mengerjakan sesuatu supaya jangan menganggur) sebagai perintang-rintang waktu;
3. tidak mau mengganggur (kadang-kadang berarti: rewel, suka mengganggu, suka omong, suka makan apa saja, dsb;
4. sekadar main-main; tidak sungguh-sungguh
Sementara "iseng-iseng" berarti sekadar main-main saja (dp mengganggur) untuk perintang-rintang waktu.
Jadi, waktu yang lain-lain bisa terintangi oleh karena menulis di blog ini. Semoga siapa pun yang singgah lalu membaca keisengan di sini juga merasa demikian seperti maksud kata-kata yang jadi judul blog ini. Kenapa ? Sekali lagi, namanya juga iseng jadi bunyi "e" di sana tak sama dengan bunyi "e" dalam "bebek". Biasa saja: bunyi iseng seperti dalam "gerah". Kenapa iseng pake �? Supaya agak nyentrik. Nyentrik toh boleh salah, bukan? Demikianlah, pembaca, ini sekadar keterangan yang sebetulnya tidak penting dan berbelit-belit. Namanya juga iseng-iseng.
Monday, June 13, 2005
CERITA UNTUK MIKA
Dua cicak berhamburan ke dekat lampu di langit-
langit beranda. Menunggu laron hinggap musim pancaroba
Kamu begitu antusias. Menunjuk ke teras yang tempias.
Aku selalu berharap bisa menangkap mereka
Menghadiahkannya untuk kamu
agar hari tak kelewat jemu
dan malam datang bukan karena lampu di beranda
"Ah, betapa kita bahagia."
"Tidak, bapak, kita hanya bisa menangkap ekornya."
Thursday, June 09, 2005
DESCARTES VS KUNDERA
Suatu sore keduanya bertemu di kedai kopi, di sebuah sudut jalan yang lengang. Setelah berpelukan seperti dua orang yang sudah lama tak bertemu, keduanya duduk di kursi agak ke sudut. Dari sana, memang, mereka leluasa menikmati cuaca dan jalanan Paris yang sepia. Kundera rupanya sudah lama memendam pertemuan ini. Maka ketika pembicaraan lepas dari basa-basi tanya kabar, ia merangsek menyoal cogito ergo sum.
"Bagaimana kau bisa merumuskan omong kosong intelektual seperti itu?"
"Ha-ha-ha, seperti biasa, aku selalu suka dengan diksi dan frasa yang kaubikin, Milan. Lucu. Kau memang..."
"Jangan mengalihkan, jawab pertanyaanku."
"Sejak kapan kau jadi intel?"
"Jawab pertanyaanku."
"Baiklah, kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Kau belum berubah, Ren�. Tetap bebal. Pantas saja kau mengabaikan sakit gigi."
"Karena sakit berasal dari pikiran kita sendiri."
"Tapi pikiran itu bisa hinggap di kepala siapa saja. Omong kosongmu itu patah sudah".
"Tunggu dulu," Descartes menggeser kursinya. Ia kini menghadap Kundera dengan serius. "Apa yang membuat kau ini ada, menurutmu?"
Kundera tak menjawab, ia juga menggeser kursinya, lebih dekat ke kursi Descartes. Tiba-tiba, "Adduuuuwh!" Descartes menjerit. Ujung sepatunya tepat terinjak kaki kursi yang diduduki Kundera. Penulis Ceko itu juga terkejut. Bangkit. Memandang Descartes yang meringis.
"Nah, itu!" Kundera bersorak. "Kau merasa ada dengan sakitmu kan?"
Descartes tak menjawab, masih meringis. Ketika mulutnya siap dengan jawaban, matanya menangkap seseorang berjalan mendekat. "Sudah-sudah. Nietzsche datang. Lihat, kumisnya berkibar-kibar. Hallo, Fried..."
Sunday, June 05, 2005
Wednesday, June 01, 2005
DEEP THROAT
Deep Throat akhirnya muncul. Dia sudah 91 tahun sekarang. Ketika mengucapkan titah "ikuti aliran uang itu" di tempat parkir pada Bob Woodward, wartawan Washington Post itu, ia masih 60-an. Throat tak lain Mark Felt, deputi direktur FBI. Dia ada di gedung Watergate ketika sejumlah "maling" merangsek ke sana, malam-malam. Tanpa dia, Nixon akan kembali berkuasa dengan hasil korupsi. Tanpa dia, duet maut dua wartawan The Post--Woodstein : Woodward dan Carl Bernstein--akan berpusing menulis kasus ini di seputar aksi kriminalnya saja. Dan mereka tak akan menulis All President's Men yang dahsyat itu. Belum tentu ada teori canggih membongkar aksi pencucian uang. "Kami yakin, kakek kami seorang pahlawan Amerika," kata seorang cucu Felt.
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/linkset/2005/05/31/LI2005053100696.html
http://news.independent.co.uk/world/americas/story.jsp?story=643076
Subscribe to:
Posts (Atom)