Tuesday, August 30, 2005
PINTU-PINTU CAK NUR
Cak Nur meninggal, dan kita kehilangan orang yang tak henti-henti menyerukan, mengusik dan menghidupkan generator dalam diri kita: bahwa manusia tak layak untuk sombong. Manusia tak punya hak merasa paling benar. Karena "benar" sungguh di luar jangkuan kita. Seseorang cemas, "Adakah orang seperti Cak Nur di zaman anak saya kelak?"
Setiap tokoh lahir karena zaman menginginkannya. Mungkin nanti akan lahir orang lain yang punya kapasitas lain untuk kembali mengusik, menyerukan, menghidupkan generator dalam diri kita yang hidup di zaman itu.
Tapi, rasanya Cak Nur telah melintasi zamannya sendiri. Apa yang ia serukan, apa yang ia dorong terus menerus menyangkut sesuatu yang memang tak akan tumpas dalam waktu yang singkat: kesombongan manusia itu. Setiap kali mendengarkan atau membaca Cak Nur, saya selalu merasa iman saya diakui bahwa apa yang saya tempuh bisa jadi mungkin.
Dan kita makin merasakannya. Ada banyak kelompok orang yang memaksakan keyakinannya sendiri kepada orang lain. Makin banyak orang yang cemas orang lain akan tersesat karena tak mengikuti jalan-Nya. Padahal, kata Cak Nur, Dia bisa "ditemui" lewat banyak pintu.
Orang-orang yang mencemaskan Cak Nur itu menganggap bahwa Dia hanya bisa dimasuki lewat satu pintu saja. Pintu yang lain adalah terlarang. Pintu yang lain sungguh tak dianjurkan dimasuki, bila perlu tutup dan segel.
Maka seseorang pantas cemas. Kita pun was-was, suatu kali dipaksa masuk lewat pintu itu. Kita belum akan punya orang yang bisa menerangkan dengan jernih dan sejuk bahwa jika hanya ada satu pintu, Dia sungguh zat yang terbatas. Mungkin kita menunggunya dalam waktu yang lama.
Thursday, August 18, 2005
APOCALYPSE NOW
Indosiar kemarin malam memutar Apocalypse Now. Film tahun 1979, tapi saya tergoda menuliskannya kembali.
Ini film yang penuh dengan kata-kata. Tapi mungkin karena itulah Francis Coppola mempesona kita. Seperti trilogi Godfather, yang tak bosan-bosan ditonton itu (sampai sekarang saya sulit menghilangkan kesan bahwa Brando benar-benar seorang mafia dari Sissilia). Coppola tak hanya piawai menampilkan gambar dengan menyelipkan humor yang tak garing, tapi juga kata-kata. Karena ini peranti yang memungkinkannya bebas menyampaikan renung-renungannya.
Demikianlah. Film ini merupakan perjalanan panjang Kapten Willard, dimainkan dengan cemerlang oleh Martin Sheen, mencari Kolonel Kurtz (Marlon Brando) yang hilang di rimba tropis Vietnam. Keduanya tentara dari kesatuan Baret Hijau, Amerika. Willard menyusuri sungai-sungai Vietnam untuk satu misi khusus: membunuh Kurtz.
Siapa dan untuk apa Kurtz dibunuh? Willard sendiri bingung. Dalam perjalanan, di waktu senggang, ia membaca segepok dokumen yang menghimpun buruannya. Kurtz diperkenalkan sedikit-demi-sedikit lewat narasi Willard. Dan Willard tercengang, lalu kagum. Kurtz seorang tentara jempolan. Ia selalu sukses menggasak pasukan Vietkong, sekaligus seorang ayah yang memelas minta dimengerti oleh anak dan istrinya. Jika Kurtz selalu sukses mengemban misi, untuk apa ia dibunuh?
Okelah, Kurtz seorang tentara yang kejam. Ia, misalnya, membunuh empat tentara penting Vietnam Selatan dan agen gandanya. Tapi, bukankah demikian perang semestinya? Perang adalah kegilaan. Akal sehat disimpan agar tak merasa berdosa telah berlaku kejam.
Letnan Kolonel Kilgore, yang ditugasi menjemputnya, adalah tentara yang bengis dalam ukuran normal seraya tertawa. Kilgore menyerbu--diiringi musik Wagner yang diputar kencang-kencang--sebuah teluk yang dikuasi Vietkong hanya agar bisa berselancar. Ia menyukai bau napalm saat pagi. Uap bensin itu, katanya, "Mengabarkan bau kemenangan". Bagi Kilgore, perang adalah sebuah darmawisata yang mengasyikan, juga, tanpa tujuan.
Coppola telah dengan telak menggambarkan hipokrisi: perang adalah kegilaan mahal yang sia-sia. Kejam adalah sebuah kata sifat yang niscaya dalam perang, dari pihak sini maupun sana. Jika atasan Willard yang bermarkas di Korea itu menginginkan Kurtz tewas hanya karena alasan kejam, mereka telah munafik mengutusnya untuk membunuh seorang yang telah berlaku "benar" dengan alasan yang wajar. Bukankah Amerika menyerbu Vietnam sendiri dengan mengabaikan alasan itu?
Mungkin karena iri. Kurtz dianggap membangkang karena berperang dengan caranya sendiri. Konon, Kurtz mengumpulkan suku primitif lalu mendirikan kerajaan kecil di Kamboja dan dipuja bagai dewa di sana.
Willard memang akhirnya membunuh Kurtz, yang muncul menjelang akhir film. Dengan parang. Kurtz sendiri sudah tahu ia diburu. Karena itu, sebenarnya, ia telah bersiap menyambut Willard. "Horor itu," katanya sebelum meninggal dengan suara berat, "punya wajah". Ia juga mengutip puisi TS Elliot yang terilhami novel Heart of Darkness Joseph Conrad yang menjadi basis film ini: "Mistah Kurtz -- he dead."
Tapi bagian ini belum bisa disaksikan di Indosiar. Film terpotong saat Willard menembak mati seorang ibu yang terluka agar perjalanan tak terganggu. Indosiar harus patuh pada larangan jam siar lewat tengah malam. Pemerintah masih memberlakukan peraturan, yang katanya, untuk menghemat energi listrik dan bahan bakar minyak yang sekarat.
Dan wajah horor itu akan berakhir di Aceh, mudah-mudahan. Alhamdulillah, pemerintah mengedepankan akal sehat dengan mau menghamburkan kata-kata yang hampir gagal berkali-kali. Bukankah Indonesia merdeka 21.901 hari yang lalu itu juga karena sudah bosan dengan wajah mengerikan itu?
UPDATE
Monday, August 15, 2005
PUISI
cintamu sebatas hp
hp-ku hilang
cintamu melayang
amir, purwakarta [lampu merah, 14 Agustus 2005]
note : puisi ini dikirim Amir lewat sandek ke redaksi Lampu Merah dan dimuat di salah satu rubriknya (saya lupa namanya). Kalimat awalnya, saya temukan juga di kaca belakang mikrolet M11 jurusan Kebon Jeruk-Tanah Abang, sekitar tiga tahun lalu.
Subscribe to:
Posts (Atom)