Di negeri yang kekuasaannya begitu bebal, harapan dan pesimisme sama naifnya dengan urusan hidup sehari-hari. Di kantor saya, “berita buruk” kadangkala disortir, kalau bisa diganti dengan “berita baik”, agar ada variasi dan orang tak selalu berkerut kening setiap kali membaca majalah. Misalnya, tentang seseorang yang jadi kaya karena mengolah sampah. Orang-orang yang menumbuhkan harapan dan berbuat sesuatu bagi orang di sekelilingnya. Pejabat yang menolak suap.
Seringkali upaya itu gagal. Berita baik semacam itu sulit sekali ditemukan. Yang tampil akhirnya tetap “berita buruk”: korupsi pejabat A, kolusi petinggi B, kecurangan di sana, kebohongan di sini. Dan berita buruk ditulis, selalu ditulis, agar orang tak mengulangi keburukan itu, agar ada perubahan ke arah yang lebih baik. Opini, editorial, tajuk rencana, juga ditulis untuk menyuarakan sikap dan jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk setiap masalah yang muncul.
Sebuah harapan yang terdengar kian aneh. Di Guatemala, wartawan tak cukup hanya menulis. Mereka berkampanye. Seperti yang dilakukan José Rubén Zamora. Ia pemimpin redaksi El Periodico, yang harfiah berarti Koran. Zamora mampir ke kantor karena diundang sebuah lembaga untuk mengajarkan teknik investigasi bagi wartawan Indonesia. Oleh IPI, Zamora dinobatkan sebagai salah satu dari 50 pahlawan kebebasan pers. Tentu saja karena ia tak henti membongkar skandal di negerinya, dan selalu lolos dari upaya pembunuhan.
Barangkali riwayat hidup semacam itu tak lagi aneh. Di negara-negara berkembang selalu saja terdengar ada wartawan yang gigih membongkar keburukan pemerintahnya. Kita tak kekurangan jenis wartawan seperti dia. Yang membedakan adalah cara Zamora membongkar kebobrokan itu. Sebermula ia menetapkan tentara di negerinya sebagai musuh. Para tentara sering berkolaborasi dengan mafia narkotika mengeskpor mariyuana ke Meksiko, ke Amerika. Para tentara juga korup dan sering meneror wartawan di sana.
Kemudian, setelah selesai membongkar satu kasus, Zamora membuat iklan. Ia memajang foto para “tersangka” dari hasil investigasi para wartawannya. Tak hanya di korannya, tapi di media massa seluruh Guatemala. Di sana berita dan fakta saja tidak cukup. Iklan itu tak berhenti sampai ada reaksi. Misalnya, tersangka itu mengundurkan diri dari parlemen, menteri, atau jabatan publik lainnya. Atau rakyat turun ke jalan berdemontrasi. Satu upaya yang tak ditemukan di Indonesia.
Kita hanya menulis, lalu berharap keadaan berubah. Tiap hari, setiap pekan, kita membaca penyelewengan dan korupsi. Dari bulan ke bulan terus begitu. Nyatanya perubahan tak kunjung datang. Di mana salahnya? Seseorang pernah bertanya kepada petinggi di negeri ini tentang satu kasus. Seseorang teman saya itu malah kena marah kenapa kasus itu ditulis. Jadi, memang naif sekali berharap di sini. Kekuasaan begitu bebal.
Berita korupsi bisa jadi hanya cerita pengantar tidur. Lalu kita lupa karena besok urusan baru menunggu. Berita kolusi mungkin hanya asyik jadi bahan obrolan di waktu senggang atau menunggu kantuk sepulang kantor di kereta malam. Setelah itu hilang.
Kita memang sudah lama terkena paralisis. Sejak urusan kian banyak membelit. Sejak berbagai masalah bertubi-tubi menghimpit. Sejak banyak soal tak selesai-selesai: pembunuh Munir, luapan lumpur... Kita pun angkat bahu setiap ditanya apa harapan besok pagi? Betapa mengerikan...