Friday, June 19, 2009

CITA-CITA

APA salahnya menjadi wartawan. Ini pertanyaan yang pantas untuk Megawati, anak kedua Soekarno--pendiri Republik, orator ulung, dan penulis yang menggetarkan. Megawati, di podium itu, berdiri menyimak pertanyaan seorang mahasiswa. Seperti seorang Ibu, ia bertanya apa cita-cita mahasiswa itu? Mahasiswa itu menjawab: menjadi wartawan. Megawati menimpalinya tak seperti seorang Ibu: cita-cita kok cuma jadi wartawan.

Saya tak tahu adakah satu cita-cita melebihi cita-cita yang lain, sehingga cita-cita menjadi wartawan adalah cita-cita yang lebih rendah ketimbang cita-cita, misalnya, menjadi presiden. Saya tak tahu juga, setidaknya belum pernah membaca, apakah Megawati bercita-cita jadi presiden--keinginan yang luhur menurutnya--ketika seumuran mahasiswa itu.

Megawati pasti generasi agraris yang mewarisi cara pandang feodal. Ia masih mengidentikkan cita-cita dengan jabatan atau gelar, atau sesuatu yang berhubungan dengan prestise dan status sosial. Sehingga yang terbayang dari "gantungkan cita-citamu setinggi langit" adalah bukan membuat keinginan yang tak mungkin digapai tapi mengharapkan suatu jabatan paling tinggi. Dengan punya jabatan tinggi, karena itu uang banyak, kau akan bisa memerintah dan membayar apapun untuk keinginan dan hidupmu.

Anak-anak sekarang akan menjawab "menjadi presiden" tiap ditanya apa cita-citanya. Tak ada, atau belum pernah saya dengar, ada yang bilang bercita-cita menjadi petani. Sebab petani, di negeri agraris tapi bergaya industri ini, berada jauh di level paling rendah status sosial kita. Petani identik dengan kemiskinan dan kerja otot yang tak keren. Kecuali Mikail, anak saya.

Sejak dua tahun ia sudah punya cita-cita. Mula-mula ia bilang "aku ingin menjadi tukang parkir" karena kagum pada tukang parkir di sebuah rumah sakit yang sanggup memundur dan memajukan mobil tanpa menyentuhnya. Lalu menjadi supir truk karena berjuta-juta kali menonton video Adventures of Zimmo. Kini, hampir lima tahun, ia ingin menjadi supir angkot sebab bisa memodifikasi mobil semau-maunya, memutar lagu keras-keras, lalu dibayar penumpang. Neneknya pernah mengajari agar menjawab "menjadi dokter" kalau ditanya orang apa cita-citamu. Mikail tak mau, dan saya mendukungnya.

Karena itu apa salahnya menjadi wartawan? Bukan karena ini profesi mulia, tapi karena tak ada profesi yang lebih luhur dari profesi yang lain.

No comments: