Showing posts with label esai. Show all posts
Showing posts with label esai. Show all posts

Saturday, July 01, 2017

CATATAN MUDIK (2)

KAMPUNG-kampung selalu mengejutkan setiap mudik Lebaran. Jalan-jalan makin sibuk dengan sepeda motor dan mobil, berkode polisi B atau D atau F. Tak ada yang naik sepeda atau jalan kaki. Anak-anak muda dengan rambut dicat dan model spike serta telinga ditindik mengebut di jalanan kecil yang kini beraspal.

Pada hari kedua Idul Fitri tahun ini para tetangga saling berkunjung dengan keluhan yang sama: tak ada gas sehingga tak ada bahan bakar untuk memasak. Gas-gas melon 3 kilogram sudah habis isinya untuk menanak ketupat dan obor juga sayur cabe hijau sehari sebelum Lebaran. Sementara warung-warung kehabisan stok gas karena pemasoknya di pasar kecamatan masih tutup.

Seorang tetangga menertawakan keluhan akan kebutuhan pokok itu. Katanya, ketika masih memakai hawu mereka tak mengeluh tak ada gas. Ketika butuh untuk memasak mereka tinggal ke hutan mencari kayu bakar. Kini hawu sudah ditinggalkan karena orang-orang kampung mengikuti program pemerintah beralih memakai gas yang konon ramah lingkungan. Dan program itu punya konsekuensi tak sedikit.

Gas membutuhkan uang tunai karena bahan bakar ini tak bisa diproduksi sendiri. Dan uang tunai tak cocok dengan sistem hidup orang kampung. Saya baru sadar kakek-nenek dulu bahkan tak punya dompet untuk menyimpan uang. Simpanan mereka adalah huma dan sawah, juga kebun di hutan, yang dipanen bergiliran selama setahun.

Setiap kali mendapat uang dari hasil menjual palawija—karena padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari—uang panen itu dijadikan deposit di toko-toko alat pertanian. Ketika membutuhkan pupuk untuk musim tanam berikutnya mereka tinggal ambil dari toko itu. Sisanya disimpan di bawah bantal untuk membayar upah nyangkul. Itu pun jika ia dan menantunya tak cukup punya tenaga menggarap semua ladang.

Hidup sehari-hari pun nyaris tak perlu uang tunai. Padi mengambil di lumbung, sayuran memetik di kebun, ikan mengambil di balong dekat rumah, atau menyembelih ayam dari kandang, bahan bakarnya mengambil ranting-ranting di hutan sambil lalu pulang dari ladang. Hari-hari berjalan dengan rutin, kenyang, tanpa beban pikiran.

Kebutuhan akan uang tunai di zaman sekarang itu mendorong orang kampung tak lagi bertani. Mereka lebih senang pergi ke kota: ke Depok, Bandung, Jakarta, Cikarang, Cibitung. Jika bukan berdagang es cingcau keliling, mereka tetap punya pekerjaan karena kota membutuhkan tenaga mereka saat membangun infrastruktur dengan menjadi buruh bangunan. Tiga-empat bulan penghasilannya melebihi pendapatan satu musim bertani.

Menanam kacang tanah atau jagung perlu waktu tiga bulan dengan hasil panen tak seberapa. Ayah saya punya 500 bata atau sekitar 7.000 meter persegi sawah yang ditanami jagung dan kacang tanah. Sekali panen hanya menghasilkan Rp 7 juta. Setelah dikurangi modal (ongkos pekerja, biaya pupuk), untungnya cuma Rp 2 juta. Ia tak pernah menghitung tenaganya sendiri mengontrol ladang saban hari.

Untung Rp 2 juta itu bisa dihasilkan dalam waktu satu hingga dua bulan bagi buruh kasar. Penghasilan lebih besar lagi dari berdagang asongan atau bergiliran menjaga warung gerobak di Jakarta. Uang tunai itu pun bisa dipakai untuk membeli gas buat memasak bagi keluarganya di kampung. Jika gas habis mereka tinggal jajan. Untuk pertama kali sejak tahun lalu, ada tetangga yang membuka warung nasi dan lauk-pauknya!

Maka bertani bukan pilihan dengan gaya hidup seperti itu. Apalagi bertani zaman sekarang jauh lebih berat. Saat malam takbir, orang-orang malah menginap di sawah karena cemas tanaman mereka diserbu babi yang lapar dari gunung.

Karena hutan tak lagi digarap, bukit-bukit jadi rimbun akibat tak terjamah manusia. Babi bersarang di sana dan turun ke ladang mencari makanan ketika malam. Kini Pasir Muncang nyaris tak bisa disambangi karena jalan setapak yang dulu licin tak ada lagi. Jalan Rupit sepi seperti dihuni kembali oleh hantu-hantu.

Dulu tak ada babi karena orang kampung menggarap kebun hingga bukit-bukit di jauh hutan, yang perjalanannya saja menghabiskan dua jam jalan kaki. Babi-babi pun terhadang tak bisa masuk kampung. Kini hutan-hutan itu tak digarap, atau dibiarkan dengan hanya ditanami jati atau jabon, menjadi habitat babi yang kian dekat dengan persawahan. “Sekarang gunung-gunung sudah dijual ke investor dari Jakarta,” kata seorang tetangga. Tak ada orang kampung yang tak paham arti kata “investor”.

Di sawah dan hutan memang tak terlihat lagi anak-anak muda. Soalnya, selain tak ada mereka yang menggarap sawah, tak ada lagi remaja selepas SD menjadi gembala kerbau atau sapi. Teman-teman SD saya punya siklus hidup yang bisa ditebak: sekolah untuk bisa baca-tulis, lalu menggembala kerbau milik orang lain, kawin dengan pekerjaan sebagai petani, dan menjalani hidup nyaris tanpa gelombang.

Upah menggembala kerbau itu bukan uang, tapi anak kerbau. Dengan sistem bagi hasil itu, dalam lima atau tujuh tahun seorang remaja lulusan SD punya dua kerbau hingga ia siap kawin dan memulai hidup mandiri sebagai petani.

Siklus itu tak ada lagi kini. Mereka yang masih menggarap sawah bahkan membajak memakai mesin. Tak ada lagi kandang kerbau atau sapi di ladang yang mengepulkan asap sepanjang malam meruapkan bau jerami kering yang dibakar oleh gembala yang pulang menjelang magrib. Tak ada lagi cahaya cempor yang kelap-kelip dari kadang kerbau di punggung-punggung bukit.

Mereka yang masih giat ke kebun adalah orang-orang beruban dengan kulit keriput dan mata lamur, generasi seangkatan bapak saya. Orang-orang tua kian sadar pentingnya sekolah untuk anak-anak mereka, selain pemerintah kian banyak mendirikan sekolah menengah dan atas di kampung-kampung. Dan agaknya bukan zamannya lagi sepulang sekolah anak-anak itu mencari rumput untuk makan kambing.

Sepulang sekolah mereka bermain game, di telepon seluler atau kios PlayStation. Lagi-lagi main games membutuhkan pulsa dan uang tunai. Bisnis paling laris di kampung sekarang adalah berjualan pulsa dan nomor telepon.


Setelah lulus SMA atau SMK anak-anak itu mencari pekerjaan di kota. Jika tak mendapat pekerjaan formal di perusahaan di Cikarang atau Cibitung, mereka berdagang. Beberapa yang lain sukses membuka bisnis dengan ratusan karyawan di kota kabupaten. Mereka pulang ke kampung tiap Lebaran dengan mobil dan sepeda motor.

Saya menjadi bagian dari gelombang urbanisasi itu, yang mengutuk macet di balik kemudi, seraya mencemaskan kejutan-kejutan dari kampung setiap mudik Lebaran...

Monday, October 24, 2016

BAHASA GADO-GADO



Bagja Hidayat *)

MEGAWATI Soekarnoputri menyentil Badan Research and Rescue Nasional sebagai lembaga negara yang memakai nama dengan bahasa gado-gado. Dalam penandatangan kerjasama Basarnas dengan PDI Perjuangan pada 24 Agustus 2016 itu, ia meminta nama dan logo Basarna diganti dengan penamaan Indonesia.

Apa sebetulnya nama Indonesia? Sejak dulu bahkan nama orang memakai bahasa campuran. Nama saya merupakan campuran bahasa Sunda dan Arab. Anak-anak sekarang tak lagi memakai nama Joko atau Asep, tapi nama-nama lain yang dicomot dari bahasa lain yang diakrabi oleh orang-orang tua mereka. Ada teman bernama Tectona Grandis, bahasa Latin untuk pohon jati karena ayahnya seorang administratur Perhutani di Sumedang.

Bagi bukan orang Melayu, bahasa Indonesia adalah bahasa asing, yang harus dipelajari dengan susah-sungguh. Dan ada banyak lembaga resmi yang memakai nama asing tanpa disadari keterasingannya, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau Sekretariat Kabinet.
Bahkan Basarnas itu sepenuhnya asing, bukan campuran dengan bahasa lokal, karena berasal dari bahasa Arab (Badan), Inggris (Search and Rescue) dan Belanda (Nasional). Sentilan Megawati mungkin lebih cenderung pada keinginan Basarnas memakai nama dengan kata-kata yang sudah diserap kamus, seperti “badan” dan “nasional” itu.

Sebab, sejatinya bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado karena dibentuk dari serapan pelbagai bahasa daerah dan bahasa asing lain di luar kepulauan ini. Karena sering dipakai dan jadi akrab, sebuah kata akan kian fasih digunakan dan mendekam dalam ingatan kolektif banyak orang lalu diakui sebagai bahasa nasional.

Mahkamah Agung merupakan campuran Arab dan Minang, sementara Sekretariat Kabinet sepenuhnya bahasa Belanda. Dua nama lembaga ini tak punya masalah dan dipermasalahkan. Basarnas terasa asing terus menerus kendati nama ini sudah dipakai sejak 1972. Search dan rescue tak kunjung terasa lokal kendati sudah jadi nama lembaga selama empat dekade. Problemnya bisa karena nama ini tak kunjung akrab di telinga pengguna bahasa Indonesia atau karena kata ini sudah punya padanan yang tepat yakni "mencari" dan "menolong".

Sebelum Megawati menyentil, majalah anak-anak Si Kuntjung sudah mencoba mengenalkan istilah yang lebih “lokal” yakni “rilong”, akronim dari “pencarian dan pertolongan” sejak 1976. Sehingga Basarnas bisa menjadi Badan Pencari dan Pertolongan Nasional, yang disingkat Barilongnas atau Bacarnas jika ingin sedikit mempertahankan akronim lama.

Barangkali karena Basarnas ingin mempertahankan nama asli dengan mencantumkan frase search and rescue (SAR). Nama ini dipakai secara internasional sehingga singkatan "sar" seolah menjadi kata yang telah merasuk dalam ingatan kolektif setiap orang dengan merujuk pada arti "mencari dan menolong".

Bahasa adalah sebuah alat menyampaikan pengertian. Jika "sar" telah dipahami sebagai "mencari dan menolong" apa masalahnya jika dipakai sebagai nama? Toh "satpam" dan "hansip" telah menjelma menjadi nama dan kata sendiri dengan makna yang langsung kita pahami dibanding pengertian panjangnya sebagai "satuan pengamanan" dan "pertahanan sipil" yang tak merujuk pada subjek dan orangnya.

Rupanya, karena bahasa terkait identitas dan formalitas. Meski kita paham dengan pengertian dan definisi serta tugas dan fungsi Basarnas, dalam kata ini mengandung unsur yang tak mudah dikompromikan yakni keanggotaan kata dalam kamus. Apalagi Basarnas adalah lembaga resmi yang bisa dijadikan yurisprudensi penamaan lembaga lain yang pengertiannya dikandung bahasa lain.

Jika demikian masalahnya, kata-kata yang dipakai untuk penamaan itu mesti diakui secara resmi dalam kamus sebagai kata serapan terlebih dahulu. Bagaimana pun kamus adalah patokan dan kesepakatan kita dalam berbahasa. Sehingga Kementerian Reformasi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak harus diubah menjadi Kementerian Pendayagunaan Pegawai Negeri dan Perubahan Sistem Pemerintahan.

Dengan lalu-lintas dan perjalanan antar wilayah kian mudah, juga makin gampangnya ilmu pengetahuan tersebar, manusia akan semakin lentur dalam saling serap bahasa sebagai alat tutur. Secara alamiah, bahasa pun akan kian menjadi “gado-gado”.

*) Wartawan Tempo
Dimuat di majalah Tempo edisi 19 September 2016.

Tuesday, February 23, 2016

MENGEJAR 'SELFIE'



Di majalah Tempo edisi 30 November-6 Desember 2015, ada kartun Hariprast tentang peringatan Hari Guru. Hari menggambar seorang guru memakai baju Korpri sedang memegang telepon seluler di depan murid-muridnya, yang juga memegang telepon seluler. Teks kartun itu adalah "Guru ngetweet berdiri, murid selfie berlari".

Kalimat itu adalah pelesetan dari peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Kartun itu punya dua aktualitas sekaligus: Hari Guru dan apa yang terjadi kini ketika semua orang punya akun Twitter. Dan kalimat itu pas sebagai kartun, parodi atas kejadian sehari-hari, juga pas sebagai contoh di zaman Internet ini: bahasa bisa begitu lentur mengadopsi satu sama lain.

Kalimat itu sepenuhnya campuran bahasa Indonesia, bahasa slang, dan bahasa Inggris, plus bahasa istilah. "Ngetweet" adalah bahasa slang dari "men-tweet", yang diturunkan dari "tweeting" dengan arti harfiah "mencuit" yang mengacu pada suara burung, lambang aplikasi Twitter. "Selfie" adalah bahasa Inggris yang dibentuk dari "self", diri-sendiri. "Selfie" istilah yang populer setelah kebiasaan memotret diri sendiri dengan telepon seluler yang mengacu pada memfoto diri sendiri.

Hari memilih bahasa percakapan ketika menuliskan kalimat untuk kartunnya. Ia tak setia pada kaidah pemadanan kata yang sesungguhnya sudah mulai dicoba dipopulerkan. "Mencuit" ketika mengacu pada akun Twitter akan dipahami sebagai "membuat kalimat 140 karakter pada media sosial Twitter". Dalam kamus, tentu saja, "mencuit" dengan arti seperti ini belum tertampung.

Ada juga yang mencoba memadankan "selfie" dengan "swafoto", yang merujuk pada "pemotretan yang dilakukan sendiri". Sebab, jika kamera dipegang orang lain, ia bukan "selfie" kendati obyek fotonya hanya seorang diri. Kegiatan itu disebut "pemotretan" saja. Kini ada lagi istilah turunannya, yakni "wefie", yang terbentuk dari "we" (kami, kita) dan "fie"—kependekan dari "selfie". Artinya: pemotretan oleh diri sendiri secara bersama-sama.

Ada anjuran kalimat asing dipadankan, seperti Ahmad Sahidah yang setuju menyebut "komedi tunggal" untuk stand-up comedy di lembar ini di edisi 30 November 2016—mengacu pada padanan lain semacam "organ tunggal". Sahidah kurang setuju dengan "jenakata", yang lebih merujuk pada pemakaian kata-kata sebagai senjata humor oleh pelawak. Sebab, sebelum televisi memakai "stand-up comedy" sebagai judul acara, Butet Kertaradjasa hanya disebut seniman "monolog".

Di televisi dan media sosial, juga kalangan anak muda, pelawak tunggal itu disebut "komika", yang diserap begitu saja dari "comic" dalam bahasa Inggris, yang berarti "pelawak", bukan "komedian tunggal" atau "jenakatawan". "Komika" mulai populer kendati menyalahi kaidah turunan kata dan kisruh dengan "komik", cerita bergambar di media massa. Penggambarnya tak disebut "komika", melainkan "komikus", karena "-kus" dalam aturan baku menyebut orang dari sifat yang diterangkannya. "Komika" bukan pula sifat dari "komik", karena adjektivanya adalah "komikal".

Agaknya saling kejar padanan dengan istilah di zaman Internet seperti membandingkan deret ukur dan deret hitung. Terlalu banyak istilah gabungan dari pelbagai kata yang diturunkan lagi menjadi kata baru dan menabrak kaidah bahasa Indonesia. Kamus selalu telat merespons perkembangan bahasa, bentukan, bahkan kata baru yang muncul dengan arti yang spesifik dan melenceng dari arti kata yang sudah ada.

Sebab, "wefie" itu, jika dirujuk pada kegiatannya, pada faktanya, ya, itu foto bareng belaka. Bahwa pemotretannya tak dilakukan oleh fotografer yang tak ada dalam obyek kamera, hasilnya adalah tetap foto bersama-sama. Dan "wefie" kian populer, meninggalkan istilah "foto bareng", apalagi "swafoto", yang terasa ketinggalan zaman meski terbentuk dari frasa yang sangat lokal.

Barangkali itu karena bahasa asing, terutama Inggris, kian tak asing bagi orang Indonesia. Pola pengajaran di sekolah yang memakai dua atau tiga bahasa pengantar membuat generasi kini tak hanya akrab dengan bahasa asing, tapi juga memakainya sebagai bahasa kedua. Dengan Internet yang menghilangkan sekat-sekat negara, pemakaian bahasa Inggris kian luas.

Istilah-istilah pun diserap begitu saja dan dipercakapkan tanpa peduli silsilah dan padanannya. Bahasa memang kesepakatan bersama karena serapan bahasa asing sudah terjadi sejak manusia mulai bisa berbicara. Tapi kekacauan yang saling meniadakan dari bahasa asal dengan bahasa lokal membuat makna kata dan istilah baru itu kian melenceng. Dari sisi ini, Internet agak mencemaskan.

Bagja Hidayat, Wartawan Tempo

Dimuat majalah Tempo edisi 1 Februari 2016.

Wednesday, February 17, 2016

KISAH DAUS: DARI PENCUCI PIRING MENJADI JURAGAN RESTO DI LONDON



Rupanya Pak Daus makin terkenal. Setelah saya tulisprofilnya pada 2012, ia menjadi bintang tamu acara Hitam Putih Trans7 dengan pemandu mentalis Deddy Corbuizer dan dua kali nampang di koran Kompas dan diliput TVOne. Pak Daus layak untuk itu karena ia inspirasi tentang semangat pantang menyerah dan kerja keras.

Nama lengkapnya Firdaus Ahmad. Ia lahir 57 tahun lalu dari keluarga Betawi di Sentiong, Jakarta Pusat. Ayahnya adalah sekretaris Wahid Hasyim jika Menteri Agama pertama ini (1949-1952) menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang kantornya di Kramat itu. Tapi Pak Daus buru-buru menjelaskan bahwa jabatan sekretaris zaman itu tak usah dibayangkan sebagai orang hebat. “Tugasnya menyediakan koran dan membuat kopi,” katanya.

Setelah mengenalnya cukup lama, saya tahu itu kalimatnya yang merendah, tapi bisa jadi kenyataannya seperti itu. Pikiran Pak Daus sangat sederhana. Ia tak melihat dunia dari sisi yang rumit. Ia tak suka melebih-lebihkan sesuatu, bahkan cenderung apa adanya, meski yang apa adanya itu sebetulnya tinggi juga.

Misalnya, kepada semua tamu Wisma Indonesia ia selalu menyebut dirinya sopir tiap kali menjemput mereka dari bandara Heathrow atau Gatwick. Biasanya orang percaya karena mereka berhubungan dengan Usya Suharjono, istri Pak Daus. Padahal, justru Daus pemilik penginapan 10 kamar bertarif 25 pound semalam di Colindale, London, itu. Ketika saya menyindirnya “sok merendah”, dia bilang, “Kan kenyataannya saya menjemput, menyopiri, mengantar tamu sesuai tujuan mereka.” Benar juga, sih…

Pak Daus mungkin memilih sudut pandang seperti itu. Dan saya kira itu cara berpikir yang mengantarnya sukses seperti sekarang. Tentu saja, sukses itu ukuran menurut saya, yang kagum menyimak perjalanan hidupnya yang berwarna: dari seorang kondektur mikrolet jurusan Kampung Melayu-Bekasi menjelma pengusaha restoran Indonesia yang besar di London, salah satu kota termahal di dunia.

Setelah lulus SMA 1 Indramayu, Jawa Barat, Daus kembali ke Jakarta. Tak punya pekerjaan dan tak bisa kuliah, ia menjadi kondektur mikrolet itu. Di Indramayu sebetulnya dia “dibuang” gurunya karena berkelahi di sekolah. Ia tinggal di rumah neneknya yang sudah meninggal, sehingga harus menyediakan keperluan sekolah dan biaya sendiri. Maka sepulang sekolah ia suka ikut truk sayuran agar bisa dapat tips dari sopir karena ikut menurunkannya di pasar.

Pada pertengahan 1981, Daus membaca berita rencana perkawinan Putri Diana dan Pangeran Charles di koran yang disebut “perkawinan abad ini”. Pak Daus suka punya pikiran nyeleneh tapi serius. Ia bilang ke ibunya, ingin bisa melihat langsung perkawinan Putri Diana. Ibunya tertawa mendengar omongan anak sulungnya. Daus dianggapnya sedang mengigau.

Dan igauan itu mulai terlihat jadi kenyataan ketika seorang kerabat jauh yang bekerja jadi sopir di Kedutaan Indonesia di London pulang ke Indonesia. Daus meminta dibukakan jalan bisa ke London, tapi tak punya uang untuk tiket.

Setelah merengek terus, kerabat itu mungkin jengkel juga. Ia mengirim tiket sekali berangkat. Sayangnya, tiket dikirim September, dua bulan setelah pernikahan akbar itu. Daus pun terbang ke London tanpa tujuan pasti. Ia hanya ingin melihat kerabatnya bekerja di negara Ratu Elizabeth tu sambil berharap siapa tahu ketemu pangeran dan putrinya sedang jalan-jalan di taman. Ya, siapa yang tahu, mereka runtang-runtung tanpa pengawalan…

Hari keberangkatan pun ditentukan dan kerabat itu berjanji menjemputnya di bandara Gatwick. Setelah perjalanan panjang 18 jam dengan Garuda Indonesia lewat Riyadh dan Paris, Daus tiba di London. Di bandara besar ini orang banyak sekali dan semua tulisan di sana tak ia mengerti. Ia tahu itu bahasa Inggris tapi tak paham artinya. Maka setelah melewati meja imigrasi ia bingung mencari pintu keluar.

Daus tak tahu harus menghubungi siapa. Ia pun duduk termangu selama dua jam. Jauh hari kemudian ia baru tahu jika si kerabat itu menunggu dengan jengkel dan putus asa di tempat jemputan. Ia hampir saja pulang dan mengira tamunya tak jadi datang seandainya Daus tak mendapatkan ide cemerlang setelah dua jam duduk.

Ia perhatikan semua penumpang. Ia berasumsi mereka yang kusut masai adalah penumpang yang baru tiba dari perjalanan yang jauh. Maka mereka pasti menuju pintu keluar untuk pulang ke rumahnya. Daus pun mengikuti mereka menuju pintu bertuliskan “EXIT”. “Saya baru tahu artinya ‘exit’, ya, hari itu,” katanya, terbahak tiap mengenang peristiwa itu. Pintu EXIT itu sudah ia lihat selama duduk dua jam itu. Haduh…

Dan mulailah perjalanan hidupnya di London. Kunjungan sebulan itu ia manfaatkan dengan ikut bekerja sebagai sopir. Jika kerabatnya berhalangan ia yang menggantikan, sampai ia mendapat pekerjaan sebagai “DJ” atawa pencuci piring di sebuah restoran Indonesia yang tukang masaknya adalah seorang koki dari Malaysia.

Tiba-tiba perusahaan itu bangkrut, setelah Daus pulang dan memperpanjang visa. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah menyita lalu menjualnya. Dan pembelinya adalah tukang masak dari Malaysia itu! Hidup benar-benar seperti roda. Restoran itu kini masih berdiri dengan tukang masak orang Indonesia yang tadinya pemilik rumah makan itu.

Seorang pengusaha Singapura lalu mendirikan restoran Nusa Dua. Daus diajak serta. Kali ini pangkatnya lebih tinggi, sebagai chef. Sewaktu menjadi “DJ” itu, Daus belajar bagaimana memasak. Masakannya enak dan pengusaha itu tertarik membuat resto baru dengan masakan racikan Daus.

Restoran baru itu juga tak berjalan lama. Pemiliknya tak meneruskan cicilan modal sehingga Royal Bank of Scotland mengambil alih. Daus, pada 1991 itu sudah memperistri Usya Suharjono, mahasiswi sekolah manajemen di London, kelimpungan tak punya pekerjaan. Ia pun punya ide yang absurd pada masa itu: mengambil alih restoran dan menjalankannya sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Ia dan Usya mendatangi RBS untuk bernego. Usya yang menjadi negosiator karena bahasa Inggrisnya lebih lancar. Usya tinggal di London mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai wartawan BBC seksi Indonesia. Sejak lulus SMA 2 Jakarta pada 1983 ia pindah ke London dan kuliah di sana, lalu ketemu Daus dan menikah.

Daus menawarkan mengambil alih restoran Nusa Dua di SOHO itu, daerah elite dan pusat keramaian London. Ia bilang, daripada RBS keluar uang pajak memelihara aset yang tak menghasilkan lebih baik diberikan kepadanya. Keuntungan RBS adalah mendapat cicilan kembali dan tak perlu bayar pajak karena sudah ia tanggung. Jika dalam setahun cicilan 1.000 pound (Rp 17 juta kurs sekarang) tiap bulan macet, RBS bisa ambil kembali restoran itu dan uang yang sudah dibayarkan Daus hangus. Deal. Daus kini jadi pemilik Nusa Dua.

Ia belanja sendiri dan masak sendiri juga menservis tamu sendiri. Ia bekerja keras mengembalikan pelanggan-pelanggan yang kabur akibat restoran tutup. Karena kualitas masakan tak berubah, pelanggan lama kembali dan pelanggan baru datang. Para pesohor dunia jadi pelanggannya, seperti gitaris Beatles Paul McCartney, Simon Cowell, Sade… Daus bisa mencicil utang 100 ribu pound secara rutin hingga lunas enam tahun kemudian.

Ia jadi pemilik mutlak restoran itu. Saya bertemu Pak Daus di restorannya pada 2012. Sewaktu diundang pemerintah Inggris melihat persiapan Olimpiade, seorang humas Kedutaan Inggris menyelipkan namanya karena saya minta kontak orang Indonesia di London yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Awalnya saya tak berminat karena menyangka Daus tak menarik. Dari namanya dan nama istrinya yang tak umum untuk nama Indonesia biasa, saya menduga mereka pasangan dari keturunan keluarga tajir yang buka restoran di London sekadar iseng saja. Maka sewaktu janjian bertemu, saya membayangkan sebuah wawancara yang garing. Pak Daus mungkin orang kaya ngehek yang tak berkeringat mendapat kekayaan melimpah.

Dugaan itu buyar begitu bertemu. Restorannya masih tutup karena masih siang, sebab koki masih memasak untuk jam makan malam. Ia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek yang agak lusuh, bukan jas mahal. Hanya bercelana jins dan kalau tertawa malu-malu. Ketika berbicara ia juga lebih banyak menunduk. Sewaktu mulai sesi wawancara ia menolak dan malah menyilakan makan. “Sudah seminggu makan sandwich terus kan?” katanya.

Waktu itu memang menggiurkan. Di meja penuh masakan Indonesia: sayur asam, ayam kremes, krupuk, terong balado, soto ayam. Tiap kali mau wawancara yang serius dengan menggali profilnya, Daus melengos dan merasa tak pantas diberitakan. “Saya ini dulu penggemar Tempo, Pak,” katanya. “Saya suka baca di kantor Bapak saya. Yang jadi berita kan orang-orang hebat, masak saya ditulis di Tempo?”

Gaya bicaranya ceplas-ceplos dan kental dengan logat Betawi, logat yang melekat ketika ia bicara Inggris dengan pelanggannya. Ia berpikir lama sampai akhirnya setuju profilnya dimuat. Bagi wartawan, mendapat narasumber seperti Daus ibarat perjaka bertemu pacarnya yang menempuh hubungan LDR. Menggairahkan. Profil Daus sungguh berwarna, dramatis, unik, nekad. Tak banyak orang seperti dia.

Bersama Usya mereka punya dua anak perempuan dan satu laki-laki. Dua anak perempuannya sudah bekerja di lembaga-lembaga internasional di lain negara. Si bungsu masih kuliah di London.

Dan Usya agaknya setipe dengan Daus. Perempuan 52 tahun inisukses menggelar “Hello Indonesia”, program promosi Indonesia di London sejak2014 yang ia bikin dan biayai sendiri. Ia sudah melobi pemerintah tapi tak kunjung ada bantuan. Kalaupun ada hanya secarik memo dari Kedutaan yang menyatakan ia memang benar penyelenggara Hello Indonesia.

Pemerintah Kota London menilainya sukses menggelar acara di Trafalgar Square. Jika tahun-tahun sebelumnya Usya harus antri menyewa landmark Kota London itu, tahun ini pemerintah yang bertanya apakah ia akan memakainya lagi dan menyediakan waktu 14 Agustus 2016.

Usya beberapa kali bertemu Wali Kota London Boris Johnson. Alih-alih mengundang pemerintah Indoensia, Boris malah mengundangnya dalam perayaan Idul Fitri tahun lalu. Maka Usya satu-satunya orang yang bukan ofisial pemerintahan di antara banyak undangan.

Tahun ini Nusa Dua pindah ke ruangan yang lebih luas di China Town yang lebih ramai, di jantung London. Daus kini sedang mengincar sebuah gedung besar bekas mal yang disita pemerintah karena bangkrut. “Saya mau bikin bangunan itu jadi hotel,” katanya. *


Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo
.

Friday, January 29, 2016

MUNDURNYA MENTERI JEPANG: CATATAN OPOSISI UNTUK JOKOWI



Menteri Perekonomian dan Kebijakan Fiskal Jepang, Akira Amari, mengundurkan diri setelah berkala Shukan Bunshun menulis ia menerima 12 juta yen atau setara Rp 1,2 miliar dari sebuah perusahaan konstruksi. Amari sudah menyangkal berita itu, namun mengakui stafnya yang menerima “uang terima kasih” tersebut.

“Dengan mempertimbangkan tanggung jawab sebagai anggota parlemen, anggota kabinet dan harga diri sebagai politikus, saya mengundurkan diri mulai hari ini,” kata Amari dalam sebuah jumpa pers pada Kamis, 28 Januari 2016.

Bagi orang Jepang, pengunduran diri seorang pejabat adalah hal biasa. Bahkan untuk sekelas Amari, orang kepercayaan Perdana Menteri Shinzo Abe yang menjadi perumus “Abenomics”,  julukan untuk strategi menjadikan ekonomi Jepang terdepan setelah lolos dari deflasi.

Amari juga negosiator utama dalam Kerjasama Trans Pasifik. Ia akan berangkat ke Selandia Baru untuk meneken kerjasama itu. Dan ia kini mundur, meski PM Abe menginginkan ia bertahan.

Shukan Bunshun, majalah sejak 1923 yang berpengaruh di Tokyo, menulis kesaksianseorang pejabat di kantor Amari bahwa ia telah diperintahkan oleh orang palingberpengaruh di kantor Menteri Perekonomian untuk meminta kompensasi proyekinfrastruktur dari perusahaan konstruksi sejak 2012. Jaksa penuntut umum di Distrik Tokyo berpendapat bahwa transaksi itu kemungkinan ada unsur pidananya.

Amari lalu merasa malu dan mundur. Ia sungguh menampar tabiat politikus Indonesia: jangankan baru ditulis lalu mundur, sudah masuk KPK pun kalau tak dipaksa undang-undang, para koruptor itu masih bertahan di jabatannya, atas nama asas praduga tak bersalah.

Apa yang dilakukan Amari dan orang Jepang mungkin tak masuk akal bagi kita, orang Indonesia. Ketika bertemu seorang diplomat senior Jepang di Jakarta, saya tak tahan menanyakan soal ini: apakah bagi orang Jepang tuduhan yang belum “in kracht” itu sudah membuat mereka malu? Dan apakah hanya karena malu mereka melepaskan kekuasaan yang dibangunnya sejak lama?

Diplomat ini mengatakan bahwa malu hanya salah satu alasan saja. Semua ada perhitungan politiknya. Jika Amari bertahan, oposisi akan semakin punya bahan menyerang pemerintah Abe dari Partai Liberal Demokratik. Tentu serangan itu membuat kinerja kabinet tak efektif. Dan, yang terpenting, serangan itu bisa menurunkan popularitas Partai Liberal, juga popularitas Amari sendiri.

Publik Jepang yang sudah melek setidaknya tak memilihnya lagi dalam pemilu mendatang jika ia tak mundur akibat berita dan serangan-serangan oposisi, meski belum tentu juga jaksa menindaklanjuti laporan majalah itu dan membuktikan ada suap. Dengan mundur, serangan politik akan mereda.

Pendeknya, berita tentang suap justru membuat karir politik Amari kemungkinan besar hancur jika bertahan. “Dengan mundur dan ia maju lagi masih ada kemungkinan terpilih, karena orang sudah lupa,” kata diplomat ini. “Itulah gunanya ada oposisi.”

Kalimat terakhir ini yang membuat saya rada tersedak. Oposisi. Dan itulah gunanya ia. Fungsinya untuk menumbuhkan rasa malu para politikus yang berkuasa. Rasanya, pas benar dengan apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini, ketika hampir semua partai yang menentang Presiden Jokowi kini rame-rame merapat mendukungnya.

Jika Jokowi jadi merangkul Golkar dan PAN dan PKS ke kabinet, ia tak ada bedanya dengan SBY yang mengusung koalisi gemuk demi “jalannya program pemerintah”. Jokowi melupakan janjinya sendiri yang akan “kerja, kerja, kerja” dengan koalisi ramping saat pemilu lalu. Dan, yang lebih penting, koalisi gemuk itu akan menghilangkan “oposisi” untuk mengontrol kebijakannya.

Sebab, seperti di Jepang, oposisi ternyata sangat penting. Dengan segala kecerewetan dan kegaduhan yang ditimbulkannya, politikus dan partai oposisi diperlukan agar partai yang berkuasa tak sembarangan membuat kebijakan dan tak bebal ketika diberitakan korupsi.

Juga agar ada suara lain yang menjadi rem bagi hasrat kekuasaan yang acap kebablasan. Kekuasaan itu candu, kata orang, maka ia perlu dikendalikan. Kekuasaan itu cenderung korup, kata orang bijak yang lain, karena itu ia harus sering diingatkan.

Demikianlah oposisi dalam demokrasi yang benar dan beradab, juga niat berpolitik untuk kemaslahatan orang banyak. Media juga pada akhirnya akan memberitakan kabar-kabar yang terverifikasi karena implikasinya bisa begitu kuat. Alih-alih menggugat redaksi Bunshun yang belum tentu benar memberitakan, Amari mundur.

Menurut diplomat itu, logikanya sederhana juga. Jika jaksa tak mengusut, paling tidak Amari sudah menunjukkan sebagai politikus yang bertanggung jawab sehingga bisa maju lagi dalam pemilu. Jika jaksa mengusut dan terbukti ada suap, ia tak terlalu malu karena mundur saat masih menjabat menteri. Logika sederhana yang lempeng inilah yang, kata diplomat ini, mendasari laku politik di negaranya.

Di Indonesia, menjadi oposisi agaknya sekadar karena tak kebagian kekuasaan belaka. Mereka yang diberitakan korupsi, bahkan dengan bukti transfer, tak takut kehilangan popularitas karena pemilih gampang lupa dan bisa disuap dengan uang sekali makan. “Aku tak berkuasa maka aku jadi penentang”. Karena itu usia oposisi hanya sebatas ketika tak ada peluang mengambil kekuasaan.

Anekdot para politikus adalah “oposisi harus tahan miskin”. Sebab, dengan berada di luar pemerintahan, partai politik tak mendapat setoran proyek. Dengan tak berkuasa, para politikus tak mendapat keuntungan dari upah membagi-bagi proyek ke banyak orang lain saat membahas anggaran.

Karena itu, meski presiden dan politikus kini dipilih langsung, kita tak pernah mengenal partai yang benar-benar menjadi oposisi, yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan argumen yang kuat, yang menyodorkan kebijakan alternatif atas dasar untuk kebaikan publik. Para penentang kini hanya sekadar riuh karena alasannya seringkali malah bertentangan dengan logika dan akal sehat, lalu diam-diam ikut korupsi juga.

Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo.