Showing posts with label bahasa. Show all posts
Showing posts with label bahasa. Show all posts

Monday, October 24, 2016

BAHASA GADO-GADO



Bagja Hidayat *)

MEGAWATI Soekarnoputri menyentil Badan Research and Rescue Nasional sebagai lembaga negara yang memakai nama dengan bahasa gado-gado. Dalam penandatangan kerjasama Basarnas dengan PDI Perjuangan pada 24 Agustus 2016 itu, ia meminta nama dan logo Basarna diganti dengan penamaan Indonesia.

Apa sebetulnya nama Indonesia? Sejak dulu bahkan nama orang memakai bahasa campuran. Nama saya merupakan campuran bahasa Sunda dan Arab. Anak-anak sekarang tak lagi memakai nama Joko atau Asep, tapi nama-nama lain yang dicomot dari bahasa lain yang diakrabi oleh orang-orang tua mereka. Ada teman bernama Tectona Grandis, bahasa Latin untuk pohon jati karena ayahnya seorang administratur Perhutani di Sumedang.

Bagi bukan orang Melayu, bahasa Indonesia adalah bahasa asing, yang harus dipelajari dengan susah-sungguh. Dan ada banyak lembaga resmi yang memakai nama asing tanpa disadari keterasingannya, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau Sekretariat Kabinet.
Bahkan Basarnas itu sepenuhnya asing, bukan campuran dengan bahasa lokal, karena berasal dari bahasa Arab (Badan), Inggris (Search and Rescue) dan Belanda (Nasional). Sentilan Megawati mungkin lebih cenderung pada keinginan Basarnas memakai nama dengan kata-kata yang sudah diserap kamus, seperti “badan” dan “nasional” itu.

Sebab, sejatinya bahasa Indonesia adalah bahasa gado-gado karena dibentuk dari serapan pelbagai bahasa daerah dan bahasa asing lain di luar kepulauan ini. Karena sering dipakai dan jadi akrab, sebuah kata akan kian fasih digunakan dan mendekam dalam ingatan kolektif banyak orang lalu diakui sebagai bahasa nasional.

Mahkamah Agung merupakan campuran Arab dan Minang, sementara Sekretariat Kabinet sepenuhnya bahasa Belanda. Dua nama lembaga ini tak punya masalah dan dipermasalahkan. Basarnas terasa asing terus menerus kendati nama ini sudah dipakai sejak 1972. Search dan rescue tak kunjung terasa lokal kendati sudah jadi nama lembaga selama empat dekade. Problemnya bisa karena nama ini tak kunjung akrab di telinga pengguna bahasa Indonesia atau karena kata ini sudah punya padanan yang tepat yakni "mencari" dan "menolong".

Sebelum Megawati menyentil, majalah anak-anak Si Kuntjung sudah mencoba mengenalkan istilah yang lebih “lokal” yakni “rilong”, akronim dari “pencarian dan pertolongan” sejak 1976. Sehingga Basarnas bisa menjadi Badan Pencari dan Pertolongan Nasional, yang disingkat Barilongnas atau Bacarnas jika ingin sedikit mempertahankan akronim lama.

Barangkali karena Basarnas ingin mempertahankan nama asli dengan mencantumkan frase search and rescue (SAR). Nama ini dipakai secara internasional sehingga singkatan "sar" seolah menjadi kata yang telah merasuk dalam ingatan kolektif setiap orang dengan merujuk pada arti "mencari dan menolong".

Bahasa adalah sebuah alat menyampaikan pengertian. Jika "sar" telah dipahami sebagai "mencari dan menolong" apa masalahnya jika dipakai sebagai nama? Toh "satpam" dan "hansip" telah menjelma menjadi nama dan kata sendiri dengan makna yang langsung kita pahami dibanding pengertian panjangnya sebagai "satuan pengamanan" dan "pertahanan sipil" yang tak merujuk pada subjek dan orangnya.

Rupanya, karena bahasa terkait identitas dan formalitas. Meski kita paham dengan pengertian dan definisi serta tugas dan fungsi Basarnas, dalam kata ini mengandung unsur yang tak mudah dikompromikan yakni keanggotaan kata dalam kamus. Apalagi Basarnas adalah lembaga resmi yang bisa dijadikan yurisprudensi penamaan lembaga lain yang pengertiannya dikandung bahasa lain.

Jika demikian masalahnya, kata-kata yang dipakai untuk penamaan itu mesti diakui secara resmi dalam kamus sebagai kata serapan terlebih dahulu. Bagaimana pun kamus adalah patokan dan kesepakatan kita dalam berbahasa. Sehingga Kementerian Reformasi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tak harus diubah menjadi Kementerian Pendayagunaan Pegawai Negeri dan Perubahan Sistem Pemerintahan.

Dengan lalu-lintas dan perjalanan antar wilayah kian mudah, juga makin gampangnya ilmu pengetahuan tersebar, manusia akan semakin lentur dalam saling serap bahasa sebagai alat tutur. Secara alamiah, bahasa pun akan kian menjadi “gado-gado”.

*) Wartawan Tempo
Dimuat di majalah Tempo edisi 19 September 2016.

Tuesday, April 19, 2016

LEAD, PERTARUHAN PENULIS




Lead adalah pembuka tulisan. Ia, tak hanya paragraf pertama, banguan pengantar sebuah pokok soal. Jika judul seperti etalase pada sebuah toko, lead adalah pintu masuk ke dalam toko itu. Seorang calon pembeli, yakni para pembaca, akan tertarik membeli sebuah baju karena melihat etalase. Pemilik toko yang baik menyusun etalase sedemikian rupa hingga menggiring calon pembeli itu masuk ke dalam toko lewat pintu masuk yang tak terkunci.

Lead karena itu harus mudah dibuka, membujuk calon pembeli memasukinya, hingga mereka memilih sebuah baju dan bertransaksi di kasir. Setelah membayar, para pembeli harus dipaksa melihat-lihat barang lagi dan membeli lagi. Begitulah idealnya sebuah tulisan, sebuah toko, yang terus membujuk dikelilingi terus oleh para pembelinya. Begitu pula fungsi etalase, tujuan akhirnya membuat setiap orang bertransaksi di kasir.

Karena itu lead adalah pertaruhan para penulis. Jika ia gagal membujuk, pembaca tak akan memasuki keseluruhan tulisan, alih-alih mencerna, mengunyah, menerima atau menolak, ide/opini yang ingin disampaikan penulisnya. Maka lead harus dibuat semenarik mungkin.

“Menarik” memang terkesan klise, karena begitulah memang seharusnya sebuah tulisan. Agar tak abstrak, ukuran lead yang menarik jika ia menjadi setting sebuah tulisan. Pembaca tahu sejak paragraf pertama apa yang ingin disampaikan penulis dalam sebuah artikel. Karena ia sebuah pintu, lead menerangkan dengan jelas ide pokok yang akan dijabarkan oleh penulis itu.

Karena itu kegagalan lead  jika ia tak bisa menjadi tempat ide pokok dari sebuah tulisan. Para penulis seringkali membuat sebuah tulisan secara kronologis. Ini bagus karena pokok pikiran akan runut. Tapi cara seperti ini sering menjebak karena lead tak menjadi setting yang mendudukkan pokok soal sejak mula.

Karena itu, sebaik-baiknya menulis dimulai dari tengah. Lead menjadi semacam puncak atau klimaks dari sebuah tulisan yang membetot pembaca mencari awal dan akhirnya. Karena itu unsur sebuah tulisan adalah flashback. Lengkapnya sebuah tulisan mengandung unsur-unsur ini: narasi, deskripsi, kutipan, kilas balik, humor, opini.


Dengan narasi, sebuah ide dipaparkan. Dengan deskripsi sebuah ide dibumikan, barangkali dengan analogi. Kutipan membuat artikel punya wajah karena ia jadi memiliki tokoh. Kilas balik membuat cerita jadi berkonteks, humor agar tak garing, dan opini membuat sebuah tulisan jadi bernyawa dan bertenaga—sebab adanya sebuah ide menjadi alasan utama sebuah artikel ditulis.

Persoalannya, lead sering kali sulit disusun ketika kita sudah siap menulis. Kita tertubruk bahan sehingga bingung memilah dan memilih pokok soal mana yang akan dijadikan pembuka. Maka buatlah outline. Bagi mereka yang terbiasa menulis, outline seringkali terbentuk di kepala ketika menemukan sebuah ide yang layak ditulis atau melihat dan mendengar sebuah peristiwa yang memancing sebuah ide dan opini.

Sebaik-baiknya outline adalah dituliskan. Ketika membuat outline kita jadi tahu seberapa jauh bahan yang kita punya. Outline menuntut bahan diserakkan. Dan menulis pada dasarnya menyusun bahan yang terserak itu menjadi sebuah artikel yang berbentuk. Bagaimana menyusunnya? Kembalikan pada angle.

Angle adalah cara kita melihat masalah yang kita tulis. Sebuah tulisan mesti memiliki masalah karena ia alasan kita menulis. Ada banyak sudut padang kita menulis masalah itu. Pilih yang paling relevan dan dekat dengan pembaca. Menulis gempa besar Ekuador dan Jepang, salah satu anglenya adalah “gempa besar mengintai Indonesia”. Masalahnya: faktor-faktor geografi Ekuador dan Jepang yang mirip dengan Indonesia. Sehingga gempa Ekuador dan Jepang hanya sebagai peg (cantelan) kita menulis gempa di Indonesia.

Karena itu angle menjadi pijakan sebuah artikel. Dari situlah berangkatnya. Tentukan sebuah angle dengan pertanyaan berbekal 5 W 1 H. Kumpulkan bahan-bahan yang sudah ada itu untuk menjawab angle. Bahan yang tak relevan dan penting dengan angle itu disisihkan. Bahan paling relevan dan menarik disiapkan sebagai pembuka. Hasilnya adalah bahan yang fokus. Fokus membuat artikel menjadi ringkas dan jelas.

Ringkas dan jelas adalah unsur utama dalam tulisan. Ringkas beda dengan singkat. Ringkas menyangkut ide dan cara menulisnya. Ringkas menghindarkan penulis dari bertele-tele menyampaikan sebuah ide.

Maka sebuah tulisan akan terbentuk dari proses ini:

Ide --> Angle --> Riset/Wawancara --> Outline --> Penyusunan Bahan --> Menulis

Menulis pada dasarnya menyusun struktur ini:

Judul
--> Lead --> Jembatan --> Batang tubuh --> Penutup

Judul lebih baik dibuat terakhir agar ia mencakup seluruh ide dalam tulisan itu.

Karena lead sebuah setting ia mengandung dimensi waktu, ruang, dan tokoh. Tiga unsur ini (When, Where, Who) membuat setting menjadi jelas. Soal What, Why, dan How dijelaskan di sekujur tulisan karena itu adalah isi dari sebuah artikel. Narasi kita adalah menjawab enam pertanyaan dalam rumus klasik ini.
                                                                                                    
Jika setelah membaca paparan ini masih bingung, coba tips yang dibuat Putu Wijaya, wartawan Tempo yang lebih terkenal sebagai sutradara film dan teater serta penulis novel dan ratusan cerita pendek. Saya kutip ceritanya dari Amarzan Loebis, teman sekerjanya di majalah Tempo, yang kini menjadi redaktur senior di majalah itu.

Hampir semua tulisan Putu Wijaya dibuka dengan lead yang tak diduga-duga. Rupanya karena ketika menulis, Putu tak memikirkan lead atau strukturnya. Ia menuliskan apa saja sebagai pembuka lalu merangkainya terus sehingga tulisan menjadi utuh dan lengkap. Setelah selesai ia hapus aliena pertama.

Tentu saja cara ini dipakai bagi penulis yang kesulitan membuka tulisan dan baru lancar setelah masuk ke alinea kedua. Biasanya, memang, alinea pertama sulit dibuat, tapi kita lancar menulis berikutnya jika sudah melewati alinea dua. Sebab pada alinea ketiga biasanya kita baru memasuki keasyikan menulis.

Jika paragraf pertama dihapus, pembaca akan langsung memasuki tulisan dengan tahap yang sudah asyik dalam menulisnya itu. Dengan demikian sesungguhnya anda telah mulai menulis dari tengah.

Jika keranjingan, terus saja menulis sampai semua bahan masuk. Setelah selesai tinggalkan. Ketika kita kembali, kita berperan sebagai editor yang menyelaraskan ide, koherensi, menemukan salah logika, menyesuaikan jumlah karakter, menyelaraskan ide pokok dengan anglenya. Editor yang baik membuat sebuah tulisan menjadi kompak sejak judul, lead, batang tubuh, koherensi antar paragraf hingga penutup.

*) bahan kelas menulis di Forum Nulistik Tempo Institut, 15 April 2016

Tuesday, February 23, 2016

MENGEJAR 'SELFIE'



Di majalah Tempo edisi 30 November-6 Desember 2015, ada kartun Hariprast tentang peringatan Hari Guru. Hari menggambar seorang guru memakai baju Korpri sedang memegang telepon seluler di depan murid-muridnya, yang juga memegang telepon seluler. Teks kartun itu adalah "Guru ngetweet berdiri, murid selfie berlari".

Kalimat itu adalah pelesetan dari peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Kartun itu punya dua aktualitas sekaligus: Hari Guru dan apa yang terjadi kini ketika semua orang punya akun Twitter. Dan kalimat itu pas sebagai kartun, parodi atas kejadian sehari-hari, juga pas sebagai contoh di zaman Internet ini: bahasa bisa begitu lentur mengadopsi satu sama lain.

Kalimat itu sepenuhnya campuran bahasa Indonesia, bahasa slang, dan bahasa Inggris, plus bahasa istilah. "Ngetweet" adalah bahasa slang dari "men-tweet", yang diturunkan dari "tweeting" dengan arti harfiah "mencuit" yang mengacu pada suara burung, lambang aplikasi Twitter. "Selfie" adalah bahasa Inggris yang dibentuk dari "self", diri-sendiri. "Selfie" istilah yang populer setelah kebiasaan memotret diri sendiri dengan telepon seluler yang mengacu pada memfoto diri sendiri.

Hari memilih bahasa percakapan ketika menuliskan kalimat untuk kartunnya. Ia tak setia pada kaidah pemadanan kata yang sesungguhnya sudah mulai dicoba dipopulerkan. "Mencuit" ketika mengacu pada akun Twitter akan dipahami sebagai "membuat kalimat 140 karakter pada media sosial Twitter". Dalam kamus, tentu saja, "mencuit" dengan arti seperti ini belum tertampung.

Ada juga yang mencoba memadankan "selfie" dengan "swafoto", yang merujuk pada "pemotretan yang dilakukan sendiri". Sebab, jika kamera dipegang orang lain, ia bukan "selfie" kendati obyek fotonya hanya seorang diri. Kegiatan itu disebut "pemotretan" saja. Kini ada lagi istilah turunannya, yakni "wefie", yang terbentuk dari "we" (kami, kita) dan "fie"—kependekan dari "selfie". Artinya: pemotretan oleh diri sendiri secara bersama-sama.

Ada anjuran kalimat asing dipadankan, seperti Ahmad Sahidah yang setuju menyebut "komedi tunggal" untuk stand-up comedy di lembar ini di edisi 30 November 2016—mengacu pada padanan lain semacam "organ tunggal". Sahidah kurang setuju dengan "jenakata", yang lebih merujuk pada pemakaian kata-kata sebagai senjata humor oleh pelawak. Sebab, sebelum televisi memakai "stand-up comedy" sebagai judul acara, Butet Kertaradjasa hanya disebut seniman "monolog".

Di televisi dan media sosial, juga kalangan anak muda, pelawak tunggal itu disebut "komika", yang diserap begitu saja dari "comic" dalam bahasa Inggris, yang berarti "pelawak", bukan "komedian tunggal" atau "jenakatawan". "Komika" mulai populer kendati menyalahi kaidah turunan kata dan kisruh dengan "komik", cerita bergambar di media massa. Penggambarnya tak disebut "komika", melainkan "komikus", karena "-kus" dalam aturan baku menyebut orang dari sifat yang diterangkannya. "Komika" bukan pula sifat dari "komik", karena adjektivanya adalah "komikal".

Agaknya saling kejar padanan dengan istilah di zaman Internet seperti membandingkan deret ukur dan deret hitung. Terlalu banyak istilah gabungan dari pelbagai kata yang diturunkan lagi menjadi kata baru dan menabrak kaidah bahasa Indonesia. Kamus selalu telat merespons perkembangan bahasa, bentukan, bahkan kata baru yang muncul dengan arti yang spesifik dan melenceng dari arti kata yang sudah ada.

Sebab, "wefie" itu, jika dirujuk pada kegiatannya, pada faktanya, ya, itu foto bareng belaka. Bahwa pemotretannya tak dilakukan oleh fotografer yang tak ada dalam obyek kamera, hasilnya adalah tetap foto bersama-sama. Dan "wefie" kian populer, meninggalkan istilah "foto bareng", apalagi "swafoto", yang terasa ketinggalan zaman meski terbentuk dari frasa yang sangat lokal.

Barangkali itu karena bahasa asing, terutama Inggris, kian tak asing bagi orang Indonesia. Pola pengajaran di sekolah yang memakai dua atau tiga bahasa pengantar membuat generasi kini tak hanya akrab dengan bahasa asing, tapi juga memakainya sebagai bahasa kedua. Dengan Internet yang menghilangkan sekat-sekat negara, pemakaian bahasa Inggris kian luas.

Istilah-istilah pun diserap begitu saja dan dipercakapkan tanpa peduli silsilah dan padanannya. Bahasa memang kesepakatan bersama karena serapan bahasa asing sudah terjadi sejak manusia mulai bisa berbicara. Tapi kekacauan yang saling meniadakan dari bahasa asal dengan bahasa lokal membuat makna kata dan istilah baru itu kian melenceng. Dari sisi ini, Internet agak mencemaskan.

Bagja Hidayat, Wartawan Tempo

Dimuat majalah Tempo edisi 1 Februari 2016.

Monday, December 21, 2015

BAHASA MEDIA BAHASA KITA






PADA akhirnya bahasa Indonesia adalah himpunan berbagai bahasa daerah, bukan hanya bahasa Melayu yang menjadi akarnya ketika ditetapkan sebagai bahasa persatuan 87 tahun lalu. Jika dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak mempengaruhi bahasa Indonesia. Dari 6.000 lebih bahasa di dunia, jumlah penutur bahasa Jawa menempati urutan ke-11.

Media massa adalah biang utama fusi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Setelah pidato-pidato pejabat tak lagi menguasai ruang publik, media massa mengambil alih peran itu dengan mempengaruhi cara bertutur dan menulis para pengguna bahasa Indonesia. Dengan sifatnya yang populer, para wartawan menulis dengan bahasa yang sedekat mungkin dengan pembacanya.

Akibatnya pula, kosakata bahasa Jawa dan Sunda kian lazim dipakai dalam percakapan dan bahasa tulis populer. Para penulis dan wartawan berupaya mendekatkan istilah dan bahasa asing dengan padanan yang terdengar lebih lokal. Pada 1970-an, para wartawan kesulitan mencari padanan relax, kecuali memakai jurus mudah dengan menyerapnya menjadi "rileks". Adalah Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu, yang memperkenalkan kata "santai" sebagai padanan relax.

Pada 1971, Tempo menurunkan liputan gaya kerja eksekutif perusahaan negara yang tak mesti datang ke kantor untuk mengendalikan perusahaannya. Mereka menetap di Bogor, padahal memimpin perusahaan gula di Medan. Wartawan Tempo melukiskan, "Di antara para direktur-direktur perusahaan negara, direktur pabrik gula yang paling bisa santai relaks."

Menurut Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo waktu itu, "santai" adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, kampung halaman Bur Rasuanto. Ketika itu, ia meminta para penulis mencari padanan kata asing yang populer karena sering diucapkan pejabat dan bintang film. Relax tak terlalu enak diucapkan dan bagi sebagian pembaca Tempo terdengar asing. Maka, demikianlah, relax pelan-pelan menghilang digantikan "santai", apalagi setelah Rhoma Irama membuat dan menyanyikan lagunya enam tahun kemudian.

"Betot" istilah baru di sekitar penemuan kata "santai" pada 1971 yang dipopulerkan Benjamin Sueb, penyanyi Betawi paling tenar. Dalam lagu Main Pandjat-pandjatan, ia menyebut kata itu sebagai variasi "menarik" dengan makna yang lebih spesifik. Benjamin ingin menggambarkan adegan seseorang ditarik lengannya oleh orang lain hingga terjatuh. "Betot" diterima sebagai bahasa lumrah ketika kata itu kian banyak dijumpai dalam cerita-cerita pendek Putu Wijaya, sutradara teater yang juga wartawan Tempo. Tak ada penolakan berarti dari khalayak karena, selain dijumpai di Betawi, kata ini umum di kalangan orang Sunda.

"Cuek" kini juga menjadi lumrah sebagai bahasa pergaulan variasi dari "acuh tak acuh" yang terdengar lebih formal. Tempo pertama kali menuliskannya pada 1987, mengutip penyanyi Henny Purwonegoro di rubrik "Pokok & Tokoh" tentang ketidakpeduliannya dianggap aneh bernyanyi sambil menggendong drum. Kata ini "seangkatan" dengan "ngeceng" sebagai padanan "jual tampang" dan "nongkrong" yang umum dipakai anak-anak muda Jakarta yang hobi "mejeng" di lintas Melawai, Jakarta Selatan.

"Kabar burung" istilah yang lebih tua dari itu. Pencetusnya Oey Kim Tiang, penulis cerita silat 1950-an yang tinggal di Tangerang. "Burung" di sana tak merujuk pada unggas, melainkan sebuah kata Sunda yang berarti "gila", "sumir", atau "tak jadi tumbuh". Maka "kabar burung" adalah gosip, berita yang belum jelas kebenarannya.

Setelah itu, kian banyak kata bahasa Sunda yang menjadi umum dan diterima sebagai lema baru kamus bahasa Indonesia. Kini tak ada yang tak tahu arti "ngabuburit" karena peran televisi yang mengkapitalisasi Ramadan. Ngabuburit berasal dari kata burit yang artinya "sore/petang/senja". Awalan "nga" sama dengan "me" dalam bahasa Indonesia yang berarti "menjadikan". Pengulangan "bu" menjamakkan kata dasarnya dengan merujuk pada kegiatan yang dilakukan secara massal. Maka "ngabuburit" adalah kegiatan bersama-sama ketika menunggu berbuka puasa.

"Mudik" sudah menjadi kata dasar yang dicomot dari kata "udik" yang berasal dari Betawi—barangkali karena Jakarta sebagai ibu kota diidentikkan dengan perantauan. Arti sebenarnya adalah selatan, berlawanan dengan "ilir" (utara) atau "hilir" yang menjadi muara sungai, karena laut adanya di utara Jakarta. Mungkin karena daerah selatan Jakarta dulu adalah perkampungan. "Mengudik" pelan-pelan meluluh menjadi "mudik".

"Jangkung", "buru-buru", "boro-boro", "kabur, "lumrah", "tapak", "baheula", "keukeuh", "tanjakan", "tawuran", "gering", hingga "amburadul", yang sudah dipakai orang Sunda jauh sebelum penyanyi Ruth Sahanaya mempopulerkannya, kini lumrah sebagai bahasa Indonesia. Sebentar lagi "blusukan" mungkin akan masuk kamus karena sudah diterima dan menjadi umum sejak Joko Widodo menjadi tokoh yang paling banyak diberitakan dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012. Setelah menjadi presiden, ia "mematenkan"-nya menjadi e-blusukan, pertemuan virtualnya dengan masyarakat di banyak tempat.
Kolom di Majalah Tempo edisi 7 Desember 2015

Wednesday, December 16, 2015

MENTERI SUSI DAN BAHASA BIROKRASI



Menteri Susi Pudjiastuti memulai bekerja dari pangkal soalnya: bahasa. Ia membuat surat edaran melarang bawahannya di Kementerian Perikanan dan Kelautan memakai “kata-kata bersayap” dalam menyusun program dan anggaran. Kata-kata bersayap, kata jebolan SMA kelas 2 ini, “bikin saya pusing”.

Sesungguhnya bukan hanya Susi yang pusing. Semua orang telah dibuat pusing oleh kata-kata dan gaya bahasa birokrat kita yang sering kali melenceng dari makna sebenarnya. “Harga bensin disesuaikan” kenyataannya dinaikkan. “Pencuri diamankan polisi” seolah-olah masyarakat lebih buas dan suka main hakim sendiri. “Telah menjadi tersangka laki-laki atas nama Pulan” padahal orang itu memang bernama Pulan.

Susi tengah mempertanyakan kemampuan berbahasa kita, yang gemar memakai kata dan bahasa “tinggi” yang ujungnya tak bisa dimengerti. Kita beranggapan berbicara dan menulis secara ruwet akan menunjukkan kepintaran kita. Padahal semakin ruwet ia berbicara, bisa dipastikan semakin tak paham ia dengan masalah yang dibicarakannya. Karena mereka yang memahami materi justru akan sesederhana mungkin menuturkannya karena berharap orang lain bisa mengerti.

Dan lebih celaka lagi, kata-kata tak dimengerti itu membuat kerja tak efektif. Susi menemukan kegiatan yang dikemas memakai kata bersayap makna itu membuat anggaran Kementeriannya terhambur percuma. Setelah menyetip program yang memakai “kata-kata bersayap” di kementeriannya, Susi bisa memangkas Rp 200 miliar tahun depan. Luar biasa.

Dalam birokrasi kita yang rigid, kata-kata bersayap adalah eufimisme, sopan-santun untuk menyembunyikan niat sebenarnya. “Pendampingan nelayan”, yang terjadi adalah pengecatan perahu-perahu. Tentu saja pengecatan adalah proyek. Dan proyek adalah uang. Apa manfaat bagi nelayan? Jelas tak ada karena nelayan lebih memerlukan harga solar yang terjangkau, aturan yang simpel dan jelas, juga harga dan pasar tangkapan mereka yang terjamin.

Di Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama juga mencoret anggaran kegiatan tak penting sampai Rp 2 triliun tahun depan dengan nama yang gagah. Program berjudul “ekstensifikasi sampah” sebenarnya adalah seminar di hotel. Ahok mencoretnya dan meminta anak buahnya pelatihan di kantor saja atau di gedung pemerintah yang gratis

Menteri Susi melaporkan hasil penyetipan itu ke Presiden. Jokowi setuju dan meminta ide Susi itu tak hanya disosialisasikan ke Kementerian lain, tapi “Kementerian lain disusialisasikan”. Ia sendiri meminta tiap kementerian langsung menyebut nama kegiatan yang kongkrit dengan anggaran yang jelas dan birokrat tak gemar menghamburkan anggaran di akhir tahun yang mengakibatkan anggaran sisa jadi melonjak karena sisa anggaran menunjukkan pembangunan tak berjalan.

Kerja politik adalah kerja bahasa karena ia memerlukan manajemen yang efektif. Birokrasi, yang di Indonesia begitu menentukan, adalah gergasi ganas yang siap mengerkah kepalamu yang kosong. Jika birokrasi yang besar itu masih dibebani oleh kata-kata yang tak jelas maksudnya, atau justru menyembunyikan niat jahat di baliknya, ia akan semakin sulit bergerak. Jangan-jangan birokrasi kita melempem pangkal masalahnya karena bahasa yang dipakai adalah bahasa formal yang gagah tapi tak efektif, yang seolah-olah berwibawa padahal kosong makna. Tapi mungkin berlebihan juga berharap birokrasi bisa efektif.

Karena itu ada seorang filsuf Tiongkok yang akan membereskan nama-nama di hari pertama jika ia berkuasa. Tentu ia bercanda, tapi gurau yang menohok karena penting. Kejelasan bahasa itu perlu dan utama sebelum kerja-kerja besar dalam politik. Sebab realita tak terbentuk dari jargon. Apa yang bisa kita pahami dari 9 Nawacita?

Ada satu cerita yang saya dapat dari Amarzan Loebis, redaktur senior Tempo. Konon ini ceritanya nyata, di Jambi. Syahdan, ada pengarahan Bupati di sebuah desa. Bupati ini senang mengutip bahasa Inggris dan menyelipkannya dalam pembicaraan, seperti pejabat pusat yang sering ia saksikan di televisi.

Para kepala desa menyimak dengan takzim, dengan pensil dan buku catatan. Bupati itu mengatakan bahwa “Di zaman sekarang kita harus mengedepankan tujuh poin”. Para kepala desa itu bersiap menuliskan poin-poin tersebut. Namun sampai akhir, Pak Bupati tak menyebutkan satu pun poin-poin tersebut.

Terdorong penasaran, seorang kades memberanikan diri bertanya apa saja tujuh poin yang dimaksud Pak Bupati. Bupati itu kebingungan di tanya begitu. Setelah dijelaskan kalimat mana yang membingungkan, Bupati itu menerangkan bahwa ia bermaksud mengatakan “to the point”.

Bahasa mencerminkan bangsa, konon begitu kata peribahasa. Indonesia masih kusut barangkali karena pemakaian bahasanya kibang-kibut.