Sumber: om-telolet-om.info |
Telolet menyatukan dunia karena Internet begitu merajalela. Di zaman ini orang hanya menyalin-tempel apa yang sedang populer di dunia maya. “Telolet” pun menjadi onomatope (penulisan kata berdasarkan bunyinya) di seluruh dunia, tak hanya di Indonesia. Sebelum ada Internet, jangankan di dunia, di Indonesia saja kita berbeda menamai kokok ayam.
Di Bandung, orang Sunda menyebut “kongkorongok”, sementara orang Jawa “kukuruyuk”, dan orang Prancis “cocorico”. Orang Sunda bahkan punya sembilan jenis onomatope untuk kata “jatuh”: tikusruk, tisoledat, dst. Jika ayam adalah onomatope untuk suara, “tikusruk” dan lain-lain itu onomatope berdasarkan tindakan. Orang Jepang menyebutnya gitaigo, untuk membedakan onomatope giongo.
Barangkali karena sebelum zaman informasi tersebar begitu mudah, orang-orang lokal mencari dan membuat onomatope sendiri berdasarkan bahasa dan budaya mereka, yang mengakibatkan suara ayam yang sama dinamai berbeda.
Kita mengenal banyak jenis ketawa yang dituliskan. Orang Indonesia menuliskannya dengan “hahaha”, belakangan menjadi “wakakaka”, atau “hehehe” untuk tertawa yang tak terlalu “ngakak”. Sementara orang Spanyol menulis tertawa dengan “jajajaja”, orang Brasil “huehuehue”, orang Bulgaria “xaxaxa”. Perbedaan-perbedaan onomatope ini, sekali lagi, dibuat dan muncul jauh sebelum Internet ditemukan dan jadi alat komunikasi antar manusia kini.
Maka “telolet” tak punya perbedaan di manapun. Penulisan bunyi terompet ini sama dengan pengucapannya yang merujuk pada bunyinya. Orang Indonesia dari Sukaraja atau Mulyajaya, bangsa Amerika dari Arizona maupun Iowa, atau orang Rusia punya telinga dengan daya tangkap tonal yang sama dengan bunyi terompet bus ini. Mereka tak menciptakan onomatope sendiri dengan, misalnya, “dorodot-dorodot”.
Internet memudahkan
penyebaran mimikri, tiru-tiruan yang segar dan lucu. Maka ada yang meramalkan
dunia kelak kian seragam karena budaya dan bahasa tersatukan mengikuti bahasa
yang dipakai secara populer. Agaknya, fenomena “telolet” mulai menunjukkan
kebenaran ramalan itu: dunia kian seragam dan bahasa tak lagi arbitrer dari
benda yang diterangkannya.
Fenomena “telolet” sejatinya sudah ada sekitar 25* tahun lalu, ketika ekonomi yang tumbuh mendorong pembangunan infrastruktur sehingga pemilik modal mendirikan perusahaan otobus yang mengakibatkan urbanisasi meningkat. Anak-anak pantai utara Jawa akrab dengan bunyi-bunyian ini.
Fenomena “telolet” sejatinya sudah ada sekitar 25* tahun lalu, ketika ekonomi yang tumbuh mendorong pembangunan infrastruktur sehingga pemilik modal mendirikan perusahaan otobus yang mengakibatkan urbanisasi meningkat. Anak-anak pantai utara Jawa akrab dengan bunyi-bunyian ini.
Untuk menarik penumpang,
para sopir bus—terutama bus-bus dari timur Jawa Barat—memodifikasi klakson
dengan bunyi terompet yang besar. Penumpang senang dan para sopir merasa gagah
bisa memoles bus dengan aneka rupa gambar hingga suara.
Persaingan bunyi klakson di
jalan pun tak terhindarkan. Anak-anak yang senang melihat mobil besar karena
membayangkan menaiki atau kelak menyopirinya, meminta para sopir membunyikan
terompet itu. Para sopir dengan suka cita memenuhinya.
Bunyi telolet pun jadi semacam identitas. Bus ke Pulogadung pukul 15 diketahui sudah mendekat dari bunyi terompet yang dibunyikan sopir dari jarak satu kilometer dari terminal di Kuningan. Nadanya berbeda dengan bus yang akan menuju ke Lebak Bulus atau Kampung Rambutan.
Jika kini bunyi “telolet” itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, Internet yang membantunya hingga sampai di Gedung Putih di Washington, DC. Atau anak-anak muda di New York kian menyebarkannya lagi dengan mengungah video “om, telolet, om...” dengan gembira.
Ada yang menyebut “telolet” mencerminkan kurangnya ruang publik bagi anak-anak di Indonesia sehingga mereka turun ke pinggir jalan atau mengejar bus untuk bersaing dan pamer video di YouTube. Mungkin ini kesimpulan ceroboh. Sebab kini orang-orang tua, remaja hingga orang dewasa, juga merekam bus yang tengah membunyikan terompet besar itu.
Bunyi telolet pun jadi semacam identitas. Bus ke Pulogadung pukul 15 diketahui sudah mendekat dari bunyi terompet yang dibunyikan sopir dari jarak satu kilometer dari terminal di Kuningan. Nadanya berbeda dengan bus yang akan menuju ke Lebak Bulus atau Kampung Rambutan.
Jika kini bunyi “telolet” itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, Internet yang membantunya hingga sampai di Gedung Putih di Washington, DC. Atau anak-anak muda di New York kian menyebarkannya lagi dengan mengungah video “om, telolet, om...” dengan gembira.
Ada yang menyebut “telolet” mencerminkan kurangnya ruang publik bagi anak-anak di Indonesia sehingga mereka turun ke pinggir jalan atau mengejar bus untuk bersaing dan pamer video di YouTube. Mungkin ini kesimpulan ceroboh. Sebab kini orang-orang tua, remaja hingga orang dewasa, juga merekam bus yang tengah membunyikan terompet besar itu.
Barangkali memang bahagia
terbentuk oleh hal-hal sederhana. Telolet yang hanya demikian adanya membuat
dunia bersuka cita. Terutama di media sosial hari-hari ini. Ketika pertikaian yang
membosankan belum kunjung terlihat ekornya, telolet membuat dunia maya kembali
menyenangkan dijelajahi.
* Koreksi dari versi
majalah yang tertulis 20
** Dimuat di rubrik Bahasa! Tempo edisi 2 Januari 2017
** Dimuat di rubrik Bahasa! Tempo edisi 2 Januari 2017
No comments:
Post a Comment