Saya ketemu Sitor Situmorang Rabu malam pada acara pembacaan puisi di Galeri Cemara. Ternyata, ia seorang yang kocak. Itu pertemuan fisik kami yang pertama. Saat break acara pembacaan puisi penyair Indonesia-Prancis itu, saya dekati dia. Saya jabat tangannya dan bertanya kabar. Ia hanya manggut-manggut saja sambil memegang tongkat kayu berukir untuk menyangga tubuhnya saat jalan.
Pertemuan itu tak urung membuat saya gemetar. Saya kelewat ingin memanfaatkan kehadirannya untuk hal-hal yang ingin saya obrolkan, misalnya, soal buku Salju di Paris itu, atau tentang puisi Malam Lebaran yang heboh itu, atau tentang blog ini. Tapi, yang keluar dari mulut saya adalah hal-hal yang tak pernah saya pikirkan. Saya hanya bertanya kegiatan hariannya. "Ya, begini-begini saja," jawab Sitor.
Saya bilang bahwa saya punya website pribadi yang namanya saljudiparis yang diambil dari judul kumpulan cerpen miliknya. "Saya minta izin, Pak," kata saya. Dia tertawa. "Silahkan," katanya, "tapi nanti kau dituntut kantor hak cipta. Kau bisa dituntut sampai bangkrut." Ia terkekeh, saya juga terkekeh. "Saya ini generasi ketinggalan internet," ia menyambung. Obrolan terputus, karena ada seorang penggemar lain yang mengajaknya bicara.
Malam itu Sitor tampil di penghujung acara dengan membaca dua puisi yang relatif baru. Dengan batik hijau dan rambut yang putih, Sitor tampak tua, tapi masih terlihat segar di usianya yang ke-79. Ia maju ke depan mik. Berbasa-basi menjelaskan judul puisi yang akan dibacanya. Tapi, sial, saat ia membaca Tamasya Batu-batu Karang Lembah, mik mati, suara Sitor tak bergema ke ruangan. Ia pun celingukan.
Seseorang kemudian mengambil mik itu. Sitor tersenyum sambil menyentuh-sentuh gagang mik yang sudah kosong, dan penonton tertawa. Pembawa acara mengganti mik dengan wire yang dicantolkan di kancing baju Sitor. Ia diam saja ketika pembawa acara yang tampil modis itu mengaitkan mik. "Teknologi canggih," katanya. Kini ia sudah siap membaca puisi.
Tamasya Batu-batu Karang Lembah adalah puisinya yang dibuat pada 2001, tentang kerinduan pada kampung halaman. Di bawah judul puisinya, si "Anak Hilang" itu menulis: untuk Atun di usia 75. Atun adalah panggilannya untuk penyair Ramadhan KH yang juga tampil membacakan dua puisi menggantikan Joko Pinurbo. Saat Sitor memanggil Atun, penyair Priangan si Jelita itu pun melambaikan tangan. Saya kutip utuh dua syair Sitor itu di sini.
Penonton memberi aplaus yang panjang. Sitor hanya tersenyum sambil duduk kembali di kursinya. Malam itu ia datang ditemani istrinya yang duduk di barisan penonton dengan senyum yang tak pernah lepas. Seorang perempuan Prancis yang setia menemani Sitor di setiap acara seni yang menghadirkan suaminya jadi pembicara.
Acara selesai pada pukul 21.15. Saat bubaran, saya mendekati lagi Sitor. Kali ini saya mengenalkan diri yang tadi sempat lupa menyebut nama. Tak lupa saya minta nomor telepon untuk sewaktu-waktu saya menghubunginya karena urusan kerja. Saya berterima kasih dan menyalaminya, juga menyalami istrinya, dan Ramadhan KH yang berdiri di samping Sitor.
Selain Sitor dan Ramadhan, pembacaan puisi itu juga dihadiri penyair Indonesia lainnya antara lain Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Toety Herati, Eka Budianta, Embun Kenyowati Ekosiwi, dan Dorothea Rosa Herliani. Sedangkan dari Prancis: Christian Doumet, penyair kelahiran 1953 yang juga mengajar Sastra Prancis dan Estetika Musik di Universitas Paris VIII; dan Pascal Riou, penyair kelahiran 1954 yang tinggal di Selatan Prancis dan mengajar sastra dan filsafat.
No comments:
Post a Comment