Wednesday, June 18, 2003
TELPON DARI ISTRI
Saya ditelpon istri malam tadi. Dia mengabarkan kalau sudah mendapat kepastian gaji akan turun minggu-minggu ini. Dia diterima di Balai Konservasi milik Departemen Kehutanan. Baru Mei lalu ia resmi bekerja setelah menunggu turun surat keputusan sejak Desember tahun lalu. Selama dua bulan bekerja itu, ia mengandalkan sisa tabuangan dari kerja terdahulu: sebuah lembaga anti korupsi.
Saya bilang, alhamdulillah. Tapi tidak sampai di situ. Dalam proses yang berbelit mengurus memperoleh gaji itu, ia mengeluhkan kalau harus memberikan terima kasih bagi bendahara kantor karena "telah dibantu mengurus keperluan administrasi". Sebelumnya ia tidak ngeh kalau kata terima kasih itu berupa uang. Setelah diberi tahu seorang teman--yang juga baru diterima bekerja di sana--ia baru tahu kalau harus segera menyiapkan sejumlah uang.
Si teman itu, kata istri saya di ujung telepon, nasibnya lebih parah lagi. Dia sudah bekerja sejak Desember itu dan baru pulang pra-jabatan di Bogor. Seorang petugas yang "mengurus administrasi" meminta uang terima kasih sebesar satu bulan gaji. Keduanya sepakat, gaji rapel si teman istri saya itu, akan dipotong sebesar itu. Tapi, telepon si teman kemudian berdering. Si petugas menawar lebih tinggi: "Bagaimana kalau satu setengah bulan gaji." Si teman tak punya pilihan kecuali menyanggupi, karena jika tak disepakati, gaji rapel tak akan turun sepeser pun. Artinya enam bulan bekerja itu tak ada konpensasi sama sekali.
Istri saya geram mendengar cerita si teman itu. Tapi, dia juga tak berdaya, dan masih pusing memikirkan kelakuan teman-teman kantornya yang baru. Ia menawarkan agar kasus itu dilaporkan saja ke lembaga anti korupsi bekas tempatnya bekerja dulu. "Bagaimana pun itu kan korupsi," ia hampir menjerit. Si teman menolak, karena "tak mau berurusan lebih panjang."
Setadinya istri saya sudah menyiapkan akan membuat saja kue sebagai rasa terima kasih itu. "Bagi saya membuat kue jauh lebih iklas dibanding ngasih duit," katanya. Tapi, itu jenis ucapan yang kelewat naif di sebuah kantor birokrasi. Untuk mengurus administrasi itu, sedikitnya ada lima orang yang harus diberi uang terima kasih. "Gak tahu deh, saya kuat gak kerja di sini," katanya.
Sebetulnya resiko seperti itu sudah terpikirkan sejak masih menimang-timang akan ikut mendaftar tes menjadi pegawai negeri September tahun lalu. Waktu itu, ia optimis, tak akan ikut-ikutan kelakuan-kelakuan seperti itu. Bukankah yang menyogok dan disogok timbangan kesalahannya sama? Kini, ia tak bisa mengelak lepas dari kondisi seperti itu.
Saya sendiri tidak terlalu kaget mendapat kabar seperti itu. Seorang teman yang dulu bekerja di tempat saya kini bekerja, dan kini juga jadi birokrat, bercerita hal yang sama. Bahkan itu lebih gila lagi. Ada sekitar 4.000-an pekerja baru yang akan mendapat rapel. Tapi, untuk mendapat rapel itu, setiap orang harus menyetor Rp 1,5 juta ke petugas sebagai uang terima kasih. Dia tidak tahu berapa orang yang menikmati uang tanpa keringat itu.
Inilah potret sebuah negeri ketika korupsi begitu kasat mata: dilakukan oleh siapa saja, orang yang mengaku rajin salat, mengerti hukum-hukum Tuhan, atau orang yang tak pernah memikirkan bahwa syukur adalah momen hidup yang inti (bukankah para pengemplang uang negara triliunan rupiah itu punya nama harum di setiap daftar pembangunan masjid?).
Setiap tahun APBN disusun untuk menggerakan ekonomi negeri ini. Entah berapa angka pasti kebocoran dari setiap anggaran yang direncanakan itu. Tak ada yang tak bisa dikorupsi dari apa pun di negeri ini. Negara adalah sebuah proyek untuk mengatur seberapa besar bagian yang saya dapat!
Pajak digenjot untuk menutup defisit akibat utang yang menggunung. Tapi, berapa pula duit itu yang tak masuk kas negara untuk digunakan semestinya. Katanya, setiap utang luar negeri 30 persennya raib ditilap birokrat. Tapi, saya cenderung yakin angka 30 persen itulah yang sebenarnya digunakan untuk membiayai dan menggerakan ekonomi. Justru selebihnya itulah yang ditilap.
Di ujung telepon istri saya masih mengaku pusing, betapa malunya besok ia masuk kantor saat memberikan amplop uang terima kasih. Malu kepada diri sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment