Kesalahan itu tidak saja monopoli Jakarta. Di Makassar juga begitu. Keliling empat hari di sana, saya menemukan hampir semua spanduk dari kantor gubernur hingga gang kampung tertulis "Dirgahayu RI ke-58". Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58. Atau mungkin, karena sudah 58 tahun dan 58 kali, saat membuatnya sudah tak berpikir lagi. Pokoknya, ulang tahun kemerdekaan harus dirayakan semeriah mungkin: dengan panjat pinang dan balap karung.
"Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58."
Saya tidak tahu di negara lain, yang struktur bahasannya ajeg, karena itu bahasanya juga berpeluang lebih hidup. Di sini, orang tak peduli slogan tertulis benar atau salah, meskipun slogan memang tak mementingkan benar, karena yang pokok adalah menggugah. Padahal yang menggugah akan diingat dan salah pun menganak cucu.
Sama halnya dengan spanduk polisi yang dipasang di setiap jalan: Damai Itu Nyata Indah. Rupanya dalam struktur kalimat yang aneh ini terselip pesan sponsor. Spanduk-spanduk itu konon disponsori Factory Outlet Nyata. Lepas dari itu, apa yang bisa kita tangkap dari isi spanduk itu? Damai, ya, damai. Kalimat itu sama dengan pernyataan, "Langit itu luas." Siapa yang tak tahu, bukan?
Gerimis di Jakarta merobek spanduk-spanduk di dekat Monas. Orang-orang berteduh di bawahnya. Salah satunya di bawah spanduk lain bertuliskan "Disiplin Lalu Lintas Cermin Disiplin Bangsa" hingga memenuhi jalan yang mengakibatkan macet. Siapa yang peduli bangsa, coba? Karena tak jauh dari situ adalah baliho lain bertuliskan "Basmi jerawat Anda dengan...." Iklan ini menyapa lebih personal, menyentuh persoalan sehari-hari yang bisa dihadapi siapa saja, kapan saja.
Sewaktu SMA, saat ulang tahun emas republik ini, guru kesenian kami memberi tugas menggambar sekolah dengan tema kemerdekaan. Dan guru saya kemudian menilai gambar paling bagus adalah gambar yang penulisan dirgahayunya keliru.
Apa yang teringat ketika ulang tahun kemerdekaan dirayakan? Sebuah semangat? Rasa nasionalisme? Mungkin sesuatu yang sulit dirumuskan. Di bundaran Hotel Indonesia orang-orang berteriak bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Mungkin benar karena setelah 58 tahun merdeka, kita pun masih keliru dan bingung menuliskan dirgahayu republik ini.
Sama halnya dengan spanduk polisi yang dipasang di setiap jalan: Damai Itu Nyata Indah. Rupanya dalam struktur kalimat yang aneh ini terselip pesan sponsor. Spanduk-spanduk itu konon disponsori Factory Outlet Nyata. Lepas dari itu, apa yang bisa kita tangkap dari isi spanduk itu? Damai, ya, damai. Kalimat itu sama dengan pernyataan, "Langit itu luas." Siapa yang tak tahu, bukan?
Gerimis di Jakarta merobek spanduk-spanduk di dekat Monas. Orang-orang berteduh di bawahnya. Salah satunya di bawah spanduk lain bertuliskan "Disiplin Lalu Lintas Cermin Disiplin Bangsa" hingga memenuhi jalan yang mengakibatkan macet. Siapa yang peduli bangsa, coba? Karena tak jauh dari situ adalah baliho lain bertuliskan "Basmi jerawat Anda dengan...." Iklan ini menyapa lebih personal, menyentuh persoalan sehari-hari yang bisa dihadapi siapa saja, kapan saja.
Sewaktu SMA, saat ulang tahun emas republik ini, guru kesenian kami memberi tugas menggambar sekolah dengan tema kemerdekaan. Dan guru saya kemudian menilai gambar paling bagus adalah gambar yang penulisan dirgahayunya keliru.
Apa yang teringat ketika ulang tahun kemerdekaan dirayakan? Sebuah semangat? Rasa nasionalisme? Mungkin sesuatu yang sulit dirumuskan. Di bundaran Hotel Indonesia orang-orang berteriak bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Mungkin benar karena setelah 58 tahun merdeka, kita pun masih keliru dan bingung menuliskan dirgahayu republik ini.
No comments:
Post a Comment