Sunday, August 03, 2003
PENDEKAR
ANTV menayangkan film Pertarungan Iblis Merah malam kemarin. Bintangnya siapa lagi kalau bukan Barry Prima. Tahun 1980-an, Barry Prima selalu bertarung melawan Advent Bangun. Kalau salah satunya jadi jagoan, pasti yang lainnya jadi penjahat. Seingat saya, hanya sekali Barry Prima berperan sebagai penjahat (maksudnya antagonis). Di film ini pun Prima kembali menjadi jagoan sebagai tokoh Markoni, pendekar dari Lembah Arun. Pertama kali saya nonton film ini waktu kelas 2 SD di layar tancap, saat sepupu dikhitan.
Markoni adalah mantan pendekar yang memilih hidup seperti orang biasa yang tinggal di Lembah Arun (tidak jelas ini Arun yang mana). Tokoh kita ini tinggal dengan seorang istri yang tengah hamil 7 bulan. Suatu kali datang seorang tamu tak diundang. Mula-mula tokoh kita ini meyangka yang datang adalah penjahat. Tapi setelah bersitatap, Markoni akhirnya tahu kalau yang datang adalah Minto, kakak seperguruannya dulu. Pertemuan itu pun berubah jadi obrolan kangen-kangenan.
Rupanya Minto datang dengan maksud. Sehari setelah kunjungannya, datang serombongan orang tak dikenal. Kali ini dengan niat jahat. Mereka mengobrak-abrik seisi rumah, lalu memerkosa istri Markoni. Tokoh kita sendiri sedang mengayun kampak membelah kayu di hutan. Rombongan yang dipimpin Donggala itu datang untuk mencari Kitab Pusaka Gembulawi. Istri Markoni akhirnya meninggal dalam pelukan suaminya. Cerita pun mulai dari sini: dendam yang tak berkesudahan.
Markoni berkelana mencari penjahat-penjahat itu, yang gobloknya, meninggalkan jejak: lambang peguruan Bukit Warakas. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Mawi si Pendekar Payung. Mula-mula Markoni menyangka Mawi adalah pelaku yang membunuh istrinya. Keduanya pun bertarung. Tapi, dalam pasrah karena kalah, Mawi menyerahkan emben yang digenggamnya, yang ternyata beda dengan lambang perguruan Donggala. Markoni pun minta maaf dan keduanya berteman.
Mereka mencari Donggala dkk. ke seluruh pelosok. Mawi ternyata juga bernasib sama: istrinya dibunuh dan anaknya diculik oleh orang bernama Raden Arya Geni. Belakangan diketahui kalau Arya Geni tak lain si Minto itu sendiri. Dan dialah yang menyuruh Donggala dkk membunuh keluarga Markoni. Satu per satu musuh-musuh Markoni berhasil dibunuh, hingga Arya Geni sendiri yang mati ditujah patahan tongkat di lubang pantat. Sebagai adik perguruan, Markoni tahu pemilik ilmu Gembulawi hanya bisa mati jika ditusuk duburnya.
Pujian untuk film ini hanyalah teknik beladiri pemain-pemainnya. Di sana memukul dan menendang terasa wajar. Adegan terbang pun hanya sesekali. Hingga akhir film ini yang tersisa hanyalah penuntasan dendam, juga kepandaian ilmu berkelahi. Membunuh di sana adalah hal yang wajar, halal, juga benar.
Berbeda sekali dengan film Tujuh Samurai (1954) yang digarap apik Akira Kurosawa. Di akhir cerita yang tertinggal tidak lagi adegan laga tujuh samurai menghabisi penjahat yang berbulan-bulan merampok petani di desa. Tapi sebuah sejarah sosial Jepang ketika kasta samurai mulai memudar dan mulai munculnya kelas baru petani yang semula dipandang remeh. Kasta samurai pada zaman itu sudah meredup. Mereka mempertahankan hidup dengan tersaruk, rudin, dan berkelana. Para petani yang tak bisa berkelahi menyewa para samurai ini untuk membasmi perompak. Kasta petani itu ternyata tahu bagaimana menabung dan tatacara bayar-membayar.
Perompak habis, dan para petani kembali ke sawah dengan senyum. "Ini kemenangan para petani," seru samurai paling tua saat pemakaman empat samurai yang terbunuh di bukit. Dan Jepang pun memasuki zaman baru dengan munculnya "borjuis" dari kalangan petani. Jual beli sebagai dasar-dasar ekonomi mulai digalakan hingga tumbuh kota-kota. Bukankah di kalangan Marxis sendiri borjuis adalah mereka yang mengendalikan lahan pertanian? Jika kemudian arti borjuis meluruh menjadi sebutan untuk kaum kaya di kota-kota, itu disebabkan kapitalisme sedang marak untuk menghalau rumus-rumus Das Kapital.
Tujuh Samurai pernah diadaptasi menjadi Maginificient Seven (1960) oleh Hollywood. Para koboi dengan dua pistol di pinggang, tak lupa juga kuda dan rompi lusuh, beraksi di lahan-lahan pertanian Meksiko. Tapi Magnificient tak beda dengan Pertarungan Iblis Merah. Di sana yang ada hanya dar-der-dor dan tubuh-tubuh yang rubuh.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment