Thursday, February 24, 2005
GAK PENTING BANGET, GITU LOH...
Kekisruhan Kejaksaan Agung vs DPR makin menunjukan satu soal serius: membaca dan sopan santun kian menjauh. Dan satu hal lain: umur kembali menjadi kanak-kanak tak sampai 60.
Ada Jaksa Agung yang tak terima disebut "ustad berkotbah di kampung maling", ada jaksa yang naik pitam disebut "maling".
Adalah Anhar Nasution, anggota DPR dari Partai Bintang Reformasi, yang melontarkan kiasan itu dalam rapat pekan lalu. Ceritanya, Anhar sedang "berkotbah" mengomentari kerja Kejaksaan Agung menangani kasus-kasus korupsi, dan bla-bla-bla lainnya. "Saya tahu," kata Anhar, "Jaksa Agung kita ini bersih, tapi ...[dst hingga sampai pada kampung maling itu]".
Setiap orang yang sudah bisa membaca, saya kira tahu, itu kalimat kiasan. Sebuah kalimat yang bisa tidak menunjukan arti sebenarnya. Kenapa para jaksa itu bisa sebegitu marahnya? Karena yang bilang begitu anggota DPR (di gedung parlemen, sopan santun bisa disimpan dalam laci)?
Seharusnya, kalau mau adu mulut dalam sidang yang seharusnya berguna, untuk skak-mat, Jaksa Agung ngomong balik, "Saya ngomong di sini juga sudah kotbah di kampung maling..." Dan dia bilang saja, "OK lah, silahkan omong apa saja, kami akan tunjukan berapa banyak koruptor yang diseret ke pengadilan, kami akan uber mereka, termasuk sampean..." Bukan dengan marah.
Dan tanggapan setelah kejadian itu luar biasa. Televisi dan koran membahas dan menggunjingkan kasus ini dalam perbicangan-perbincangan "serius": menganalisis cara berkomunikasi yang baik. Aduh, persoalan tak (dan melupakan hal) substansial ini harus dibahas berjam-jam, dengan narasumber yang pandai akrobat lidah. Gak penting banget, gitu loh....
PS : Dengan begitu tulisan ini juga jadi gak penting banget.
Thursday, February 17, 2005
MEMBACAKAN PUISI
Kenapa sekarang orang ramai-ramai membaca puisi? Di panggung, di plaza, di mall. Untuk mengumpulkan sumbangan buat Aceh orang membaca puisi. Tamara Blezinsky dan selebritas lainnya membaca puisi. Apa yang bisa dinikmati dari puisi yang dibacakan? Atau cerita pendek yang dibacakan.
Pengalaman membaca adalah pengalaman pribadi. Sebuah ekstase yang dinikmati sendiri. Saya merasakan bau pantai ketika membaca Senja di Pelabuhan Kecil. Saya tak mencium bau itu ketika puisi Chairil Anwar itu dibacakan di panggung, meski ada suara angin dan debur ombak yang dihadirkan lewat kaset. Pengalaman saya mencium bau pantai adalah pengalaman pribadi saya, suatu waktu, suatu ketika. Ada cerita, ada suasana, ada kenangan dari "bau" yang saya dapatkan itu, yang, mungkin saja, tak sama dengan orang lain.
Membaca puisi, kalau tidak salah Nietszche pernah merumuskannya, sebagai sebuah stimmung. Kita bisa menikmati sebuah puisi tanpa harus tahu artinya. Kita menangkap dan menikmati sesuatu di balik kata-kata, di belakang puisi itu--sesuatu yang tak tertulis. Karena di sana, penyair sedang menuliskan, menghadirkan, pengalamannya lewat kata. Pengalaman si penyair tentang bau tanah basah belum tentu sama dengan pengalaman yang ditangkap oleh pembacanya.
Tentu saja ini pertanyaan klasik. Dulu pernah ada bahasan yang mengharu-biru soal puisi gelap dan puisi terang, puisi mimbar dan puisi kamar. Mungkin sudah kuno jika pertanyaan itu diungkit lagi. Tapi saya selalu heran kenapa orang baca puisi. Ketika sekolah dulu, saya kerap malu jika ada teman yang karena tugas guru kesenian harus maju ke muka kelas membacakan Aku. Entah kenapa, perasaan merinding karena malu itu masih saja muncul hingga kini, meskipun Sitor Situmorang atau Sapardi Djoko yang membacakannya sendiri di sana. Bukan malu seperti yang dirasakan orang ketika ketahuan kelakuan belangnya, tapi malu karena kegagalan sebuah deklamasi. Saya tak menikmati puisi yang dibacakan.
Saya mencoba menemukan jawabannya. Mungkin karena budaya lisan masih saja berlaku. Tulisan mesti dilisankan agar orang tahu. Keberaksaraan belum menjalar ke tengah komunitas yang ogah membaca. Orang lebih senang mendengarkan cerita ketimbang membaca cerita. Di Polandia, ketika komunisme runtuh orang jadi malas datang ke acara pentas puisi. Mereka beralasan, televisi, radio, dan koran telah menyodorkan kebenaran dengan lebih akurat.
Akan berbeda jika sebuah puisi dinyanyikan, seperti diistilahkan orang dengan "musikalisasi puisi". Di sana kita mendengar dan menyesap tafsir lewat musik. Ah, sudahlah, ini mungkin pikiran iseng saja. Buktinya orang ramai datang ke gedung, ke plaza untuk melihat (mendengar?) orang baca puisi.
Sunday, February 13, 2005
PERTEMUAN
datanglah mimpi
dari anak yang tak tidur pagi hari
sebuah pesawat
cemas mengendap
aku di sana, nak
menatapmu sejenak
mata yang haus
kenangan mengendus
hujan renyai
udara terbuka
kukecup keningmu
menetap
dalam benak
tidurlah
aku akan memasukimu
mengabadikan tawamu itu
dalam mimpi
senja hari
2005
Tuesday, February 08, 2005
MANDI MADU
Ini hari seharusnya libur, tapi saya piket, jadi bisa nyetel MP3 kenceng-kenceng. Di bangku seberang seseorang memutar Mandi Madu--sebuah lagu dangdut Elvi Sukaesih.
Saya sudah tak ingat kapan pertama kali dengar lagu ini. Yang jelas sekitar 1980-an, mungkin awal-awal SD atau bahkan belum sekolah. Waktu itu ada filmnya segala. Yang main Elvi Sukaesih sendiri. Jihan Amir waktu itu jadi anaknya Elvi. Ceritanya soal tema lagu itu: istri setia yang menunggu suaminya kerja ke kota lalu mendapat kabar si suami tergoda perempuan lain setelah sukses. 1980-an banget!
Saya menontonnya di layar tancap di lapangan sepak bola kampung saya. Ketika itu penyuluh kabupaten mau mensosialisasikan pentingnya KB. Film Mandi Madu diputar sebagai selingan--setelah film penyuluhan--untuk menarik orang datang.
Biar klise (lagipula lagu dangdut [dan pop] apa yang temanya tidak klise?) nadanya enak didengar. Menyayat-nyayat, enak buat joged, bukan buat ngebor seperti lagu-lagu dangdut daur ulang sekarang yang seenaknya dipakai buat muter-muter bokong itu.
Tentu saja ini soal selera. Tapi, menurut saya, lagu dangdut jaman dulu lebih bagus dibanding sekarang. Dulu lagu dangdut punya tema, bercerita, dan enak buat joged. Dinyanyikan di panggung enak, didengerin sambil tiduran juga nyaman. Oh, Mandi Madu diciptakan pelawak Darto Helm yang juga mencipta Judi (Rhoma Irama).
Barangkali juga lagu-lagu seperti itu menyimpan kenangan. Saya jadi ingat lagi suasana menonton layar tancap itu ketika mendengar lagu ini. Ah, basah-basah sekujur tubuh....ah...ah..menyentuh kalbuu...
Subscribe to:
Posts (Atom)