Friday, April 15, 2005
JAKARTA KAFE
Jakarta, dalam cerita-cerita ini, adalah ceruk yang tenang tapi gersang, berisik tapi sunyi, gemerlap tapi muram. Jakarta seperti musik jazz: serba ada dan menawarkan segala macam kemungkinan. Paradoks-paradoks itu bisa hadir sendiri-sendiri, tumpang tindih, atau rombongan sekaligus sehingga sulit menyebut apa warna Jakarta sesungguhnya. Sebutlah sesuatu, itulah Jakarta.
Tatyana--ini debut bukunya--menghadirkan Jakarta tak hanya sekadar lanskap. Jakarta hadir lewat perbincangan, keluh kesah, monolog atau lamunan. Karena itu buku ini tak bisa dijadikan panduan untuk jalan-jalan di Sudirman atau menyusuri macetnya jalan-jalan alternatif. Jakarta hanya "terlihat dari depan pintu kafe".
Ada banyak soal yang pasti mendekam di ini kota: salah urus, terlalu besar, dan seterusnya. Tapi percayalah, masuk Jakarta lewat pintu ini akan menjadikan cerita berhenti sebatas sketsa. Bukan kisah yang bisa menghadirkan tokoh yang punya seribu-satu soal namun tak kunjung bisa mereka pahami. Ini seperti menabalkan adagium "kota sebuah lanskap yang asing" dari Raymond Williams.
Asing bahkan dengan diri sendiri. Orang-orang bisa disebut dengan nama apa saja atau bahkan tak bernama. Tapi mereka adalah kita, ada di sekitar kita: perempuan yang sendiri, cinta tak sampai yang membingungkan, jengkel karena macet, cemburu pada istri teman, jatuh cinta pada bapak beranak tiga yang punya istri setia, main mata dengan tetangga.
Kejadian bisa pula terjadi di luar Jakarta, atau manapun. Kerisauan Joshua Karabish atau kesumpekan Ny Elberhart, dalam Orang-orang Blooomington, juga bisa menimpa kita meski mereka tinggal di jauh benua. Geografis tak membuat persoalan dasar manusia jadi berbeda.
Dan kisah yang berkesan, ternyata, tak perlu datang dari gagasan besar, imajinasi aneh-aneh. Kisah-kisah datang lewat email, sandek, sebuah janji, taman yang kotor, metromini yang sumpek. Sepele. Tapi perajin yang baik akan memulas bonggol tak berguna menjadi patung yang dahsyat. Tergantung bagaimana keunikan dibentuk dengan jalinan yang bernas. Jakarta Kafe telah melakukannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment