Friday, April 04, 2008

JAKARTA



Ada juga orang Jepang yang menyalip di antrian masuk subway. Waktu itu, akhir Maret yang masih dingin, stasiun kereta Kyoto sibuk sekali di pagi hari. Orang-orang berlari karena jadwal keberangkatan tak bisa dicegah.

Saya yang membawa dua koper lumayan berat mengantri menunggu kereta ke bandara Osaka datang. Dari belakang, seorang (mungkin) nenek, menerabas barisan ketika pintu kereta terbuka lima menit kemudian.

Ia mendesak punggung saya hingga mepet ke daun pintu dan terjepit dengan penumpang di depan yang belum menjejakkan semua kaki di gerbong. Nenek itu buru-buru mencari kursi di dekat sambungan gerbong, dengan empat teman lainnya--yang semuanya memakai gigi perak. Saya berdiri dekat pintu bertelekan koper-koper.

Saya sudah lupa kelakukan empat nenek riang itu, ketika kaki menginjak lantai bandara Cengkareng. Pintu terbuka, udara gerah Jakarta menyapa. Para penjemput membentangkan nama-nama penumpang yang mereka nanti di pintu lorong pesawat. Astaga. Mereka berlari begitu jemputannya kelihatan: membawakan koper, menyalami, menyapa--itu jauh, jauh sekali, dari pintu imigrasi. Kok bisa? Ini sudah Jakarta--sebuah kota yang penuh deru campur debu.

Menuju meja imigrasi orang berlomba, saling mendahului, ambil posisi. Mengantri koper orang menyalip, tak peduli ada anak kecil kejepit. Mereka mungkin buru-buru, menyesuaikan dengan irama kota yang serba tergesa, entah untuk apa. Mungkin mencari udara terbuka untuk segera bisa merokok.

Dan di kantor pos, lima hari kemudian, orang juga saling menyalip menyodorkan bungkusan dan amplop kepada petugas, yang sibuk dan tak peduli dengan antrian. Seperti seseorang yang mengirimkan foto untuk "Harian Aceh Independen" itu.

Ia datang dengan sebuah amplop lebar, lalu--dengan menerobos lengan saya--melemparkannnya ke timbangan. Saya meliriknya, dan dia pura-pura tak melihat apapun. Petugas itu pun memeriksa berat amplopnya, dan mengesampingkan amplop saya untuk KPP Bandar Lampung itu, yang kecil dan putih itu.

Seharusnya, saya tak jetleg lagi.

No comments: