Turki menyingkirkan Kroasia, dan kita menyaksikan sisi brutal sepakbola. Kroasia yang tinggal merayakan kemenangan terkesima oleh gol Senturk Semih satu detik sebelum pertandingan berakhir. Pemain-pemain Turki yang berbahagia akhirnya bisa lebih lepas mengeksekusi tendangan penalti--kiper Recber Rustu tersenyum sebelum tos-tosan dimulai. Skor 3-1 untuk mereka.
Kita tak menyaksikan brutalitas sepakbola ketika Prancis kalah dari Italia. Pasukan Roberto Donadoni itu hanya beruntung: melawan sepuluh orang tua hanya menghasilkan dua gol dari bola mati. Prancis sejak awal sudah kelihatan lelah, kepayahan, tak percaya diri, tanpa Zinedine Zidane.
Dan Turki mungkin layak juara. Jika Belanda bermain sebagai tim sempurna, Turki adalah tim yang alot. Dua kali mereka membuktikan semangat menang bisa mengatasi segalanya. Mereka tak terpuruk ketika sudah tertinggal 2-0 dari Republik Cek. Mereka tak turun semangat kendati sudah kalah dari Kroasia dan pertandingan tersisa kurang dari satu menit. Barangkali seperti Yunani empat tahun lalu: "negara-bukan-bola" itu ingin membuktikan diri sebagia kuda hitam--bagaimana dulu Yunani yang kalah segalanya bisa melibas Portugal yang bermain tanpa cela.
Piala Eropa kali ini seperti arena "cuci dosa" pemain yang berbuat salah. Bastian Schweinsteiger membayar kartu merah ketika Jerman kalah 1-2 dari Kroasia dengan membobol gawang Portugal dan memberi umpan matang kepada Miroslave Klose dan Michael Ballack untuk membuat gol. Rustu membayar kesalahannya dengan memberi umpan bagus kepada Semih dan menghadang tendang penalti tiga pemain Kroasia.
Sepakbola itu seperti drama, kata Milan Kundera. Sebuah teater dua babak yang mempertontonkan hasrat purba manusia: saling menghadang dan mengalahkan. Sebuah brutalitas yang tak tepermanai. Sejarah sepakbola ternyata tak berubah kendati ada peraturan dan sikap fair play. Sepakbola--sejak dimainkan pertama kali 5.000 tahun lalu--tetap mempertontonkan semangat untuk menang. Dan dalam semangat itu senantiasa selalu ada luka.
No comments:
Post a Comment