Darwin meninggal di usia 30, saat orang lain bergembira merayakan hari kemerdekaan 17 Agutus 2008. Ia mati di ujung bedilnya sendiri. Ia mati dan tak ada yang tahu, kecuali tetangganya di kampung nun di bawah Gunung Ciremai. Darwin mati kehabisan darah akibat luka tembak di pahanya. Ia mati di rumah sakit, bukan di gawir itu, karena ini zaman telekomunikasi: ke hutan pun orang bawa ponsel.
Ia pamit dari rumahnya dengan menenteng senapan angin. Mau berburu celeng, katanya. Huma orang kampung itu memang habis dijarah babi di museum kemarau begini, ketika bukit gundul, ketika mata air di hutan-hutan kering. Babi yang lapar turun ke huma mencari makan. Darwin akan berburu babi. Ia tak menggubris omelan istrinya yang setengah melarang karena hari itu tak ada orang pergi ke hutan. Semua orang ramai-ramai ke balai desa: menonton panjat pinang, balap karung, makan krupuk, tarik tambang...
Darwin pergi ke hutan dan ia mati di sana. Tubuhnya ditemukan warga desa terperosok di tebing. Orang pun lalu berteori: Darwin terjerembab ketika matanya hanya fokus ke seekor babi. Kakinya, meski punya mata, tak awas ada lubang di depannya. Ia pun terjerembab, jarinya menarik pelatuk, dan peluru menembus pahanya yang gempal.
Sebelum Izrail mencabut nyawanya, Darwin menelepon ke ponsel istrinya. Saya tertembak, saya tertembak. Tolong.. tolong.. tolong.
Saya terkejut mendengar berita ini, ketika menelepon Ibu di sela bertanya kabar dan situasi terakhir di kampung. Darwin teman sekolah dasar. Ia berhenti sekolah saat kelas lima. Ia lalu menggembala kerbau seperti umumnya anak desa lain yang berhenti sekolah atau setelah lulus SD. Orang desa menganggap sekolah hanya buang waktu. Sebab mereka berpikir masa depan ada di hutan-hutan itu, di huma, kebun, sawah, dan bukit-bukit. Mencangkul tak perlu hapal a-b-c.
Darwin berhenti sekolah, lalu remaja, lalu kawin. Beranak pinak dengan pundak yang kapalan karena setiap hari memanggul kayu. Kami tak pernah lagi saling menyapa sebagai teman: ia berbicara memakai Sunda halus dengan saya meski saya menimpalinya dengan Sunda kasar hanya agar ia kembali menjadi teman.
Darwin berhenti sekolah dan agaknya ia tak menyesal. Sekolah sampai kelas lima SD membuat ia bisa membaca dan berhitung: dua ilmu yang sangat cukup untuk tinggal di kampung sebagai petani. Darwin meninggal di usia 30 dengan tiga anak yang masih kecil dan agaknya disiapkan kembali menjadi petani, meneruskan hidupnya yang tanpa gelombang.
No comments:
Post a Comment