Dalam novel Bilangan Fu, Ayu Utami tak lagi menghadirkan kata-kata yang bercahaya. Dalam Saman dan Larung, meminjam pujian Ignas Kleden, kata-kata bercahaya seperti kristal--meskipun cahaya itu memancar di bagian-bagian awal saja. Pada Bilangan, kata-kata itu redup. Tapi keredupannya membuat kita--setidaknya saya--masih bisa menikmati. Pada yang bercahaya kita mengagumi.
Menikmati dan menganggumi tentu saja beda. Pada yang pertama kita bisa mengikuti; pada yang kedua, kita bisa mengikuti sekaligus terpukau. Sebab dalam yang bercahaya itu ada yang liris sehingga prosa terlihat tegak, ajeg, dalam sekaligus. Pada yang liris, prosa juga sekaligus puisi.
Barangkali karena Bilangan Fu lebih mementingkan cerita dan kritik. Dan, kita tahu, kritik tak bisa langsung didengar melalui puisi. Ia harus prosa, mungkin lebih mendekati kalimat-kalimat jurnalistik: langsung, tegas, jelas. Karena setiap kritik menyimpan amarah. Puisi yang menyajikan amarah bukan puisi, melainkan pamflet kalau bukan sekadar jargon poster.
Kata-kata, kalimat, adonan metafora, itu redup. Ayu, seperti biasa, bergenit-genit dengan metafora vagina. Kali ini hewan ubur-ubur, bukan bunga karnivora seperti dalam Saman atau Larung. Agak panjang omong soal ubur-ubur dan moluska. Untunglah, ia mengerem adegan-adegan perzinahan. Sepanjang 536 halaman, hanya ada tiga adegan seks.
Yang tak terperi barangkali soal kesalahan dan kelatahan berbahasa. Misalnya, penyalahgunaan kata "untuk" dan "secara". "Aku memutuskan untuk berdiam," contohnya. Ini tak sekali-dua. Ada beberapa. Mungkin lima, mungkin sepuluh. Barangkali karena kali ini Ayu terlalu pede hingga tak memerlukan seorang editor. Gaya bahasanya kali ini mirip dengan kolom-kolomnya di Seputar Indonesia.
Kelatahan barangkali memang bisa menular. Pemakaian "untuk" yang mubazir itu juga telah lama menjangkiti para penulis lain, apatah lagi para wartawan. Saya menyebutnya "refleksologi untuk", sekadar mencontek "synonimising reflex" dari Milan Kundera. Ah, ya, sila buka halaman 41. "Coba, berapa panjang perkawinan bisa langgeng, SECARA mimi dan mintuno di zaman ini dijual sebagai obat kuat untuk melanggenggkan perkawinan." Semoga, Ayu hanya sedang menyidir para abege berceloteh memakai "secara", produk (atau korban?) modernisme itu.
Juga perbedaan nama beberapa cerita lisan. Soal Sang Kuriang, misalnya. Ayu menyebut sungai yang dibendung untuk bulan madu dengan Dayang Sumbi itu adalah Citarum Purba. Ini nama asing bagi orang Sunda. Sebab, danau buatan yang kini bertengger gunung Tangkuban Parahu adalah Sanghiang Tikoro. Atau Ciung Wanara, bapak moyang raja-raja Pasundan. Ayu menyebutnya Siung.
Ayu menyebut novel ini punya semangat "spiritualisme kritis". Ada tiga yang ia kritik: monoteisme, militerisme, dan modernisme. Tiga hal ini, katanya, tantangan atau musuh paling penting zaman ini. Dan kita membaca kritik itu, sejak dari bab dan subbab. Agaknya Ayu Utami kesulitan memasukkan kritik itu dalam laju cerita. Ia menyelipkan kritik itu panjang lebar seraya sedikit lupa alur cerita, atau melalui opini Parang Jati lewat catatan harian dan kolomnya di koran.
Sehingga cerita dan kritik itu bisa dipisah-pisahkan. Saya sendiri suka ceritanya. Terutama soal-soal mistik dan kebatinan, tuyul, cerita pemanjatan. Cerita mistik-gelapnya mengingatkan pada Tahar Ben Jelloun. Ayu Utami seorang pendongeng yang jempolan. Ia menyiapkan faset-faset cerita. Dan novel yang bagus adalah novel yang ceritanya tidak tunggal. Ia membawa kita mengikuti alur kisahnya, menyembunyikan suspens, membuatnya jadi teka-teki (bukan misteri; karena pada teka-teki jawaban adalah tujuan, sementara misteri jawaban itu tertunda), sehingga kita hanyut.
Di sela-sela itu kritik muncul. Hhhh, agak mengganggu juga sebetulnya, selain gangguan lain yang datang dari pengulangan beberapa keterangan (misalnya, orang Jawa mengganggap hari berganti saat malam hari). Tapi ini pendapat pembaca yang suka cerita, bukan kritik.
Bukan karena kritik itu tidak relevan. Kritik itu sangat relevan: kekerasan atas nama agama, kesalehan imitasi, kekacauan akibat operasi intelijen, dan modernitas yang memuja materi, adalah hal-hal yang kita jumpai hari-hari ini. Kritik itu mengganggu karena menunda kisah seru, dan terlalu umum. Kita sudah tahu dan sering mendengar kritik itu dalam kolom-kolom, buku-buku yang memang ditulis untuk tujuan itu.
Jika monoteisme itu berhubungan dengan bilangan fu, mungkin itu semacam utak-atik gathuk. Bilangan fu adalah bilangan tak berwujud yang dihasilkan dari rumus 1: fu = 1 x fu = 1 dan fu bukan 1. Rumus ini disemburkan Sebul, mahluk manusia-srigala-jantan-betina yang hadir dalam mimpi Yuda, tokoh utama cerita ini.
Yuda adalah mahasiswa entah universitas mana yang terobsesi menaklukan tebing Watugunung, di sekitar Cilacap. Umurnya 23 tahun dalam novel yang berlatar tahun 2001ini. Ia punya pacar Marja entah usia berapa yang riang dan ringan hati dengan gairah seks menggebu-gebu. Keduanya tinggal di Bandung. Yuda sudah lama meninggalkan kampus untuk mengejar obsesinya itu. Ia ketemu Parang Jati, mahasiswa geologi ITB saat akan membeli peralatan memanjat di rumah pemanjat yang pensiun karena kawin dan beranakpinak.
Yuda punya fantasi aneh: melihat Marja dan Jati bersenggama. Asem! Yuda, teman-temannya sering memplesetkan menjadi Yudas, sang pengkhianat dalam sejarah Katolik. Berkhianat kepada siapa Yuda? Peresensi yang baik, kata orang, tidak menjadi spoiler. Jadi kali ini saya tunduk pada konsensus tak tertulis ini. Dan nama-nama lain diambil dari sejarah Kristen itu. Nama Pontiman Sutalip, kepala desa Sewugunung, tak lain kebalikan Pilatus, gubernur Roma yang menghukum salib Yesus Kristus. Marja mungkin dari Maria.
Jati lebih tua tiga tahun dari Yuda. Konon, ia lahir 21 Juni 1975, atau 19 tahun sebelum Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Ia orang Sewugunung, sebuah desa di kaki Watugunung. Karena itu ia hapal betul tebing-tebingnya, folklor yang menyertainya, mistik di dalamnya. Ia anak angkat Suhubudi, seorang tokoh di desa itu yang punya padepokan berhektar-hektar dan tertutup bagi tamu tak diundang. Suhubudi guru kebatinan yang dihormati bahkan oleh pejabat di Jakarta. Jati tak jelas anak siapa karena ia ditemukan seorang jurukunci mataair ke-13 saat masih merah-ari-ari. Mata air ke-13 itu dinamai hu. Hu atau fu?
Ajaibnya, Jati punya jari 12. Jari keenam di setiap tangannya antara jari kelingking dan jari manis. Namanya jari hu. Hu atau fu? Karena itu ia sempurna sebagai pemanjat. Sebab lima jari tak cukup bagi para penakluk gawir. Dia punya adik. Kupukupu namanya. Ia juga ditemukan di sendang itu. Umurnya 3 tahun lebih muda. Ia dititipkan pada seorang penyadap nira yang miskin. Dua-duanya cakep: hidung bangir, kulit putih. Saya bayangkan seperti Bertrand Antolin, hehehe.
Tapi keduanya berbeda. Suhubudi yang menguasai tujuh bahasa asing tujuh bahasa kuno, menjejali anak angkatnya itu dengan bacaan khasanah dunia sejak mula. Jati kenyang, cukup main, cukup listrik. Kupukupu harus membaca dengan cempor dan hidup dengan orang buta huruf. Tapi dua-duanya bintang sekolah desa (mereka berdebat soal Islam dan nilai-nilai kebatinan).
Jati kelak mewakili suara orang "liberal". Ia antimiliterisme. Ia tak suka agama formal karena agama-agama yang konon mengajarkan kebajikan ternyata tak bisa menyelamatkan gawir Sewugunung dan hutan-hutannya yang akan dibabat oleh perusahaan batu. Ia cocok dengan Yuda yang selalu skeptis. Jati memandang upacara sesajen di bawah pohon perlu diteruskan karena dengan begitu manusia menjaga dan menghormati alam. Ironisnya, Jati mati oleh sesuatu yang ia benci: tentara.
Kupukupu prototif orang "fundamentalis": berjubah Diponegoro dan bersepatu samurai Jepang. Ia fasih mengutip ayat Quran dan hadits untuk menghardik cara-cara musyrik dan berhala. Agaknya Ayu setuju bahwa kemiskinan mendorong orang jadi ekstrim dan menegakkan keyakinan agama dengan pedang. Kupukupu yang berganti nama menjadi Farisi, sepulang belajar teknik nuklir dari Jerman dan Jepang karena mendapat beasiswa dari BPPT, menganggap sesajen dan kepercayaan kepada Nyi Roro Kidul sebagai syirik, dosa paling besar tak berampun.
Dua kakak adik (mereka tak saling tahu) itupun bentrok. Lewat bentrokan inilah Ayu menyelipkan kritik terhadap monoteisme. Agama-agama langit itu (Kristen, Yahudi, Islam) cenderung menolak tafsir tentang Tuhan, tak toleran. Monoteisme merasionalkan angka nol dengan menganggap Tuhan hanya satu. Padahal, sebelum Musa menerima Taurat, Tuhan tak menyebut dirinya "Aku". Sejak itu angka nol, makna sunya itu, menemukan bentuk dan definisinya. Ia jadi realis tinimbang metaforis. Bilangan fu pun menjadi misterius.
UPDATE:
No comments:
Post a Comment