Tuesday, November 15, 2011

ANAK-ANAK

ANAK-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan meniupkan rabu pada setiap janin sebagai sebuah pesan bahwa Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pelbagai pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Apalagi ini abad 21, sebuah masa yang rumit dan tak terduga--masa depan tak cukup hanya direncanakan.

Tapi Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan melencengkannya jadi orang suci. Tak heran jika istrinya menolak cara-cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang juhud sebelum waktunya.

Pilihan, harapan, kebutuhan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik cendikia menelurkan pepatah hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil sebetulnya kalimat ini. Sebab mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat. Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

Ia cemas Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh akhirnya ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu-bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba-coba, sayap itu jadi juga.

Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa dengan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu ke mana jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

Dan di titik itulah konflik seringkali dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh--dan memakai kacamata--Daedalus, para orangtua.

Karena itu sejarah seringkali berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabnya mungkin muncul dari anak-anak: mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.

Thursday, November 10, 2011

PERANG BUBAT

Gambar dari www.dreamfield.pl
SENTIMEN orang Sunda kepada orang Jawa ternyata lahir di tahun 1928, bukan tumbuh dari abad 14 setelah Prabu Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka dibunuh anak buah Gajah Mada dalam perang di lapangan Bubat, utara Trowulan, ibukota Majapahit.

Sentimen itu lahir setelah C.C Berg--seorang filologis Belanda--menerbitkan disertasi yang membahas Kidung Sundayana. Ini puisi yang ditulis seorang penyair Bali memakai bahasa Bali. Penulisnya menceritakan perang Bubat dengan rasa simpati untuk Raja Sunda itu. Penulis kidung ini adalah seorang yang diminta Hayam Wuruk untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Pitaloka.

Para sarjana Indonesia ketika itu menyambut buku Berg dengan rasa curiga. Mereka menuding Berg hendak menghancurkan Sumpah Pemuda--seperti politik pecah belah Snouck Hurgronje di Aceh--yang baru dirintis. Sebab, buku Berg menyadarkan orang Sunda bahwa kejadian di Bubat adalah peristiwa memilukan sekaligus memalukan: bagaimana seorang raja yang dengan niat baik akan menjodohkan putrinya kepada Raja Majapahit justru ditolak dan dibunuh.

Bagi orang Sunda, Gajah Mada adalah penyebab segala rusuh itu. Dia dituduh hanya berambisi mewujudkan sumpah Palapa menyatukan kerajaan di Nusantara di bawah Majapahit. Tinggal Sunda yang belum takluk ketika itu. Meminang putri raja adalah cara elegan yang tak makan ongkos banyak. Di Bubat, Mada membelokkan niat pernikahan itu dengan persembahan. Pitaloka akan dijadikan sesembahan sebagai tanda Sunda telah takluk kepada Majapahit.

Tapi Agus Aris Munandar punya tesis lain soal niat di balik peristiwa itu. Ia arkeolog Universitas Indonesia yang bersemangat, berbapak Sunda beribu Jawa. Tadi siang ia datang ke kantor karena kami undang untuk berbagi ilmu soal kisah-kisah Panji dan sejarah Majapahit yang menjadi objek studinya bertahun-tahun. Menurut dia, Gajah Mada tak bisa disalahkan dalam pertumpahan darah pada suatu malam di tahun 1357 itu.

Syahdan, menurut Carita Parahyangan yang terbit 200 tahun setelah perang Bubat, Hayam Wuruk kepincut kencatikkan Pitaloka setelah melihat sebuah lukisan yang beredar di Majapahit. Ia pun mengutus pembantunya meminang putri Sunda itu. Linggabuana setuju mengawinkan anaknya dengan penguasa Jawa itu. Dan berangkatlah rombongan kerajaan mengantarkan calon pengantin perempuan dengan kapal.

Pada zaman itu, menurut Carita Parahyangan, berkembang adat matrilineal: orang tua perempuanlah yang melamar calon-calon menantunya. Tapi adat itu kini diplesetkan menjadi sebuah ejekan bahwa perempuan Sunda matrialistis: lihatlah, rajanya saja menyodor-nyodorkan anaknya untuk dikawin Raja Besar. Seorang teman batal kawin dengan orang Sunda karena ibunya termakan mitos gak karu-karuan ini. Matrilineal kemudian memang padam setelah perang Bubat, tapi terutama karena masuknya Islam ke tatar Sunda.

Gajah Mada, seperti terekam dalam Pararaton, rupanya tak tahu perjodohan tingkat tinggi antara Raden Cakradhara-Tribuwana Wijayottunggadewi dengan adik dan ipar mereka yang menjadi Raja Kediri, Wijayarajasa-Rajadewi Maharajasa. Orang-orang tua ini mendapat bisikan Dewata bahwa kelak mereka akan punya anak laki-laki dan perempuan. Dan mereka harus menjodohkan anak-anak yang belum jadi benih ini jika tiba waktunya nanti. Tribuwana kemudian mengandung Hayam Wuruk dan Rajadewi melahirkan Indudewi atau Dewi Sekartaji.

Perjodohan diam-diam ini tentu saja terusik oleh kedatangan Pitaloka. Panji Angreni Palembang merekam ketegangan di hari-hari terakhir hidup Linggabuana. Sesungguhnya Raden Cakra memerintahkan Gajah Mada untuk memberi pilihan kepada Linggabuana: menyerahkan putrinya sebagai sesembahan atau pulang tanpa ada perkawinan. Bagi Raden Cakra dinasti Majapahit akan terputus jika perkawinan itu terlaksana karena Pitaloka akan menjadi permaisuri sementara Indudewi hanya selir.

Linggabuana tak memilih salah satu tawaran itu. Ia ngotot menikahkan anaknya kepada Hayam Wuruk dengan cara pengantin prialah yang menjemput pengantin perempuan di Bubat dan Pitaloka menjadi permaisuri. Negosiasi buntu dan Raja Cakra habis kesabaran. Seperti ditulis Poerbatjaraka dalamCerita Pandji dalam Perbandingan (1968) Cakra sendiri yang memerintahkan Brajanata (Gajah Mada) membunuh Angreni (Pitaloka) jika Panji (Wuruk) tak bersamanya lagi.

Dan Gajah Mada menghadap putri Sunda itu dengan menangis. "Aku dapat perintah membunuh tuan," katanya. "Sebab jika tuan hidup, selamanya Panji tak akan mau kawin dengan putri Kadiri." Hari itu, Panji--yang tak tahu ada ketegangan di Bubat--dipanggil ke Pucangan oleh Rajadewi dan segera akan dikawinkan. Gajah Mada mencoba menghibur dengan menawarkan strategi menyembunyikan Pitaloka lalu menyelundupkannya ke Kediri agar bisa ketemu Hayam Wuruk. Nasi sudah jadi bubur, Hayam Wuruk tak lagi bisa bersamanya karena sudah menikahi Indudewi, sepupunya sendiri.

Dengan elegen, setelah air matanya habis, Pitaloka menyilakan Gajah Mada menyudahi hidupnya. Kebotendas yang disuruh menjadi algojo menghujamkan keris ke ulu hati putri malang ini....

Setelah itu, setelah itu, konon muncul larangan para bujangan Sunda tak mengawini orang Timur, esti larangan ti kaluaran.... Larangan yang, menurut Agus, sebenarnya lahir pada 1930-an. Anda punya tesis lain?

3 Juni 2010

Tuesday, November 08, 2011

DAGING

DI hari kematiannya Bhisma memanggil seluruh cucu: keluarga Kurawa dan Pandawa. Dua trah ini sedang bertempur di medan Kurusetra. Dan Bhisma sedang meregang nyawa dihajar ribuan anak panah yang dilesatkan ksatria ramping dengan teknik memanah dan berkuda setara Arjuna. Bhisma tahu ksatria itu adalah Dewi Srikandhi. Bhisma merasa itulah balasan yang setimpal ia dapatkan karena ia telah merenggut kebahagiaan Dewi Amba.

Kekalahan Bhisma, yang memimpin pasukan Kurawa, adalah pucak perselisihan keluarga satu nenek moyang dalam epik Mahabharata yang membingungkan. Perang terhenti dan Bhisma berbicara panjang lebar dengan tubuh mengambang disangga ribuan anak panah. Ia lalu mengutip satu seloka tentang Raja Usinara.

Usinara adalah orang suci yang hidup di sekitar Punjab. Suatu kali, ketika sedang duduk-duduk di puri, ke pangkuannya jatuh seekor merpati yang ketakutan. Punggungnya mengucurkan darah. “Tolonglah hamba, Tuanku. Tolonglah.” Di belakang merpati itu memburu seekor rajawali. Matanya nanar memandang ke arah Raja. “Kembalikan milikku,” kata Rajawali. “Luka di punggungnya itu tanda ia milikku.”

Raja kadung jatuh iba kepada merpati. Ia pun berkata, “Jangan kau ambil merpati yang luka ini. Aku akan ganti merpati ini dengan daging apapun yang kauminta.”

“Daging apapun?”

“Ya. Apapun.”

“Kalau begitu aku ingin dagingmu.”

Raja terenyak mendengar permintaan itu. Tapi penguasa Punjab yang lembut itu tak hendak ingkar janji. Ia setuju memberikan daging di tubuhnya sesuai berat tubuh merpati. Dua abdinya ia suruh mengambil timbangan dan pisau. Burung yang kehabisan darah itu ditimbang dan sebilah pisau mengerat paha sang raja. Tapi, tiap kali Rajawali itu habis menelan kerat daging terakhir, ia menuduh Raja telah bohong dengan memanipulasi timbangan.

Merpati itu ditimbang lagi. Dan tubuh itu kian berat, kian berat. Setiap pertambahan itu membuat raja harus mengerat sendiri daging di tubuhnya. Mula-mula kaki, lalu tangan, perut, dada, hingga akhirnya raja itu roboh. Pramesuri yang cemas meminta suaminya menghentikan laku absurd itu. “Adinda, seorang prabu pantang ingkar janji,” kata Usinara. “Dan aku akan mati karena membela keadilan, membela mahluk lemah.”

Kisah dalam komik R.A Kosasih, Pandawa Seda, ini kemudian berakhir happy ending. Rajawali itu ternyata Dewa yang turun ke bumi hendak menguji keteguhan Sang Raja. Tapi bukan soal Dewa itu cerita ini menjadi penting hingga Bhisma menceritakan kembali sebelum menemui ajalnya. Bhisma mengingatkan bahwa harga seorang pemimpin terletak pada keteguhan pada janji dan berbuat adil sudah sejak dalam pikiran.

Usinara adalah contoh bagaimana ketulusan berkorban tak hanya diucapkan dengan kata-kata. Demi berbuat adil dan teguh pada janji itu ia mengorbankan dirinya sendiri untuk sesuatu yang tak berharga. Namun juga bukan nilai merpati itu soalnya. Ia seorang raja yang dimintakan perlindungan oleh seekor merpati yang sedang sekarat diburu maut. Raja tak boleh mengabaikan mahluk yang butuh pertolongan.

Para pemimpin harus membaca kembali kisah Usinara. Bhisma mengingatkan soal itu. Kita tak tahu siapa yang bersalah dalam perang selama 15 tahun di Kurusetra itu. Karena itu ia menggingatkannya lagi. Bhisma sendiri seorang resi yang berkorban untuk kelangsungan hidup kerajaan Kuru. Jika saja ia menghalangi niat ayahnya, Raja Sentanu, yang ingin menikah lagi, perang saudara yang kejam itu tak akan terjadi.

Tapi ia izinkan ayahnya menikah lagi seraya berjanji tak akan menikah seumur hidup. Bhisma merelakan putra mahkota jatuh ke tangan adik tirinya, Wicitrawirya. Ia sendiri yang mencarikan istri untuk calon raja itu, dalam sebuah sayembara di Kerajaan Kasi. Bhisma memenangi pertarungan antar ksatria dan memboyong tiga putri untuk dipilih adiknya: Amba, Ambika, Ambalika. Amba menolak karena sudah punya kekasih yang ia cintai sungguh. Bhisma memaksa.

Setelah berdebat, Bhisma setuju mengembalikan Amba kepada kekasihnya. Tapi Pangeran Salya menolak karena malu telah kalah tarung dan menganggap Amba tak suci lagi. Putri ini pun masuk hutan dan menjadi pertapa sebagai orang yang sedih seumur hidupnya. Bhisma kemudian meratapi kengototannya itu.

Wicitrawirya memilih Ambalika, tapi ia juga terlibat percintaan gelap dengan Ambika. Dari dua putri ini trah Pandawa dan Kurawa lahir. Selamanya mereka berebut kerajaan dan Mahabharata menjadi epik yang tak selesai-selesai. Dalam kisah-kisah agung tentang pengorbanan itu terselip cerita Usinara yang dikutip Bhisma. Dan kita tahu pemimpin dengan kualitas seperti apa dia: Usinara mau berkorban untuk melindungi yang lemah.

Ia tak mempertahankan pendapatnya soal tuduhan bohong dari Rajawali dengan timbangan tubuh merpati. Ia berada dalam pilihan sulit. Satu-satunya jalan yang ia pilih adalah memenuhi janji, alih-alih bertahan dengan berusaha membuktikan tak bohong soal berat merpati itu. Bagi dia, janji adalah mahkota dan harga diri seorang manusia.

Usinara juga tak memilih keputusan praktis. Misalnya, membunuh saja Rajawali itu lalu menggoreng merpati untuk bebas dari janji mengerikan. Toh, dengan kekuasaannya ia bisa berbuat begitu. Ia memilih tak melakukannya. Dan ia lulus dari ujian itu.

Monday, November 07, 2011

TAK ADA SANTO DARI SIRKUS

NOVEL ini seperti surat untuk siapa saja, ke arah siapa saja. Sepanjang halaman, ia terus menyapa: Kawan, jika kau ada di sampingku kau juga akan tahu bahwa orang-orang ini...
Seno Joko Suyono--teman kantor yang duahsyat, penulis budaya dan seni jempolan--seperti menulis surat untuk menceritakan seorang guru peniup klarinet yang jadi relawan pemindahan penduduk sebuah kota tua, entah di sudut Eropa Timur sebelah mana. Mungkin sebuah kampung di Rusia karena saljunya bikin hipotermia.
Syahdan, kota pelintasan Santo Paulus dari Tarsius ini akan dijadikan waduk raksasa.

Proses pemindahan penduduk itu menjadi fokus novel ini. Para relawan dari seluruh dunia datang ke sana. Berbekal uang proyek yang tengah digarap pacarnya, peniup klarinet dari Indonesia ini nekat datang tanpa tahu detail kota ini dan watak penduduknya. Ia terkaget-kaget bahwa penduduk sini selalu curiga pada orang asing. Ia terkedut-kedut pada pelbagai peristiwa tak terduga dan aneh-aneh, untuk ukuran seorang guru 50 tahun yang peragu dan lembek ini.

Terasa betul Seno mengerahkan segenap kemampuannya untuk membuat kisah yang tak biasa: orang-orang jompo dalam perjamuan massal, pembantaian sekelompok pemain sirkus, para relawan dan penduduk yang misterius. Dan di tengah itu semua Seno menyajikan hal ihwal yang hadir dari luar pengetahuan manusia.

Mungkin dia ngibul soal mandi pipis unta, atau sedang berkelakar soal sajian daging segar yang dicolek garam untuk para tamu. Yang pasti ngibulnya meyakinkan. Kita terpaksa percaya bahwa tradisi itu memang ada, adegan-adegan gila itu memang terjadi.

Juga kefasihannya mengurai dan menyusun sejarah para santo dalam tradisi Katolik. Seno seperti hapal luar kepala semua tradisi itu lengkap dengan konteks dan latar belakangnya. Ia mengadon semua itu dengan kenangan erotis yang ganjil si peniup klarinet bersama Nin, pacar gelapnya, di Indonesia. Semua adonan itu mengalir, meluberi imajinasi kita, yang tak siap dengan segala jenis pengetahuan antah berantah itu.

Seno Joko Suyono mencegat taksi di Cikini, Jakarta, 2011.
Karena seperti surat, Seno menulis novel 397 halaman ini sekali jadi. Dia mengaku hanya sebulan menuliskannya. Ia tak menengok apa yang sudah ditulisnya di halaman sebelumnya. Akibatnya memang tulisan khas Seno Joko Suyono: jorok dan tak mengindahkan tata bahasa. Pelbagai tanda baca berserakan tak pada tempatnya, susunan kalimat yang tak baku, diksi baru yang tak diperiksa ulang maknanya, dan beberapa tautan cerita yang tak solid.

Seno memang tak peduli kemasan. Ia penulis yang mementingkan isi. Akibatnya, meski cerita Tak Ada Santo dari Sirkus ini luar biasa duahsyat, saya puegel bacanya.