Showing posts with label anak. Show all posts
Showing posts with label anak. Show all posts

Sunday, November 16, 2014

TAKUT HANTU

Tuhan, mengapa kita bisa bahagia?
~ Goenawan Mohamad dalam Dingin Tak Tercatat

Dan, Tuhan, mengapa kita bisa takut? Pada apa yang belum kita temui, pada yang belum kita lihat. Mengapa takut selalu datang lebih dulu, tak seperti bahagia yang selalu datang belakangan dari pengalaman.


Saya punya anak, yang sejak bisa membaca, gemar sekali melahap novel-novel tentang hantu. Buku koleksinya, antara lain, Jakarta Penuh Hantu 1, 2, 3, 4. Nightmare 1, 2, Midnight Story, Ghost Stories... Ia bisa dengan suka cita menceritakan kisah-kisah itu kepada temannya lalu mereka histeris rame-rame.

Dan itulah masalahnya. Anak saya ketakutan sendiri ketika membaca, atau tak berani tidur sendiri (karena itu sering diledek adiknya yang belum sekolah), gamang jika melintas jalan gelap... Saya tidak tahu kapan ia mulai takut pada hantu.

Sebelum ia sekolah, lima tahun lalu, ia belajar mengaji setiap lepas magrib. Suatu ketika listrik satu perumahan mati, jadi jalan gelap, ia dan teman-temannya pulang dari rumah guru ngajinya tanpa ketakutan, kecuali satu orang. Teman-temannya ini menghibur anak yang ketakutan itu dengan mengingatkan pesan gurunya: jika takut hantu melafalkan Quran saja. Anak itu menurut dan ia membaca bagian akhir juzz amma--kitab alfabet Arab yang baru mereka pelajari: alif, ba, ta, tsa, jim, kha, kho, sepanjang jalan....

Barangkali di situlah titik balik anak saya takut kepada hantu. Pesan "jika takut hantu" begitu menghantuinya sehingga ia percaya bahwa hantu perlu ditakuti. Sebab, rasanya, saya tak penah menanamkan ia takut pada hantu--karena konsep ketakutan seperti itu yang ditanamkan orang tua dulu sangat keliru. Di kampung dulu, orang tua melarang anak-anak menyelinap ke tempat gelap dengan mengatakan di sana ada genderuwo, atau menyuruh anak masuk rumah ketika magrib dengan bilang, "nanti dibawa kelongwewe".

Seperti umumnya orang tua zaman sekarang, penjelasan saya kepada anak soal hantu adalah bahwa ia mahluk juga, hanya tak terlihat, dan ada di sekitar kita. Jika roh-roh itu mewujud berarti ia roh sakti karena bisa mengumpulkan energi sangat besar untuk menunjukkan diri.

Penjelasan seperti itu jadi terasa sia-sia kini. Anak saya tetap takut hantu untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, dan kapan mulai punya ketakutan semacam itu. Mengapa ketakutan itu berwujud bulu kuduk yang berdiri, menjerit, bahkan terkencing-kencing, padahal ia tak melihat sesuatu yang menyeramkan. Konon, anak-anak bisa melihat mahluk tak kasat mata. Tapi ketika saya tanya melihat apa sewaktu ketakutan, ia bilang tak lihat apa-apa. Hanya takut saja: takut kalau hantu yang ia bayangkan menyeramkan itu benar-benar menampakkan diri dan akan mencelakainya.

Sebab di Toraja pikiran anak-anak tak dibentuk takut pada hantu. Di sana orang yang meninggal bisa terbaring di kamar dua bulan jika ada anak yang belum pulang karena melaut. Anggota keluarga lain melakukan keseharian yang rutin seperti biasa di antara mayat itu. Jika mereka makan, ada satu piring yang disediakan untuk roh yang meninggal. Mayat itu baru dikuburkan jika sanak-saudara sudah melihatnya, dan suatu kali mayat itu digali lagi untuk diganti bajunya. Anak-anak bisa turut serta dalam upacara Ma'nene itu. Tak ada konsep takut pada mayat atau hantu dari mayat itu.

Ma'nene, membersihkan mayat dan mengganti bajunya di Toraja
Jadi, seorang Toraja di kantor saya merasa aneh dengan film-film tentang hantu yang marak belakangan ini. Hantu digambarkan sedemikian menyeramkan, jahat, dan bisa membunuh dengan tangannya sendiri. Ia sendiri tak kenal rasa takut pada hantu karena sejak kecil tak pernah diajarkan soal hantu yang bisa menakutkan. Orang-orang tua di sana, kata dia, mengajarkan takut pada yang terlihat. Misalnya, pada orang yang kemungkinan punya teluh sehingga sebaiknya menghindari berpapasan dengannya agar tak celaka.

Film-film itu membuat pemahaman akan hantu di benak anak-anak pun kian kacau. Dan, agaknya, saya belum bisa mengembalikan konsep ketakutan dan hantu pada anak saya seperti sebelum ia takut hantu.

Wednesday, August 06, 2014

ANAK-ANAK YANG KEHILANGAN SUNGAI

Koran Tempo, 31 Juli 2014



MENYIAPKAN ongkos, berdandan, dan membekali diri dengan sabun dan handuk, mereka menempuh perjalanan jauh agar bisa berenang. Mereka berdesakan di mobil bak terbuka yang mengangkut mereka ke kolam renang di kecamatan. Ketika sungai-sungai kering, orang-orang membangun kolam dengan tiket dan satpam.

Anak-anak yang kehilangan sungai tak lagi bebas beradu tangkas menjajal palung dan oplak. Di kolam buatan itu, mereka menemui kedalaman yang sama dan terukur, seperti kolam renang di kota. Mereka tak belajar bagaimana cara menjelajah. Mereka kehilangan permainan.

Barangkali ini romantisme, atau ketakjuban mudik Lebaran. Dulu sungai adalah arena menjajal nyali. Kami harus mencuri kesempatan berenang di Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kanak-kanak kepada orang tua. Mereka takut kami tenggelam atau dimakan buaya.

Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sepanjang umur Cisanggarung, kami tak pernah sekali pun melihatnya. Kini sungai itu tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyeberangkan orang-orang kampung yang akan ke pasar. Hampir setiap rumah punya sepeda motor. Mereka lebih senang ke pasar atau ke kota menempuh jalan memutar melewati jembatan Belanda. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor, melainkan lantaran perahu tak ada lagi.

Kematian sungai itulah pokoknya. Air memang menghilang dari kampung kami ini. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan dunia itu, karena hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak.

Sebelum penjarahan itu, sungai kami pelan-pelan hilang ketika di kampung seberang ada "orang Jakarta" yang membangun pabrik aspal, sekitar 25 tahun lalu. Orde Baru, yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok, membutuhkan pengusaha macam ini. Demikianlah, batu-batu sungai diangkut untuk digiling.

Petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Pasir pun lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah padas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.

Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: bermain PlayStation, berenang di kolam renang porselen, serta ngebut dengan sepeda motor. Tak ada lagi yang bermain gundu atau gasing. Selepas magrib, kampung sepi, anak-anak berkhidmat di depan televisi. Mereka tak mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bertukar cerita tentang palawija dan legenda, juga takhayul yang paling semprul.

Setiap Lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Kini saya merasa seperti orang-orang tua dulu: senang mengenang sungai, lapangan sepak bola, serta kebun buah-buahan yang sudah tak kelihatan bekasnya. Tapi bukankah 20 tahun terlalu cepat untuk membuat kampung ini berubah dan menjadi asing?

Wednesday, June 04, 2014

ANAK-ANAK



Anak-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan mengedutkan rabu tiap janin sebagai sebuah pesan. Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Dan ini "bulan anak-anak" di abad ke-21, sebuah masa yang kian rumit dan tak terduga--masa depan tak cukup hanya direncanakan.

Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18 tahun, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan memelencengkannya jadi orang suci. Tak aneh jika istrinya menolak cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang zuhud sebelum waktunya.

Anak-anak melihat pertentangan-pertentangan yang diciptakan para orang tua. Mereka melihat bagaimana orang tua-orang tua membentuk dunia yang mereka inginkan. Orang-orang dewasa menciptakan mainan, seolah anak-anak adalah bentuk orang dewasa yang lebih kecil. Mereka membuat miniatur traktor, mobil truk, pesawat, dengan harapan anak-anak berimajinasi tentang dunia orang dewasa. Anak-anak tak didorong mencipta mainan-mainan sesuai dengan imajinasinya. 


Pilihan, harapan, kebutuhan yang diciptakan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik-cendikia membuat pepatah: hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil kalimat ini. Mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat? Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

Ia khawatir Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba-coba, sayap itu jadi juga.

Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa akan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

Di titik itulah konflik dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun-temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh-dan memakai kacamata--Daedalus, para orang tua.

Karena itu, sejarah sering kali terasa berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus-menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin datang dari anak-anak, mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.


Kolom di Koran Tempo, 2 Juni 2014.

Thursday, March 28, 2013

TETANGGA


APA beda antara tetangga dan anak? Seorang tetangga di kampung punya penjelasan jitu soal ini. Kami mengobrol di antara kepulan asap tungku tanah--dalam bahasa Sunda namanya hawu--di sela keriuhan panitia hajatan pernikahan adik saya, dalam gelap, dekat sumur timba.

Bapak-bapak, para tetangga itu, sedang istirahat setelah mencuci piring, sambil merokok. Dua orang berdagang es di Jakarta, satu buruh bangunan di Depok, dua lagi bertani. Dua lagi ikut nimbrung sambil bolak-balik mengangkut piring dan gelas kotor dari ruang prasmanan.

Seseorang--dia bapak dua anak yang baru menikahkan anak perempuannya--berbicara tentang perbedaan anak dan tetangga itu. 

Katanya, waktu berkumpul anak dan orang tua sangat singkat. Ia sendiri memiliki anaknya cuma selama 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya sendiri atau ke Jakarta untuk sebuah kerja. Sebab di kampung, menjadi petani tak lagi musim, tegalan lengang penuh alang-alang karena bertani tak lagi menghasilkan: harga palawija selalu anjlok tiap panen, itupun jika tak terserang hama sementara modal tak seberapa.

Dan soal anak, bapak ini bilang bahwa tanggung jawab sebagai ayah terlepas ketika ijab kabul pernikahan. Anak perempuannya menjadi milik suaminya, punya urusan sendiri dengan hidupnya, apalagi kelak jika sudah punya anak--cucunya sendiri. Hubungan bapak-anak ini pun lepas tak hanya secara fisik.

Anak-anak akan menjauh setelah dewasa. Para orang tua perlu rupiah untuk membeli pulsa untuk mengobrol atau ongkos untuk berjumpa. Karena itu para orang tua harus bersengaja mencari waktu. Perjumpaan menjadi sebuah rendezvous yang langka dan mewah.

Tapi dengan tetangga, katanya, tak ada limit waktu berpisah. Justru dengan para tetanggalah hidup lebih sering bersinggungan. Para tetangga kadangkala jauh lebih tahu apa masalah kita ketimbang anak-anak, yang jauh dari rumah. Para tetangga, mereka yang tak punya ikatan darah dan datang dari entah, akan menolong pertama kali ketika kita ketiban musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelpon dulu jika kangen ingin ketemu.

 Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika waktunya tiba. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agar kelak tak hidup sendiri.

Saya manggut-manggut. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan sebuah hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia berbicara tentang kecenderungan yang terjadi dari zaman-ke-zaman, apalagi ketika urbanisasi tak lagi bisa dicegah karena kota tetap menjanjikan sebuah harapan dan dusun tetap saja sebagai kampung halaman.

Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Bahkan saya merasa asing karena kamar tempat dulu saya lahir, kamar tempat dulu mereka-reka surat untuk pacar pertama, ruang tempat saya membayangkan masa depan dan membangun cita-cita, tak ada lagi. Rumah ini dipugar ketika saya sudah keluar dari rumah untuk sekolah. Rumah ini, dengan desain agak modern, praktis milik ibu-bapak saya. Saya hanya punya sedikit kenangan pada lemari dan bufet lama, juga foto sepia.

Dan besok, setelah resepsi usai, saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak menghidu bau sorenya lagi, tak menyesap aroma sampah yang dibakar bapak tiap sore lagi. Kami akan kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah lain yang bukan tempat asal dan masa depan kami. Rumah dan kampung ini hanya sebuah masa lalu dengan kenangan-kenangannya yang terus membetot dan mendekam dalam ingatan, tapi tak mudah disinggahi. Kami harus pergi lagi setelah dua-tiga hari tinggal, seperti ritual keluarga zaman industri--di mana setiap orang punya kampung dan rantau.

Bapak-bapak para tetangga inilah yang akan terus berkomunikasi dengan bapak-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Sementara kami, anak-anaknya, mesti menunggu waktu libur atau cuti atau saat Lebaran untuk bisa bercengkrama dengan mereka.

Tuesday, February 12, 2013

UNTUK IORI


* Catatan ulang pada ulang tahun ke-3.

INILAH, nak, secuplik cerita bagaimana kamu datang ke dunia...

...menghirup udara pertama di kamar bersalin Rumah Sakit Azra. Kamu lahir lebih cepat sepuluh hari dari perkirakan dokter. Tanggal sepuluh bulan dua tahun dua-ribu sepuluh pukul nol-nol duapuluh. Jika waktu lahirmu dideretkan akan membentuk angka yang ritmis. 10-02-2010-00-20. Ini waktu yang dicatat dokter ketika kepalamu menyembul dan kamu menjerit.

Kelahiranmu begitu mudah. Hanya 15 menit sejak kontraksi terakhir yang membuat ibumu tak kuasa lagi menjerit. Padahal dokter yang ramah dan baik itu memperkirakan kamu lahir lima jam lagi, atau sekitar subuh. Dia baru pulang dari rumah sakit itu setelah menolong bayi lain yang lahir sejam sebelumnya. Ia baru akan berangkat tidur ketika suster memberitahu kamu segera akan keluar. Dan ia datang tepat waktu.

Dokter kamu itu muncul tepat ketika kecemasanku hampir punah. Dengan sikap tenang, terukur dan riang, dia menyiapkan alat-alat persalinan. Sementara ibumu, nak, menganga tanpa suara. Dia bilang sudah tak kuat menahan sakitnya. Saya tak tahu seberapa jauh kesakitan itu. Tapi dari cengkeraman tangan dan gigitannya, saya bisa bayangkan itu batas sakit yang bisa ditahan manusia. Saya tanya, bukankah dulu melahirkan Mika, kakakmu, juga sakit luar biasa? Sebuah besi merobek vaginanya karena tangan kakakmu menyilang di kepala, bukan sedekap di depan dada, sehinga kakakmu nyangkut di jalan lahir. Ibumu menjawab, sudah lupa sakit yang pertama :)

Di dalam perut kamu menggeliat mendengar kami bercakap...

Dua suster memegang perut ibumu. Dokter itu meminta ibumu menarik napas, mengumpulkan tenaga untuk mendorong tubuhmu. Saya lihat, darah dan ketuban mengalir dari vagina ibumu, keluar seperti air menyembur dari mata air. Dorongan pertama tak berhasil. Dokter dan suster memberi aba-aba untuk dorong dan tahan, buka mata, dan menjeritlah sekerasnya. Aduh, nak, bagaimana saya bisa mengingat peristiwa ini?

Kucium kening ibumu berkali-kali, kurekatkan hidungku ke pipinya yang pucat, kusangga lehernya agar tenaga itu terkumpul di perut. Pada dorongan keenam, kata suster, rambutmu sudah terlihat, tapi ibumu kehabisan tenaga. "Good, Bu, bagus. Tahan lagi, dorong lagi ya, Bu. Pada hitungan ketiga... satu...." Ya, Tuhan... Aku serasa tak menapak. Aba-aba dokter terdengar seperti genderang pecah di telinga. Pada dorongan ketujuh kepalamu menyembul. Dokter menariknya untuk mengeluarkan tubuhmu. Ketuban muncrat, darah menderas. Ibumu terkulai dengan napas yang memburu....

Dokter menyerahkan gunting untuk memotong ari-ari lalu meletakanmu di dada ibu. Ari-arimu kuat ataukah saya tak punya tenaga untuk memotongnya? Butuh dua kerat kupotong jalan napasmu di perut ibumu itu. Kamu merangkak mencari puting dengan jerit yang keras sekali. Merah, mungil, dan mata yang mengerjap-ngerjap ketika kuazani.

Kusangka proses itu selesai sampai ari-ari. Dokter bilang masih harus membersihkan sisa kelahiran di rahim ibumu. Hhhh, tangannya masuk mengorek sisa darah dari sana. Saya tergeragap merasakan sakit, ngilu, dan perihnya. Saya telungkup mencium kepala kamu. Sakit dan ngilu dan perih itu, nak, adalah sebuah alasan mengapa setiap anak harus mencintai ibu.

Kunamai kamu Iori. Tadinya, akan kunamai Arashiyama. Ini nama sebuah kampung kecil yang cantik dan dingin di pinggiran Kyoto, sebuah desa dengan gunung dan sungai yang berkelok, dan menjadi pusat maiko dengan udon paling sedap di Jepang. Rimanya juga enak karena bunyi a dan i. Tapi, kata ibumu, Arashi artinya topan, badai, dan penghancur. Jadilah kupilih Iori. Sebab kakekmu titip pesan agar nama anak kedua dimulai huruf vokal. Sebab kami bertiga--aku, ibumu, dan kakakmu--punya inisial konsonan. "Harus ada satu yang huruf hidup," kata abahmu. Baiklah.

Dan Iori bisa berarti 10 Februari, tanggal lahirmu. Atau jika mau diartikan lagi itu akrnoim dari "Ini orang Indonesia" :) Iori adalah anak kesayangan Musashi, samurai dengan ilmu kanuragan paling canggih di Jepang pada abad 16. Iori sendiri jadi samurai paling disegani pada abad 17. Seorang suci yang menghabiskan hidup mencari ilmu. Dalam bahasa Jepang Iori berarti "yang dapat diandalkan".

I bisa juga berarti "aku" dalam Inggris, O bisa menandakan bentuk hati, seperti O dalam cerpen "Godlob", dan RI tak lain Republik Indonesia :-d. Betapapun negeri ini, tanah air ini, selalu diguncang masalah, centang perenang mencari bentuk, toh kita harus tetap mencintainya. Lalu Ahmad Masagi. Ahmad ini titipan nenekmu. Dan Masagi adalah kata Sunda yang berarti sempurna, dalam konteks mencari ilmu. Dalam dongeng-dongeng, seorang guru selalu berpesan kepada muridnya agar mencari ilmu hingga masagi: tekun, sempurna, tak setengah-setengah, seperti Miyamoto Iori...

Tentu saja, ini hanya utak-atik seorang orang tua yang sedang bungah mencari dan memadankan arti nama anaknya. Toh, nama hanya penanda, bahwa kamu punya ciri yang berbeda....

Azra, 10 Februari 2010

Wednesday, December 26, 2012

SUNAT



SETELAH dua tahun tak mempan dibujuk dengan aneka jurus, Mikail tiba-tiba mau diajak ke dokter sunat. Ia termakan omongan Jarjit di serial Ipin-Upin yang bilang bahwa disunat lebih sakit daripada digigit harimau. Tiap kali dibujuk, lalu ia sendiri berkonsultasi dengan puluhan orang tentang rasa sakit itu, kesimpulan akhir selalu sampai pada digigit harimau itu. 

Kemarin tiba-tiba ia mau dan dengan sukarela masuk ruang operasi. Malam sebelumnya ia tegang sampai tak bisa tidur. Ketegangan berlanjut begitu ia melihat jarum suntik di kamar operasi. Setelah obat kebal itu bekerja ia ketawa-ketiwi ketika mengobrol dengan dokter tentang hadiah yang dijanjikan. Ia sendiri yang menentukan hadiahnya, saya tak pernah mengangguk menyetujui.

Operasi selesai 15 menit. Dokter memotong kulup dan memasang helm di penisnya, tanpa rasa sakit, rapi, dan tanpa upacara ini-itu. Sewaktu saya seumurnya, disunat adalah sebuah peristiwa menakjubkan dengan ritual. Dan disunat adalah kerelaan, juga sebenar-benarnya kemaluan. Sebab anak-anak yang belum disunat tak bisa mengaji apalagi memegang Al Quran, belum sah bergaul dengan anak-anak lain yang sudah dikhitan, atau belum boleh main petak umpet di tempat gelap. Kelongwewe akan mencari anak-anak berkulup di sudut-sudut kampung yang belum terpapar listrik. 

 Saya harus mandi pagi sekali, dalam udara dingin, agar kulit sedikit kebal. Anak-anak sebaya sudah berkumpul menunggu mantri sunat, mantri tua yang sudah lamur. Mereka, tentu saja, menunggu saweran setelah pemotongan itu--dan, ini yang tak enak, mereka akan bersaksi apakah saya menjerit atau tidak. Sebab menjerit atau tak menjerit akan dikenang oleh semua orang. Anak yang menangis saat sunat akan diejek dalam permainan sehari-hari. Dan tahun 1980-an obat kebal hanya obat semprot, karena suntik perlu teknik khusus. Dalam keremangan pagi di bawah petromak itu, mantri sunat sering tak pas menyemprot kulit yang akan dipotong. Saya meleset kena selangkangan. Ketika ritual dimulai, saya menahan sakit amat sangat di balik sarung yang dirungkupkan ke kepala.

 Bagian tubuh paling berharga itupun menjadi tontonan orang sekampung. Yang tak melihat hanya satu orang: saya sendiri karena mata ditutup sarung, di pangkuan seorang uwa. Dan tontonan tak berhenti sampai di situ. Setelah bagian tubuh itu dipisahkan lalu dilempar ke atap rumah karena akan menjelma penjaga gaib yang setia, saya mesti memamerkannya di ruang tengah. Semua orang datang melihat, berkomentar tentang luka itu, ada yang menghibur, tak sedikit yang meledek. Setiap anak sunat hanya terhibur ketika para pelayat itu melemparkan uang ke peci yang diletakkan terbalik. Saya mendapat Rp 120.000, cukup untuk membeli sepeda mini-Benz, dan dua kambing betina.

 Pada Mika, di tahun 2012, ia menjalaninya sambil mesem-mesem. Tak ada mata yang menonton, tak ada anak-anak sebaya yang menyaksikan dan akan bercerita kelak bahwa ia tak tahan menerima rasa sakit. Sunat bagi dia adalah sebuah ruang privat yang tak mesti dipertanggungjawabkan kepada siapa-siapa. Dokter dan perawat itu pasti lupa penis siapa saja yang sudah dipotong. Pagi itu saja ada sepuluh anak yang mengantri.

 Sampai di rumah, obat kebal itu rupanya berakhir masa tugasnya. Dua jam Mikail jerit-jerit. Sumpah serapah ala Kapten Haddock telontar tak beraturan. "Pokoknya, aku kapok disunat!" Ya, tentu saja, saya juga tak akan mengulangnya. 

Tuesday, November 15, 2011

ANAK-ANAK

ANAK-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan meniupkan rabu pada setiap janin sebagai sebuah pesan bahwa Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pelbagai pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Apalagi ini abad 21, sebuah masa yang rumit dan tak terduga--masa depan tak cukup hanya direncanakan.

Tapi Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan melencengkannya jadi orang suci. Tak heran jika istrinya menolak cara-cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang juhud sebelum waktunya.

Pilihan, harapan, kebutuhan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik cendikia menelurkan pepatah hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil sebetulnya kalimat ini. Sebab mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat. Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

Ia cemas Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh akhirnya ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu-bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba-coba, sayap itu jadi juga.

Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa dengan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu ke mana jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

Dan di titik itulah konflik seringkali dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh--dan memakai kacamata--Daedalus, para orangtua.

Karena itu sejarah seringkali berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Jawabnya mungkin muncul dari anak-anak: mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.

Monday, July 26, 2004

NAK...



Aku ingin bercerita bagaimana kamu keluar dari tubuh ibumu...


Sebuah sandek mampir ke ponselku. Dari ibumu. Kamu sudah mau keluar, katanya. Air ketubannya sudah pecah, juga darah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh sini ibumu tertatih ke rumah sakit. Kamar bersalin yang sudah kami pesan jauh hari tak jadi ditempati karena takut harus ada tindakan dokter. Tapi rumah sakit pun tak menolong. Semua dokter kandungan se-Bandar Lampung sedang seminar ke Bandung. Di telepon, ibumu meringis dalam cemas.

Kamu meronta sejak pukul 20. Itu 12 Juli malam--sepekan lebih cepat dari perkiraan dokter. Aku tahu itu, juga lewat sandek. Maka aku bersegera pulang dengan cemas yang tak lekas-lekas. Kamu akan keluar dini hari atau maksimal subuh menjelang fajar, kata perawat. Aku membayangkan, kamu akan menghirup udara bebas pertamamu ketika aku terjaga di selat Sunda. Itu berarti ibumu mengeluarkanmu dalam sendiri, sesuatu yang kami cemaskan sejak dulu.

Ada banyak godaan sepanjang malam itu. Orang yang duduk mengapitku di bus tak bersahabat. Mereka merangsek mempersempitku. Berkali-kali kuingatkan bahwa itu jatah kursiku. Tapi mereka hanya mendengus dalam tidur. Aku hampir saja meledak jika tak ingat sedang menunggu kelahiranmu. Kata orang, menunggu bayi harus juga mengekang marah. Agar kamu tak jadi pemarah. Baiklah. Marah memang tak baik sedang menunggu atau tak menunggu bayi.

Perjalanan tujuh jam itu begitu menyiksa. Malam jadi terasa lama tanpa mata terpejam barang sedetik. Lama yang makin mencemaskan.

Subuh itu tiba juga. Rumah sakit masih sepi. Pagi yang hening. Tak ada perawat atau petugas jaga. Aku harus berputar-putar mencari kamar bersalin yang tak dilengkapi papan informasi. Orang-orang yang kutanya tak ada yang tahu di mana kamar ibumu. Atau, mungkin karena aku juga sedang kalut. Butuh satu jam aku mengubek-ubek penjuru rumah sakit itu.


Akhirnya kama itu kutemukan juga. Tak ada jerit bayi. Aku makin cemas. Ibumu masih terbaring. Wajahnya kusut dan kuyu. Kamu belum keluar juga. Astaga. Dokter belum datang. Dokter umum yang akan menanganimu. Sementara kamu di sana terus meronta. Sudah bosankah dalam rahim ibu, Nak? Ibumu merintih tiap kali kamu meronta.

Dokter itu datang juga. Aku disuruh keluar. Aku tak ingat lagi bagaimana perasaanku menunggu di luar kamar. Yang kudengar hanya omongan dokter dan perawat itu, yang menyuruh menahan napas, hembuskan ,dan tahan lagi, kepada ibumu. Aku ingin menangis, Nak, mendengarnya. Kesakitan itu terasa juga menebas ulu hati. Setengah jam aku tak sadar dalam berdiri, ketika tangismu meledak, melengking memecah bening udara pagi. Aku sujud. Suara ibumu tak kedengaran.

Perawat keluar menggendong kamu. Aduh lucunya. Kamukah bayiku? Aku mengazani dan matamu berkedap-kedip. Kamukah bayiku? Bayiku yang kutunggu?

Kata dokter, tangan kirimu yang menghalangi jalan lahirmu. Tangan kiri mengepal di kepala. Wah, kamu sudah seperti pendemo. Atau kamu memang berdemo karena tak kunjung bisa keluar? Hingga jalan lahir itu harus dibelek dan kepalamu dijepit besi untuk menariknya. Ibumu hampir pingsan. Sakit kontraksi ternyata tak seberapa dahsyat dibanding ketika besi itu dimasukkan ke liang vaginanya. Ditembak pun aku tak akan merasakan sakitnya, katanya.

Sakit itu adalah sebuah alasan mengapa setiap anak harus mencintai ibu...

UPDATE: foto di usia 4 tahun.