MENJELANG
pukul dua pagi, lelaki itu menelepon dengan suara yang terkesan
digawat-gawatkan. “Telepon saya sekarang, Pak.
Penting!” Dia mematikan telepon selulernya, dan giliran saya yang
menghubunginya.
“Bapak sedang sendiri? Kalau tidak, segera menjauh dari yang lain.”
Saya sendiri, jawab saya seraya mengumpulkan kesadaran.
“Ada info penting, tapi tolong jangan bilang siapa-siapa kabar ini dari saya.”
Katakan saja, saya menyergah.
“Begini, ada intel Kodim dalam rombongan Bapak. Dia memata-matai kegiatan Bapak di sini.”
Saya terkesiap. Intel Kodim? “Siapa?” kata saya setengah berteriak.
“Sopir mobil Suzuki yang Bapak sewa. Namanya Debi. Saya kenal dia. Bapak harus hati-hati.” Klik, telepon ditutup.
Debi? Hampir tak percaya saya mendengarnya. Tubuhnya memang tegap, mirip postur tentara. Tapi bukankah kebanyakan orang Maluku berbadan kekar? Dia intel? Apa gunanya kami dibuntuti?
Kami bukan penjahat. Kami hanya tujuh manusia yang mengunjungi Pulau Buru--dataran di Kepulauan Maluku yang 10 tahun lamanya dijadikan tempat menyekap tahanan politik yang dituding terlibat Gerakan 30 September.
Tapi semuanya sudah berakhir lebih dari 25 tahun yang lalu. Pemerintah sudah berganti. Tentara sudah menyingkir dari panggung politik. Intel? Kenapa kami dibuntuti? Hingga subuh saya tak bisa tidur.
***
CERITA ini berawal dari kasak-kusuk Goenawan Mohamad dan Amarzan Loebis--keduanya redaktur senior majalah Tempo. Telah lama Goenawan, 65 tahun, berniat mengunjungi pulau itu. Amarzan, yang pernah menjadi tahanan politik di sana, diharapkan bisa menjadi pemandu.
Buat saya ini perjalanan yang unik. Sebelum ditahan, Amarzan adalah redaktur kebudayaan HR Minggu, surat kabar mingguan yang berafiliasi kepada PKI. Goenawan adalah penanda tangan Manifes Kebudayaan, lawan politik sastrawan “kiri” kala itu. Setelah bebas pada 1979, Amarzan bergabung dengan Tempo. Keduanya kemudian bersahabat.
Mengunjungi Pulau Buru bersama mereka, saya membayangkan sebuah “pertempuran ideologis” sepanjang jalan. Itulah sebabnya, mendengar niat itu, saya menggoda keduanya dengan sepucuk pesan pendek. “Jika sastrawan Lekra dan peneken Manikebu pergi ke Pulau Buru, rasanya dibutuhkan anak muda yang lebih netral.” Goenawan membalas singkat, “Ya, kamu ikut.”
Karena kesibukan keduanya, hampir setahun rencana itu tertunda. Baru akhir Juli lalu kami akhirnya berangkat. Belakangan ikut pula peserta lain: Teguh Ostenrik (perupa), Alif Imam (wartawan Radio 68H), Laksmi Pamuntjak (novelis), dan Ian White (sutradara film dokumenter asal Australia).
***
HENGKANG dari Jakarta dengan pesawat paling pagi, tak ada yang istimewa sepanjang perjalanan Jakarta-Ambon. Menginap di ibu kota provinsi semalam, perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang KM Lambelo, kapal penumpang PT Pelni berbobot mati sekitar 10 ribu ton yang berlayar ke seantero Maluku.
Empat jam melaut menuju Buru, dari jendela kamar kelas dua berkapasitas enam tempat tidur tampak samar-samar Teluk Kayeli, tempat kapal kami akan membuang sauh. Langit mendung di atas laut yang airnya menjilat-jilat. Dari jendela kamar yang kacanya suram oleh embun, Amarzan dan Goenawan memandang keluar. Jauh. Pulau itu adalah kampung halaman bagi Amarzan, dan sepercik sejarah bagi Goenawan.
Amarzan bercerita tentang pacar yang dulu ia tinggalkan, lalu ia surati lagi dari pulau ini. “Ia malah mengirimkan foto dua anaknya,” katanya. Laksmi bersiap terharu, tapi Amarzan membuyarkannya dengan sebuah guyon pendek. “Ketika kami berjumpa, sepuluh tahun kemudian, ia sudah segini,” katanya sambil menggerakkan tangan menggambarkan seorang yang berpinggang lebar. Kami tersenyum.
***
INI adalah perjalanan yang kedua bagi Amarzan setelah bebas. Tahun lalu ia ke sana untuk sebuah perjalanan jurnalistik. Buat Goenawan, ini juga kunjungan yang kedua. Pada 1969, ia datang meliput kehidupan tapol bersama rombongan wartawan. Bagi yang lain, ini kedatangan yang pertama.
Buru adalah pulau ketiga terbesar di Maluku. Luasnya sedikit lebih lebar dari Pulau Bali. Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, adalah kota yang sibuk: hotel, pasar, dan tempat hiburan tumbuh subur di sana.
Dari Namlea ke unit-unit bekas barak para tahanan dibutuhkan waktu 45 menit dengan mobil. Dulu, terdapat 22 unit barak tapol di sana. Unit I hingga XVIII, lalu unit R, S, dan T dengan lokasi yang terserak. Ada satu lagi, Jiku Kecil, unit khusus untuk mengisolasi tahanan yang membangkang, yang kemudian disebut Ancol. Kecuali Ancol, tiap unit diisi sekitar 500 tahanan.
Kini tak ada barak lagi di sana. Satu-satunya bangunan yang tersisa di bekas Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Buru--nama resmi tempat pengasingan itu--hanya bekas gedung kesenian di Unit IV/Savanajaya; kini Desa Savanajaya. Hampir semuanya berubah digilas waktu. Hutan berganti kampung dan sekolahan. Barak-barak rata tanah.
Yang tetap adalah bukit-bukit kayu putih yang memagari pulau, juga matahari yang dulu memanggang punggung para tahanan. Di bawah hutan, hamparan sawah, dan Sungai Wayapu yang berkelok-kelok.
Jalan menuju unit sudah mulus. “Sudah diaspal menjelang Presiden Yudhoyono datang meresmikan panen raya beberapa bulan lalu,” kata Man Hukom, lelaki yang mengantar kami berkeliling. Di antara deru musik dangdut yang meluncur dari audio mobil, Amarzan berkata lirih, “Seluruh jalan di sini dulu pernah saya lalui dengan berjalan kaki tanpa sepatu.”
Delapan tahun lelaki 65 tahun itu menghabiskan usia produktifnya di pulau durjana itu. Mula-mula ia ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba, lalu ke Nusakambangan, kemudian pada 1971 ke Pulau Buru. Baru pada 1979 ia bebas, bersama Pramoedya Ananta Toer dan ratusan tahanan lainnya.
Telah lama saya mendengar cerita Amarzan tentang kehidupannya di Buru: kerja paksa, menyantap tikus dan kucing sebagai menu makanan siang, menyaksikan pembunuhan, menemukan kawan bunuh diri, bersiasat agar tak dipukul penjaga, dan masih banyak lagi.
Tapi hampir saya tak menemukan “pertentangan” Lekra versus Manikebuis. Satu-satunya “debat halus” adalah ketika Teguh menggoda Lekra dan Amarzan yang pernah melarang musik Beatles masuk Indonesia. Alih-alih menyanggah, Amarzan malah bergurau. “Lho, saya malah dulu pakai sepatu ala Beatles yang lancip ujungnya.”
Amarzan bercerita, ia kerap berbeda pendapat dengan aktivis Lekra lainnya. Pernah suatu ketika ia menolak HR Minggu memuat nama dan alamat penanda tangan Manifes Kebudayaan secara bersambung. “Mereka bisa diteror Pemuda Rakyat,” kata Amarzan ketika itu. Pemuda Rakyat adalah organ pemuda PKI. Menyeruput kopinya, Goenawan takzim mendengarkan. Menurut dia, baru kali ini ia mendengar informasi itu.
***
BELUM lagi lokasi kuburan para tapol kami temukan, seorang perwira muda polisi menemui kami dengan sebuah pesan singkat: Ian White harap segera menghadap Kapolres.
Sejak sehari sebelumnya, keberadaan Ian dipersoalkan. Di kantor Polsek Waeapo ia diinterogasi: apa tujuan kedatangan, mengapa membuat film, dan sebagainya. Setelah dijelaskan, Pak Kapolsek membiarkan Ian pergi.
Kini ia diminta datang lagi ke Polres, kantor polisi di tingkat kabupaten, yang jaraknya 45 menit perjalanan. Untuk apa?
Ian adalah lelaki yang menyenangkan. Bahasa Indonesianya bagus. Unggah-ungguh-nya menyerupai perangai lelaki Jawa. Di usia 40-an ia energetik merekam setiap detail perjalanan kami. Ia membuat banyak film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Satu yang membuat Ian mudah dikenali: rambut lurusnya yang setengkuk tak pernah mengenal sisir.
Kami tak membiarkan Ian berangkat sendiri ke Kantor Polsek. Tapi inilah akibatnya: empat jam kami termangu di kantor polisi yang megah itu. Kami duduk di luar, dekat loket pembuatan SIM. Enak duduk di sini: angin semilir, gunung menjadi pagar langit pada sore berwarna kesumba. Goenawan membaca Stigmata karya Helene Coxous. Laksmi membolak-balik Mute’s Soliloquy, catatan Pramoedya terhadap Pulau Buru. Teguh memotret. Alif sibuk mengecek apakah pemeriksaan Ian sudah rampung. Tak lama kemudian giliran identitas kami satu per satu dicatat.
Kabar tentang “penangkapan” itu beredar cepat. Pesan pendek jumpalitan antara kami dan sejumlah kawan di Jakarta. Ian akhirnya “dibebaskan”, dan dengan sopan-santun yang terasa berlebihan, seorang intel muda mencoba menjelaskan keadaan. “Kami cuma mendata. Tolong, jangan diperpanjang,” katanya. Belakangan, intel muda itu menjadi sangat ramah. Dialah yang mengabari saya ada intel lain dari Kodim yang menyusup ke dalam rombongan kami.
Apa pasal? Entahlah. Asisten intelijen Kapolres memberi tahu bahwa Buru memang sedang rawan. Pilkada sebentar lagi dilangsungkan. Lalu ada pula pemerkosaan anak balita yang segera berkembang menjadi isu babi ngepet. Kami mencoba tak ambil pusing. Menjelang tengah malam kami kembali ke penginapan.
***
“SAYA datang dari tempat di mana semua orang harus disiplin,” kata Amarzan. Yang disindirnya adalah Alif Iman, yang pagi itu datang terlambat. Lelaki setengah baya itu lalu bercerita. Saban pukul lima pagi, para tahanan sudah dibangunkan penjaga dengan teror tembakan ke atas. Berlari-lari para tapol menuju lapangan. Ada yang sesekali memungut selongsong peluru.
Di dalam barisan, semua tak boleh bergerak meski nyamuk pagi menyantap tubuh tahanan yang hanya ditutup pakaian seadanya. Tak ada yang boleh menepuk serangga itu. Jika terdengar bunyi tepukan, plak! tempeleng mendarat di pipi.
Tiap pagi kami keluar Losmen Waeapo di dekat bekas Mako, Markas Komando Inrehab. Tak ada tembakan para penjaga seperti tiga puluh tahun lalu. Hanya sedikit rasa waswas bahwa kami diikuti intel lagi.
Pagi itu kami menelusuri Unit XVI/Indrakarya, unit tempat tinggal Amarzan. Dari ujung jalan sudah tampak deretan rumah di pinggir jalan yang tak mulus itu. Di muka sebuah sekolah, Amarzan berhenti. Ia mengira-ngira. “Ya, ini dulu bekas barak. Inilah kampung halaman saya,” katanya mengenang. Ia berusaha tak sedih, meski saya melihat awan hitam menggantung di bola matanya.
Buru adalah mimpi buruk buat siapa pun, tak terkecuali lelaki yang menjadi pemandu kami itu. Tapi bertahun-tahun berteman dengannya, hampir tak pernah saya mendengar ia bercerita tentang kepahitan hidup di sana. Kalaupun ada, biasanya selalu dibungkus dengan gurau.
Soal penyiksaan yang ia terima setidaknya baru dua kali saya mendengar. Pertama ketika ia “keceplosan” dalam sebuah makan malam di Jakarta. Yang kedua di Buru hari itu. Katanya, dua kali ia dipukul: ketika ketahuan membesarkan volume televisi dan dipergoki menimbun papan untuk dijual. Selain itu, dalam interogasi di Jakarta pernah pula ia disetrum. “Sehabis disetrum, biasanya suara kita jadi kecil,” katanya.
Kekerasan terhadap tapol berkurang ketika Inrehab dipimpin oleh Kolonel Samsi M.S. Semasa kepemimpinan Samsi, para tapol diizinkan ke Namlea untuk berdagang. Samsi juga tak sungkan berjalan di depan tapol yang ia titipkan senapan miliknya--tindakan yang sebenarnya berbahaya. Samsilah orang yang pernah menampar Pramoedya, meski kemudian kekerasan itu disesalinya dengan meminta maaf kepada Pram. Kuat diduga Samsi dijadikan Komandan Inrehab karena tekanan internasional.
***
DI pinggir Danau Waybabi kami duduk. Inilah danau alamiah yang mengalirkan air ke seratusan hektare sawah yang dibuat tapol Unit XVI. Amarzan memanjat tebing kecil, memastikan posisi sebuah gubuk tua yang dulu sering ia pakai sebagai tempat mengaso. Di bawah kami air danau yang cokelat berkecipak, antre di antara batu dan sisa daun.
Di sela-sela sawah itulah Amarzan menjalankan tugasnya sebagai administratur unit. Tugasnya memastikan tapol bekerja pada petak sawah yang ditetapkan. Setiap unit diberi target menghasilkan sekian kuintal padi tiap musim panen.
Untuk itu para petugas secara rutin menemui administratur unit untuk mengecek jumlah tapol yang bekerja pada tempat dan waktu tertentu. Jika jumlah orang yang bekerja versi administratur tak cocok dengan catatan petugas, persoalan biasanya muncul.
Tapi orang seperti Amarzan selalu punya jawaban terhadap perbedaan angka itu. Katanya, pada menit itu sejumlah orang sedang buang air, sekian orang mencari ikan. “Kalau tidak ada yang ditugaskan mencari ikan, pekerjaan bisa bubar karena semua orang pergi mengail,” katanya. Biasanya, mendengar jawaban itu petugas percaya.
Saya menyergah, “Dari cerita itu terkesan hubungan tapol dan penjaga layaknya hubungan produksi biasa, bukan hubungan antara tapol dan tentara.” Amarzan mengangguk.
Saya menduga keterangan Amarzan itu menunjukkan dia mengambil sisi positif dari peristiwa yang dialaminya. “Saya kira Amarzan punya sense of irony,” kata Goenawan. Pada kesempatan yang lain Amarzan membuat pengakuan. Katanya, ia bisa lebih rileks menghadapi masa sulit itu karena ketika itu belum berkeluarga. Saya kira dia ada benarnya.
***
ADA yang aneh dengan kamar ketujuh di Losmen Waeapo malam itu. Pengelola losmen mengatakan kamar itu baru saja disewa seorang “teman bos dari Ambon”. Namanya Taufik, badannya tinggi dengan muka yang bersih dan rambut yang rapi. Ia memperkenalkan diri sebagai kontraktor yang punya beberapa proyek di Buru. Tapi kurang dari setengah jam berbincang dengannya, ia sudah berganti profesi: pedagang kelontong. Belakangan ia merevisi lagi pekerjaannya dengan mengaku sebagai wartawan freelance di berbagai media di Ambon. Media apa? Dia tak bisa menjelaskan.
Amarzan langsung menghidupkan indra keenamnya. “Saya kira dia intel,” katanya curiga. Kami berusaha bersikap wajar. Goenawan bergurau, “Kita baru saja mendapat satu lagi local army friend.”
Malam itu, meski baru kenal, Taufik tak sungkan nimbrung dengan kami di ruang tengah. Sepanjang obrolan itu terasa benar bahwa ia ingin menggali motif kami ke Pulau Buru.
Percakapan usai menjelang pukul tiga pagi dan kami kembali berkumpul lima jam kemudian. Taufik muncul belakangan. Entah karena terkesan kami tak percaya bahwa dia wartawan, pagi itu ia tampil lebih meyakinkan. Sebuah tanda besar tergantung di dadanya: P.E.R.S.
Saya tersenyum kecut. Dibandingkan 30 tahun lalu, kata saya dalam hati, Pulau Buru tak berubah: tetap banyak intel.
“Bapak sedang sendiri? Kalau tidak, segera menjauh dari yang lain.”
Saya sendiri, jawab saya seraya mengumpulkan kesadaran.
“Ada info penting, tapi tolong jangan bilang siapa-siapa kabar ini dari saya.”
Katakan saja, saya menyergah.
“Begini, ada intel Kodim dalam rombongan Bapak. Dia memata-matai kegiatan Bapak di sini.”
Saya terkesiap. Intel Kodim? “Siapa?” kata saya setengah berteriak.
“Sopir mobil Suzuki yang Bapak sewa. Namanya Debi. Saya kenal dia. Bapak harus hati-hati.” Klik, telepon ditutup.
Debi? Hampir tak percaya saya mendengarnya. Tubuhnya memang tegap, mirip postur tentara. Tapi bukankah kebanyakan orang Maluku berbadan kekar? Dia intel? Apa gunanya kami dibuntuti?
Kami bukan penjahat. Kami hanya tujuh manusia yang mengunjungi Pulau Buru--dataran di Kepulauan Maluku yang 10 tahun lamanya dijadikan tempat menyekap tahanan politik yang dituding terlibat Gerakan 30 September.
Tapi semuanya sudah berakhir lebih dari 25 tahun yang lalu. Pemerintah sudah berganti. Tentara sudah menyingkir dari panggung politik. Intel? Kenapa kami dibuntuti? Hingga subuh saya tak bisa tidur.
***
CERITA ini berawal dari kasak-kusuk Goenawan Mohamad dan Amarzan Loebis--keduanya redaktur senior majalah Tempo. Telah lama Goenawan, 65 tahun, berniat mengunjungi pulau itu. Amarzan, yang pernah menjadi tahanan politik di sana, diharapkan bisa menjadi pemandu.
Buat saya ini perjalanan yang unik. Sebelum ditahan, Amarzan adalah redaktur kebudayaan HR Minggu, surat kabar mingguan yang berafiliasi kepada PKI. Goenawan adalah penanda tangan Manifes Kebudayaan, lawan politik sastrawan “kiri” kala itu. Setelah bebas pada 1979, Amarzan bergabung dengan Tempo. Keduanya kemudian bersahabat.
Mengunjungi Pulau Buru bersama mereka, saya membayangkan sebuah “pertempuran ideologis” sepanjang jalan. Itulah sebabnya, mendengar niat itu, saya menggoda keduanya dengan sepucuk pesan pendek. “Jika sastrawan Lekra dan peneken Manikebu pergi ke Pulau Buru, rasanya dibutuhkan anak muda yang lebih netral.” Goenawan membalas singkat, “Ya, kamu ikut.”
Karena kesibukan keduanya, hampir setahun rencana itu tertunda. Baru akhir Juli lalu kami akhirnya berangkat. Belakangan ikut pula peserta lain: Teguh Ostenrik (perupa), Alif Imam (wartawan Radio 68H), Laksmi Pamuntjak (novelis), dan Ian White (sutradara film dokumenter asal Australia).
***
HENGKANG dari Jakarta dengan pesawat paling pagi, tak ada yang istimewa sepanjang perjalanan Jakarta-Ambon. Menginap di ibu kota provinsi semalam, perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang KM Lambelo, kapal penumpang PT Pelni berbobot mati sekitar 10 ribu ton yang berlayar ke seantero Maluku.
Empat jam melaut menuju Buru, dari jendela kamar kelas dua berkapasitas enam tempat tidur tampak samar-samar Teluk Kayeli, tempat kapal kami akan membuang sauh. Langit mendung di atas laut yang airnya menjilat-jilat. Dari jendela kamar yang kacanya suram oleh embun, Amarzan dan Goenawan memandang keluar. Jauh. Pulau itu adalah kampung halaman bagi Amarzan, dan sepercik sejarah bagi Goenawan.
Amarzan bercerita tentang pacar yang dulu ia tinggalkan, lalu ia surati lagi dari pulau ini. “Ia malah mengirimkan foto dua anaknya,” katanya. Laksmi bersiap terharu, tapi Amarzan membuyarkannya dengan sebuah guyon pendek. “Ketika kami berjumpa, sepuluh tahun kemudian, ia sudah segini,” katanya sambil menggerakkan tangan menggambarkan seorang yang berpinggang lebar. Kami tersenyum.
***
INI adalah perjalanan yang kedua bagi Amarzan setelah bebas. Tahun lalu ia ke sana untuk sebuah perjalanan jurnalistik. Buat Goenawan, ini juga kunjungan yang kedua. Pada 1969, ia datang meliput kehidupan tapol bersama rombongan wartawan. Bagi yang lain, ini kedatangan yang pertama.
Buru adalah pulau ketiga terbesar di Maluku. Luasnya sedikit lebih lebar dari Pulau Bali. Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, adalah kota yang sibuk: hotel, pasar, dan tempat hiburan tumbuh subur di sana.
Dari Namlea ke unit-unit bekas barak para tahanan dibutuhkan waktu 45 menit dengan mobil. Dulu, terdapat 22 unit barak tapol di sana. Unit I hingga XVIII, lalu unit R, S, dan T dengan lokasi yang terserak. Ada satu lagi, Jiku Kecil, unit khusus untuk mengisolasi tahanan yang membangkang, yang kemudian disebut Ancol. Kecuali Ancol, tiap unit diisi sekitar 500 tahanan.
Kini tak ada barak lagi di sana. Satu-satunya bangunan yang tersisa di bekas Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Buru--nama resmi tempat pengasingan itu--hanya bekas gedung kesenian di Unit IV/Savanajaya; kini Desa Savanajaya. Hampir semuanya berubah digilas waktu. Hutan berganti kampung dan sekolahan. Barak-barak rata tanah.
Yang tetap adalah bukit-bukit kayu putih yang memagari pulau, juga matahari yang dulu memanggang punggung para tahanan. Di bawah hutan, hamparan sawah, dan Sungai Wayapu yang berkelok-kelok.
Jalan menuju unit sudah mulus. “Sudah diaspal menjelang Presiden Yudhoyono datang meresmikan panen raya beberapa bulan lalu,” kata Man Hukom, lelaki yang mengantar kami berkeliling. Di antara deru musik dangdut yang meluncur dari audio mobil, Amarzan berkata lirih, “Seluruh jalan di sini dulu pernah saya lalui dengan berjalan kaki tanpa sepatu.”
Delapan tahun lelaki 65 tahun itu menghabiskan usia produktifnya di pulau durjana itu. Mula-mula ia ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba, lalu ke Nusakambangan, kemudian pada 1971 ke Pulau Buru. Baru pada 1979 ia bebas, bersama Pramoedya Ananta Toer dan ratusan tahanan lainnya.
Telah lama saya mendengar cerita Amarzan tentang kehidupannya di Buru: kerja paksa, menyantap tikus dan kucing sebagai menu makanan siang, menyaksikan pembunuhan, menemukan kawan bunuh diri, bersiasat agar tak dipukul penjaga, dan masih banyak lagi.
Tapi hampir saya tak menemukan “pertentangan” Lekra versus Manikebuis. Satu-satunya “debat halus” adalah ketika Teguh menggoda Lekra dan Amarzan yang pernah melarang musik Beatles masuk Indonesia. Alih-alih menyanggah, Amarzan malah bergurau. “Lho, saya malah dulu pakai sepatu ala Beatles yang lancip ujungnya.”
Amarzan bercerita, ia kerap berbeda pendapat dengan aktivis Lekra lainnya. Pernah suatu ketika ia menolak HR Minggu memuat nama dan alamat penanda tangan Manifes Kebudayaan secara bersambung. “Mereka bisa diteror Pemuda Rakyat,” kata Amarzan ketika itu. Pemuda Rakyat adalah organ pemuda PKI. Menyeruput kopinya, Goenawan takzim mendengarkan. Menurut dia, baru kali ini ia mendengar informasi itu.
***
BELUM lagi lokasi kuburan para tapol kami temukan, seorang perwira muda polisi menemui kami dengan sebuah pesan singkat: Ian White harap segera menghadap Kapolres.
Sejak sehari sebelumnya, keberadaan Ian dipersoalkan. Di kantor Polsek Waeapo ia diinterogasi: apa tujuan kedatangan, mengapa membuat film, dan sebagainya. Setelah dijelaskan, Pak Kapolsek membiarkan Ian pergi.
Kini ia diminta datang lagi ke Polres, kantor polisi di tingkat kabupaten, yang jaraknya 45 menit perjalanan. Untuk apa?
Ian adalah lelaki yang menyenangkan. Bahasa Indonesianya bagus. Unggah-ungguh-nya menyerupai perangai lelaki Jawa. Di usia 40-an ia energetik merekam setiap detail perjalanan kami. Ia membuat banyak film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Satu yang membuat Ian mudah dikenali: rambut lurusnya yang setengkuk tak pernah mengenal sisir.
Kami tak membiarkan Ian berangkat sendiri ke Kantor Polsek. Tapi inilah akibatnya: empat jam kami termangu di kantor polisi yang megah itu. Kami duduk di luar, dekat loket pembuatan SIM. Enak duduk di sini: angin semilir, gunung menjadi pagar langit pada sore berwarna kesumba. Goenawan membaca Stigmata karya Helene Coxous. Laksmi membolak-balik Mute’s Soliloquy, catatan Pramoedya terhadap Pulau Buru. Teguh memotret. Alif sibuk mengecek apakah pemeriksaan Ian sudah rampung. Tak lama kemudian giliran identitas kami satu per satu dicatat.
Kabar tentang “penangkapan” itu beredar cepat. Pesan pendek jumpalitan antara kami dan sejumlah kawan di Jakarta. Ian akhirnya “dibebaskan”, dan dengan sopan-santun yang terasa berlebihan, seorang intel muda mencoba menjelaskan keadaan. “Kami cuma mendata. Tolong, jangan diperpanjang,” katanya. Belakangan, intel muda itu menjadi sangat ramah. Dialah yang mengabari saya ada intel lain dari Kodim yang menyusup ke dalam rombongan kami.
Apa pasal? Entahlah. Asisten intelijen Kapolres memberi tahu bahwa Buru memang sedang rawan. Pilkada sebentar lagi dilangsungkan. Lalu ada pula pemerkosaan anak balita yang segera berkembang menjadi isu babi ngepet. Kami mencoba tak ambil pusing. Menjelang tengah malam kami kembali ke penginapan.
***
“SAYA datang dari tempat di mana semua orang harus disiplin,” kata Amarzan. Yang disindirnya adalah Alif Iman, yang pagi itu datang terlambat. Lelaki setengah baya itu lalu bercerita. Saban pukul lima pagi, para tahanan sudah dibangunkan penjaga dengan teror tembakan ke atas. Berlari-lari para tapol menuju lapangan. Ada yang sesekali memungut selongsong peluru.
Di dalam barisan, semua tak boleh bergerak meski nyamuk pagi menyantap tubuh tahanan yang hanya ditutup pakaian seadanya. Tak ada yang boleh menepuk serangga itu. Jika terdengar bunyi tepukan, plak! tempeleng mendarat di pipi.
Tiap pagi kami keluar Losmen Waeapo di dekat bekas Mako, Markas Komando Inrehab. Tak ada tembakan para penjaga seperti tiga puluh tahun lalu. Hanya sedikit rasa waswas bahwa kami diikuti intel lagi.
Pagi itu kami menelusuri Unit XVI/Indrakarya, unit tempat tinggal Amarzan. Dari ujung jalan sudah tampak deretan rumah di pinggir jalan yang tak mulus itu. Di muka sebuah sekolah, Amarzan berhenti. Ia mengira-ngira. “Ya, ini dulu bekas barak. Inilah kampung halaman saya,” katanya mengenang. Ia berusaha tak sedih, meski saya melihat awan hitam menggantung di bola matanya.
Buru adalah mimpi buruk buat siapa pun, tak terkecuali lelaki yang menjadi pemandu kami itu. Tapi bertahun-tahun berteman dengannya, hampir tak pernah saya mendengar ia bercerita tentang kepahitan hidup di sana. Kalaupun ada, biasanya selalu dibungkus dengan gurau.
Soal penyiksaan yang ia terima setidaknya baru dua kali saya mendengar. Pertama ketika ia “keceplosan” dalam sebuah makan malam di Jakarta. Yang kedua di Buru hari itu. Katanya, dua kali ia dipukul: ketika ketahuan membesarkan volume televisi dan dipergoki menimbun papan untuk dijual. Selain itu, dalam interogasi di Jakarta pernah pula ia disetrum. “Sehabis disetrum, biasanya suara kita jadi kecil,” katanya.
Kekerasan terhadap tapol berkurang ketika Inrehab dipimpin oleh Kolonel Samsi M.S. Semasa kepemimpinan Samsi, para tapol diizinkan ke Namlea untuk berdagang. Samsi juga tak sungkan berjalan di depan tapol yang ia titipkan senapan miliknya--tindakan yang sebenarnya berbahaya. Samsilah orang yang pernah menampar Pramoedya, meski kemudian kekerasan itu disesalinya dengan meminta maaf kepada Pram. Kuat diduga Samsi dijadikan Komandan Inrehab karena tekanan internasional.
***
DI pinggir Danau Waybabi kami duduk. Inilah danau alamiah yang mengalirkan air ke seratusan hektare sawah yang dibuat tapol Unit XVI. Amarzan memanjat tebing kecil, memastikan posisi sebuah gubuk tua yang dulu sering ia pakai sebagai tempat mengaso. Di bawah kami air danau yang cokelat berkecipak, antre di antara batu dan sisa daun.
Di sela-sela sawah itulah Amarzan menjalankan tugasnya sebagai administratur unit. Tugasnya memastikan tapol bekerja pada petak sawah yang ditetapkan. Setiap unit diberi target menghasilkan sekian kuintal padi tiap musim panen.
Untuk itu para petugas secara rutin menemui administratur unit untuk mengecek jumlah tapol yang bekerja pada tempat dan waktu tertentu. Jika jumlah orang yang bekerja versi administratur tak cocok dengan catatan petugas, persoalan biasanya muncul.
Tapi orang seperti Amarzan selalu punya jawaban terhadap perbedaan angka itu. Katanya, pada menit itu sejumlah orang sedang buang air, sekian orang mencari ikan. “Kalau tidak ada yang ditugaskan mencari ikan, pekerjaan bisa bubar karena semua orang pergi mengail,” katanya. Biasanya, mendengar jawaban itu petugas percaya.
Saya menyergah, “Dari cerita itu terkesan hubungan tapol dan penjaga layaknya hubungan produksi biasa, bukan hubungan antara tapol dan tentara.” Amarzan mengangguk.
Saya menduga keterangan Amarzan itu menunjukkan dia mengambil sisi positif dari peristiwa yang dialaminya. “Saya kira Amarzan punya sense of irony,” kata Goenawan. Pada kesempatan yang lain Amarzan membuat pengakuan. Katanya, ia bisa lebih rileks menghadapi masa sulit itu karena ketika itu belum berkeluarga. Saya kira dia ada benarnya.
***
ADA yang aneh dengan kamar ketujuh di Losmen Waeapo malam itu. Pengelola losmen mengatakan kamar itu baru saja disewa seorang “teman bos dari Ambon”. Namanya Taufik, badannya tinggi dengan muka yang bersih dan rambut yang rapi. Ia memperkenalkan diri sebagai kontraktor yang punya beberapa proyek di Buru. Tapi kurang dari setengah jam berbincang dengannya, ia sudah berganti profesi: pedagang kelontong. Belakangan ia merevisi lagi pekerjaannya dengan mengaku sebagai wartawan freelance di berbagai media di Ambon. Media apa? Dia tak bisa menjelaskan.
Amarzan langsung menghidupkan indra keenamnya. “Saya kira dia intel,” katanya curiga. Kami berusaha bersikap wajar. Goenawan bergurau, “Kita baru saja mendapat satu lagi local army friend.”
Malam itu, meski baru kenal, Taufik tak sungkan nimbrung dengan kami di ruang tengah. Sepanjang obrolan itu terasa benar bahwa ia ingin menggali motif kami ke Pulau Buru.
Percakapan usai menjelang pukul tiga pagi dan kami kembali berkumpul lima jam kemudian. Taufik muncul belakangan. Entah karena terkesan kami tak percaya bahwa dia wartawan, pagi itu ia tampil lebih meyakinkan. Sebuah tanda besar tergantung di dadanya: P.E.R.S.
Saya tersenyum kecut. Dibandingkan 30 tahun lalu, kata saya dalam hati, Pulau Buru tak berubah: tetap banyak intel.
No comments:
Post a Comment