Ketika ujian nasional pekan lalu, di media sosial beredar
lembar soal yang sudah dijawab seorang murid sekolah dasar. Nilai ujiannya nol
karena siswa itu hanya menjawab “benar” dan “jujur” untuk setiap pertanyaan
mata ajaran pendidikan kewarganegaraan. Guru yang menilainya menganggap dua
jawaban tersebut keliru dan kesalahan itu menunjukkan kegagalan siswa memahami
petunjuk soal.
Benarkah begitu? Petunjuknya memang berbunyi “Jawablah
pertanyaan dengan jujur dan benar”. Apa yang keliru? Anak itu telah
melaksanakan petunjuk dengan patuh. Dan ia mendapat nilai nol untuk
kepatuhannya itu. Tak ada yang bisa melakukan verifikasi apakah lembar soal dan
jawaban itu benar-benar terjadi atau keisengan seseorang untuk menertawai
petunjuk soal dalam ujian nasional yang tak jelas dan lebih rumit daripada
pertanyaannya.
Makna yang dihasilkan dari susunan kalimat dalam
petunjuk itu tak sama dengan pemahaman si anak atas makna yang hendak disampaikan
penulisnya. Bagi pembuatnya, petunjuk itu bermakna perintah agar para siswa
menjawab setiap pertanyaan secara jujur dan benar mengacu pada isi
pertanyaannya. Siapa yang keliru dalam memahami makna kalimat yang terkandung
dalam petunjuk soal itu? Bahasa Indonesia menyediakan ruang saling salah paham
memaknai sebuah kalimat karena arti ganda yang dihasilkannya.
Barangkali benar apa yang disimpulkan oleh Richard D.
Lewis dalam When Cultures Collide. Ahli komunikasi dari Inggris yang
fasih berbicara dalam sebelas bahasa ini menyimpulkan bahwa para penutur bahasa
Indonesia kerap memakai kata dan kalimat yang ambigu dan eufemistis. Dalam buku
yang edisi ketiganya terbit akhir tahun lalu itu, Lewis menyimpulkan bahwa bahasa
Indonesia tak cukup efektif dalam diplomasi dan negosiasi ketika lawan
bicaranya seorang penutur bahasa yang terbiasa memakai kalimat denotatif.
Untuk sebagian orang Indonesia, bahasa Indonesia
adalah bahasa asing. Ia berawal dari bahasa Melayu Riau yang dipilih sebagai
bahasa pemersatu oleh para aktivis dan politikus pada 1928. Sejak itu, para
penutur bahasa dari suku lain memakainya dalam percakapan resmi, selain karena
diajarkan di sekolah. Bahasa-ibu hanya dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan
informal. Maka bahasa Indonesia perlu dipelajari sungguh-sungguh.
Dalam perkembangannya, bahasa ini berubah dalam
struktur dan kaidah pemakaiannya. Sampai 1980, bahasa Indonesia mengacu pada
bahasa Belanda. Kini bahasa Indonesia lebih berkiblat pada bahasa Inggris,
karena bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak dipelajari
orang Indonesia. Menurut Lewis, bahasa Inggris cenderung menghindari
konfrontasi, santun, dan humor yang tak efisien.
Penutur bahasa Indonesia terbanyak adalah orang Jawa
dan Sunda, karena populasi dan persebaran suku ini hampir ada di seluruh wilayah.
Bagi orang Jawa dan orang Sunda, bahasa adalah seloka: kata dan kalimat tak
mesti mengacu pada makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak
punya padanan untuk menyebut penis dan vagina. Dengan undak-usuk yang
ada dalam bahasa-ibu mereka, bahasa Indonesia yang berasal dari suku yang suka
blakblakan menjadi cenderung eufemistis. Budaya yang menganggap tak berbicara
langsung pada makna sebenarnya sebagai ukuran kesopanan kian mendorong bahasa
Indonesia menjadi ambigu.
Bagi orang Jawa dan Sunda, kata “aku” dan “kau” agak
kasar karena menunjuk langsung, sementara “anda” terlampau formal. Dalam
pidato-pidato, kita sering mendengar seorang pembicara berkata, “Salam
sejahtera untuk kita semua.” Alih-alih “anda”, “kita” dipakai untuk
menyembunyikan kekurangajaran berbicara secara langsung karena penutur menjadi
terlibat menerima salam. Bagaimana bisa salam ditujukan untuk diri sendiri?
Eufemisme kian meluaskan kesalahan berbahasa karena
penutur bahasa Indonesia kerap keliru memakai kata ganti. “Kita sudah laporkan
situasi ekonomi kepada presiden” kerap kita dengar. Padahal, semestinya, kata
ganti yang tepat adalah “kami”. Di beberapa daerah Jawa Barat, demi sopan
santun, “kita” bahkan dipakai untuk kata ganti orang kedua, “kamu”.
Maka beginilah bahasa Indonesia hari ini: mengacu pada
struktur bahasa Inggris dan penutur terbanyaknya orang Jawa dan Sunda.
Dua-duanya punya kecenderungan eufemistis dan ambigu. Siswa sekolah dasar yang
menjawab “jujur” dan “benar” itu hanya bisa ditandingi oleh Kabayan,
bodor-jenius yang lahir dari kesenangan orang Sunda berkelakar. Alih-alih
menimba air, Kabayan tidur di bak mandi ketika disuruh Abah, mertuanya, mengisi
kulah.
*) Bagja Hidayat, Wartawan Tempo
Kolom Bahasa di majalah Tempo edisi 26 Mei - 1 Juni 201.
No comments:
Post a Comment