BISAKAH kita percaya kepada orang semacam John Perkins? Ia
menyebut dirinya bandit ekonomi. Tugasnya memasok informasi sumberdaya alam di
negara-negara miskin untuk korporasi Amerika. Ia membujuk pemerintah negara
yang ia kunjungi agar menerima pinjaman Bank Dunia dan IMF. Lalu membual
tentang pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan terciptanya investasi.
Padahal semua itu hanya tipu-tipu. Utang membuat debitor
Bank Dunia bangkrut, sementara sumberdaya alamnya sudah dikuasi perusahaan
Amerika. Kenyataan terbalik dengan apa yang dilaporkan Perkins: ekonomi
dinikmati segelintir orang kaya, lapangan kerja seret, investasi hanya alat
agar penguasa bisa berkorupsi ria. Pendeknya, sebuah penjajahan terselubung.
Kini Perkins telah insyaf. Ia membuat pengakuan tentang
pekerjaannya dan perusahaan yang mempekerjakan yang telah memberinya kemewahan
dan kesenangan. Bukunya disambut meriah. Orang seakan punya sekutu baru buat
menohok Amerika yang sejak dulu tak pernah bisa dibuktikan kesalahannya.
Perkins mendadak tenar.
Ia berceramah dan kembali berkeliling dunia dengan profesi
baru: penulis. Ia bertemu banyak orang , para pejabat Bank Dunia dan IMF, yang
berani bercerita tentang misi rahasia dua lembaga itu setelah membaca bukunya.
Bahkan para bandit yang seprofesi dengannya juga muncul.
Perkins pun terdorong menulis buku kedua. Judulnya bagus: The Secret History of The American Empire
dan telah diindonesiakan. Buku kedua ini mengupas agak lebih panjang
kunjungannya ke Indonesia, bagaimana ia menghasut para pejabat kita (tanpa
nama, tentu saja) agar mengorupsi triliunan utang itu. Tidak seperti buku
pertama yang menceritakan Bandung di tahun 1970-an, kota yang dijadikan markas
oleh para bandit itu, kali ini fokusnya Jakarta dan Makassar.
Di Jakarta, Perkins tinggal di Intercontinental Hotel di
Jalan Sudirman. Di hotel mewah ini, ia bertemu para gadis Asia yang mengaku
sebagai “geisha”. Perempuan 20-an tahun ini punya koneksi dengan top eksekutif
perusahaan minyak dan pejabat-pejabat Indonesia. Mereka rupanya juga sejenis
bandit, yang bekerja lebih lembut ketimbang Perkins: dengan layanan seks dan
gemerlap gaya hidup.
Lalu Perkins terbang ke Makassar. Di provinsi ini ia bertemu
pejabat daerah dan Buli, seorang pembuat perahu. Kepada Perkins, Buli
mengatakan kalimat yang sangat cerdas untuk ukuran seorang tukang perahu di
pedalaman Makassar di tahun 1971: “Kami kalah. Bagaimana segelintir orang dalam
kapal kayu bisa menandingi kapal selam, pesawat, bom, dan misil orang Amerika?”
Perkataan Buli ini kelak mengubah hidup Perkins. Nuraninya
terketuk melihat orang-orang tak berdaya seperti Buli yan meruyak di
negara-negara miskin di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Mereka menjadi
miskin karena kalah dalam rebutan sumberdaya alam dengan korporasi besar dari
Amerika yang menjarah karena ulahnya. Perkins insyaf dan membuat pengakuan dosa
lewat dua bukunya ini.
Bisakah kita percaya? Perkins insyaf setelah dunia memasuki
babak baru dengan runtuhnya menara kembar World Trade Center, empat belas tahun
lalu. Sejak itu Amerika dengan terbuka mengumumkan musuh barunya: teroris.
Teroris yang labelnya dilekatkan kepada Islam—sebuah agama yang mengategorikan
membunuh sebagai dosa besar.
Dan negara-negara Muslim umumnya kaya cadangan minyak.
Amerika sudah lama diramalkan bakal terkena krisis energi karena cadangan
minyaknya sudah sangat tipis. Amerika sedang butuh emas hitam itu untuk
menopang gaya hidup boros mereka. Untuk merengkuhnya, Amerika perlu menegakkan
sebuah imperium agar bisa sesuka hati mengeduk minyak dari negara mana saja.
Kenapa Perkins insyaf setelah “Selasa Kelabu” itu? Tidakkah
ini juga sejenis bualannya agar dunia kompak membenci Amerika. Sebab, jika ini
terjadi kehausan Amerika tentu saja terpuaskan: Amerika tak perlu lagi
susah-sungguh menciptakan musuh barunya—setelah Uni Soviet—untuk menciptakan
Imperium itu.
Musuh sudah nyata di depan mata, atas nama sosialisme atau
khilafah Islamiyah. Amerika, dengan begitu, bisa leluasa mengirimkan misil dan
pasukan tanpa harus menyiapkan sederet argumen seperti ketika mereka menginvasi
Afganistan atau Irak.
Dengan kata lain, dengan atau tanpa pengakuannya ini,
Perkins tetap saja seorang bandit ekonomi—ujung tombak impian Amerika itu.
Lagipula apa yang diungkapkannya tak jauh beda dengan yang sudah diuraikan
Joseph Stiglitz, bekas Kepala Bank Dunia. Bedanya, Stiglitz memaparkan niat
busuk Bank Dunia dan IMF secara akademis, Perkins berdasarkan pengalaman
personal. “Tapi kesimpulan kami identik,” tulisnya.
Jadi, apa yang baru? Betapapun kita meragukan niat baik
Perkins, fakta yang ia sodorkan menarik dan untuk beberapa segi cocok dengan
apa yang dialami Indonesia. Kini, perusahaan-perusahaan minyak dunia bersuka
cita menghisap perut bumi Indonesia sementara kita terkena krisis energi:
minyak langka, listrik byar-pet, berpaling ke nuklir segala. Korupsi sampai
kini menjadi gaya hidup tukang sapu hingga pejabat tinggi. Anggaran kita habis
untuk bayar utang.
Semua itu tak lain “jasa” para bandit ekonomi. Indonesia,
kata Perkins, memang sebuah contoh yang sangat berhasil dari proyek rahasia
para jakal itu. Mereka suskes menularkan dan
menjarah Indonesia dalam segala segi: sumberdaya, budaya, sistem
bernegara.
Apapun niat Perkins, bukunya layak disimak; pengakuannya
patut didengar, terutama karena kisahnya menghibur dengan sajian gaya cerita
detektif. Diksinya khas seorang bandit: nyinyir, kasar, dan provokatif. Minimal
kita tahu sudah sejauh mana Amerika menjajah kita.
Dimuat juga di Indonesiana Tempo.