Showing posts with label profil. Show all posts
Showing posts with label profil. Show all posts

Wednesday, February 17, 2016

KISAH DAUS: DARI PENCUCI PIRING MENJADI JURAGAN RESTO DI LONDON



Rupanya Pak Daus makin terkenal. Setelah saya tulisprofilnya pada 2012, ia menjadi bintang tamu acara Hitam Putih Trans7 dengan pemandu mentalis Deddy Corbuizer dan dua kali nampang di koran Kompas dan diliput TVOne. Pak Daus layak untuk itu karena ia inspirasi tentang semangat pantang menyerah dan kerja keras.

Nama lengkapnya Firdaus Ahmad. Ia lahir 57 tahun lalu dari keluarga Betawi di Sentiong, Jakarta Pusat. Ayahnya adalah sekretaris Wahid Hasyim jika Menteri Agama pertama ini (1949-1952) menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang kantornya di Kramat itu. Tapi Pak Daus buru-buru menjelaskan bahwa jabatan sekretaris zaman itu tak usah dibayangkan sebagai orang hebat. “Tugasnya menyediakan koran dan membuat kopi,” katanya.

Setelah mengenalnya cukup lama, saya tahu itu kalimatnya yang merendah, tapi bisa jadi kenyataannya seperti itu. Pikiran Pak Daus sangat sederhana. Ia tak melihat dunia dari sisi yang rumit. Ia tak suka melebih-lebihkan sesuatu, bahkan cenderung apa adanya, meski yang apa adanya itu sebetulnya tinggi juga.

Misalnya, kepada semua tamu Wisma Indonesia ia selalu menyebut dirinya sopir tiap kali menjemput mereka dari bandara Heathrow atau Gatwick. Biasanya orang percaya karena mereka berhubungan dengan Usya Suharjono, istri Pak Daus. Padahal, justru Daus pemilik penginapan 10 kamar bertarif 25 pound semalam di Colindale, London, itu. Ketika saya menyindirnya “sok merendah”, dia bilang, “Kan kenyataannya saya menjemput, menyopiri, mengantar tamu sesuai tujuan mereka.” Benar juga, sih…

Pak Daus mungkin memilih sudut pandang seperti itu. Dan saya kira itu cara berpikir yang mengantarnya sukses seperti sekarang. Tentu saja, sukses itu ukuran menurut saya, yang kagum menyimak perjalanan hidupnya yang berwarna: dari seorang kondektur mikrolet jurusan Kampung Melayu-Bekasi menjelma pengusaha restoran Indonesia yang besar di London, salah satu kota termahal di dunia.

Setelah lulus SMA 1 Indramayu, Jawa Barat, Daus kembali ke Jakarta. Tak punya pekerjaan dan tak bisa kuliah, ia menjadi kondektur mikrolet itu. Di Indramayu sebetulnya dia “dibuang” gurunya karena berkelahi di sekolah. Ia tinggal di rumah neneknya yang sudah meninggal, sehingga harus menyediakan keperluan sekolah dan biaya sendiri. Maka sepulang sekolah ia suka ikut truk sayuran agar bisa dapat tips dari sopir karena ikut menurunkannya di pasar.

Pada pertengahan 1981, Daus membaca berita rencana perkawinan Putri Diana dan Pangeran Charles di koran yang disebut “perkawinan abad ini”. Pak Daus suka punya pikiran nyeleneh tapi serius. Ia bilang ke ibunya, ingin bisa melihat langsung perkawinan Putri Diana. Ibunya tertawa mendengar omongan anak sulungnya. Daus dianggapnya sedang mengigau.

Dan igauan itu mulai terlihat jadi kenyataan ketika seorang kerabat jauh yang bekerja jadi sopir di Kedutaan Indonesia di London pulang ke Indonesia. Daus meminta dibukakan jalan bisa ke London, tapi tak punya uang untuk tiket.

Setelah merengek terus, kerabat itu mungkin jengkel juga. Ia mengirim tiket sekali berangkat. Sayangnya, tiket dikirim September, dua bulan setelah pernikahan akbar itu. Daus pun terbang ke London tanpa tujuan pasti. Ia hanya ingin melihat kerabatnya bekerja di negara Ratu Elizabeth tu sambil berharap siapa tahu ketemu pangeran dan putrinya sedang jalan-jalan di taman. Ya, siapa yang tahu, mereka runtang-runtung tanpa pengawalan…

Hari keberangkatan pun ditentukan dan kerabat itu berjanji menjemputnya di bandara Gatwick. Setelah perjalanan panjang 18 jam dengan Garuda Indonesia lewat Riyadh dan Paris, Daus tiba di London. Di bandara besar ini orang banyak sekali dan semua tulisan di sana tak ia mengerti. Ia tahu itu bahasa Inggris tapi tak paham artinya. Maka setelah melewati meja imigrasi ia bingung mencari pintu keluar.

Daus tak tahu harus menghubungi siapa. Ia pun duduk termangu selama dua jam. Jauh hari kemudian ia baru tahu jika si kerabat itu menunggu dengan jengkel dan putus asa di tempat jemputan. Ia hampir saja pulang dan mengira tamunya tak jadi datang seandainya Daus tak mendapatkan ide cemerlang setelah dua jam duduk.

Ia perhatikan semua penumpang. Ia berasumsi mereka yang kusut masai adalah penumpang yang baru tiba dari perjalanan yang jauh. Maka mereka pasti menuju pintu keluar untuk pulang ke rumahnya. Daus pun mengikuti mereka menuju pintu bertuliskan “EXIT”. “Saya baru tahu artinya ‘exit’, ya, hari itu,” katanya, terbahak tiap mengenang peristiwa itu. Pintu EXIT itu sudah ia lihat selama duduk dua jam itu. Haduh…

Dan mulailah perjalanan hidupnya di London. Kunjungan sebulan itu ia manfaatkan dengan ikut bekerja sebagai sopir. Jika kerabatnya berhalangan ia yang menggantikan, sampai ia mendapat pekerjaan sebagai “DJ” atawa pencuci piring di sebuah restoran Indonesia yang tukang masaknya adalah seorang koki dari Malaysia.

Tiba-tiba perusahaan itu bangkrut, setelah Daus pulang dan memperpanjang visa. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah menyita lalu menjualnya. Dan pembelinya adalah tukang masak dari Malaysia itu! Hidup benar-benar seperti roda. Restoran itu kini masih berdiri dengan tukang masak orang Indonesia yang tadinya pemilik rumah makan itu.

Seorang pengusaha Singapura lalu mendirikan restoran Nusa Dua. Daus diajak serta. Kali ini pangkatnya lebih tinggi, sebagai chef. Sewaktu menjadi “DJ” itu, Daus belajar bagaimana memasak. Masakannya enak dan pengusaha itu tertarik membuat resto baru dengan masakan racikan Daus.

Restoran baru itu juga tak berjalan lama. Pemiliknya tak meneruskan cicilan modal sehingga Royal Bank of Scotland mengambil alih. Daus, pada 1991 itu sudah memperistri Usya Suharjono, mahasiswi sekolah manajemen di London, kelimpungan tak punya pekerjaan. Ia pun punya ide yang absurd pada masa itu: mengambil alih restoran dan menjalankannya sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Ia dan Usya mendatangi RBS untuk bernego. Usya yang menjadi negosiator karena bahasa Inggrisnya lebih lancar. Usya tinggal di London mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai wartawan BBC seksi Indonesia. Sejak lulus SMA 2 Jakarta pada 1983 ia pindah ke London dan kuliah di sana, lalu ketemu Daus dan menikah.

Daus menawarkan mengambil alih restoran Nusa Dua di SOHO itu, daerah elite dan pusat keramaian London. Ia bilang, daripada RBS keluar uang pajak memelihara aset yang tak menghasilkan lebih baik diberikan kepadanya. Keuntungan RBS adalah mendapat cicilan kembali dan tak perlu bayar pajak karena sudah ia tanggung. Jika dalam setahun cicilan 1.000 pound (Rp 17 juta kurs sekarang) tiap bulan macet, RBS bisa ambil kembali restoran itu dan uang yang sudah dibayarkan Daus hangus. Deal. Daus kini jadi pemilik Nusa Dua.

Ia belanja sendiri dan masak sendiri juga menservis tamu sendiri. Ia bekerja keras mengembalikan pelanggan-pelanggan yang kabur akibat restoran tutup. Karena kualitas masakan tak berubah, pelanggan lama kembali dan pelanggan baru datang. Para pesohor dunia jadi pelanggannya, seperti gitaris Beatles Paul McCartney, Simon Cowell, Sade… Daus bisa mencicil utang 100 ribu pound secara rutin hingga lunas enam tahun kemudian.

Ia jadi pemilik mutlak restoran itu. Saya bertemu Pak Daus di restorannya pada 2012. Sewaktu diundang pemerintah Inggris melihat persiapan Olimpiade, seorang humas Kedutaan Inggris menyelipkan namanya karena saya minta kontak orang Indonesia di London yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Awalnya saya tak berminat karena menyangka Daus tak menarik. Dari namanya dan nama istrinya yang tak umum untuk nama Indonesia biasa, saya menduga mereka pasangan dari keturunan keluarga tajir yang buka restoran di London sekadar iseng saja. Maka sewaktu janjian bertemu, saya membayangkan sebuah wawancara yang garing. Pak Daus mungkin orang kaya ngehek yang tak berkeringat mendapat kekayaan melimpah.

Dugaan itu buyar begitu bertemu. Restorannya masih tutup karena masih siang, sebab koki masih memasak untuk jam makan malam. Ia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek yang agak lusuh, bukan jas mahal. Hanya bercelana jins dan kalau tertawa malu-malu. Ketika berbicara ia juga lebih banyak menunduk. Sewaktu mulai sesi wawancara ia menolak dan malah menyilakan makan. “Sudah seminggu makan sandwich terus kan?” katanya.

Waktu itu memang menggiurkan. Di meja penuh masakan Indonesia: sayur asam, ayam kremes, krupuk, terong balado, soto ayam. Tiap kali mau wawancara yang serius dengan menggali profilnya, Daus melengos dan merasa tak pantas diberitakan. “Saya ini dulu penggemar Tempo, Pak,” katanya. “Saya suka baca di kantor Bapak saya. Yang jadi berita kan orang-orang hebat, masak saya ditulis di Tempo?”

Gaya bicaranya ceplas-ceplos dan kental dengan logat Betawi, logat yang melekat ketika ia bicara Inggris dengan pelanggannya. Ia berpikir lama sampai akhirnya setuju profilnya dimuat. Bagi wartawan, mendapat narasumber seperti Daus ibarat perjaka bertemu pacarnya yang menempuh hubungan LDR. Menggairahkan. Profil Daus sungguh berwarna, dramatis, unik, nekad. Tak banyak orang seperti dia.

Bersama Usya mereka punya dua anak perempuan dan satu laki-laki. Dua anak perempuannya sudah bekerja di lembaga-lembaga internasional di lain negara. Si bungsu masih kuliah di London.

Dan Usya agaknya setipe dengan Daus. Perempuan 52 tahun inisukses menggelar “Hello Indonesia”, program promosi Indonesia di London sejak2014 yang ia bikin dan biayai sendiri. Ia sudah melobi pemerintah tapi tak kunjung ada bantuan. Kalaupun ada hanya secarik memo dari Kedutaan yang menyatakan ia memang benar penyelenggara Hello Indonesia.

Pemerintah Kota London menilainya sukses menggelar acara di Trafalgar Square. Jika tahun-tahun sebelumnya Usya harus antri menyewa landmark Kota London itu, tahun ini pemerintah yang bertanya apakah ia akan memakainya lagi dan menyediakan waktu 14 Agustus 2016.

Usya beberapa kali bertemu Wali Kota London Boris Johnson. Alih-alih mengundang pemerintah Indoensia, Boris malah mengundangnya dalam perayaan Idul Fitri tahun lalu. Maka Usya satu-satunya orang yang bukan ofisial pemerintahan di antara banyak undangan.

Tahun ini Nusa Dua pindah ke ruangan yang lebih luas di China Town yang lebih ramai, di jantung London. Daus kini sedang mengincar sebuah gedung besar bekas mal yang disita pemerintah karena bangkrut. “Saya mau bikin bangunan itu jadi hotel,” katanya. *


Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo
.

Monday, September 28, 2015

LURAH YANG MEMBEBASKAN DESANYA DARI ASAP ROKOK



Rancangan Undang-Undang Kebudayaan memasukkan kretek sebagai warisan budaya Indonesia. Artinya, kretek disamakan dan sederajat dengan Borobudur, sendra tari, angklung, wayang golek, wayang kulit, batik. Karena sejajar itu pula kretek harus dipromosikan agar warisan itu tak menghilang ditelan zaman.

Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan, yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.

Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid lain.

Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya pendidikan.

Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.

Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.

Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya. Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka.

Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi, Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.

Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.

Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta. Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.

Tentu saja aturan itu segera ditentang. Idris mendatangi penduduk yang ngedumel. Ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Berikutnya ia mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.

Di sana Idris mengajak berhitung. Untung satu bungkus rokok adalah Rp 1.000-2.000. Untung ini hangus karena para pedagang menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Jadi, sebetulnya mereka rugi menjual rokok. Kerugian itu bahkan tak sepadan dengan perjuangan mendatangkan rokok yang dibeli dari pasar. Jarak pasar ke Bone-Bone 20 kilometer, melewati jalan tanah yang berkubang jika hujan.

Fakta itu telah membuka pikiran para pedagang bahwa mereka justru menggerogoti modal warung dengan menjual rokok. Walhasil mereka setuju tak lagi menjual rokok sejak debat dengan Idris itu. Sejak pasokan rokok dihentikan, Bone-Bone pun bebas dari rokok.

Sejak aturan itu dibuat hanya sekali penduduk yang melanggar. Itu pun ia merokok di rumahnya ketika ada tamu. Tetangganya melapor kepada Idris dan ia mendapat sanksi sosial: memintaa maaf lewat speaker masjid lalu membersihkan selokan. Sejak itu penduduk ini kapok dan tak merokok lagi.

Sanksi kedua justru untuk para pejabat dari Kabupaten Enrekang. Syahdan, mereka diutus Bupati La Tinro La Tunrung untuk memberi penyuluhan bagaimana menjadikan Bone-Bone jadi desa teladan. Pemerintah pusat akan datang menilai pada desa-desa yang diusulkan. Bubar penyuluhan Idris mendapat laporan dari anak-anak yang menemukan puntung rokok di rumah terakhir sebelum perbatasan.

Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro, 100 kilometer jauhnya, lewat telepon seluler. Bupati dari Golkar ini sangat mendukung Idris. Ia berhenti merokok dua bungkus Marlboro putih sehari setelah berkunjung ke Bone-Bone. Mendengar aduan Idris, La Tinro memanggil semua kepala dinas yang baru pulang dari sana. Mereka mengaku telah merokok karena perjalanan tercegat hujan. “Saya suruh mereka kembali untuk minta maaf dan bayar denda,” katanya.

Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan, dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp 1,5 juta bahkan ada yang menanggung biaya pembuatan 30 meter jalan beton.

Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012 Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia memimpin desa dengan efektif dan berhasil.

Terutama karena anak-anak kembali ke sekolah setelah tak ada rokok di desanya. Sewaktu saya ke sana, tak ada satu pun anak yang tak sekolah. Di kebun hanya ada orang-orang tua dan anak-anak muda lulusan SMP atau SMA. Bone-Bone yang dingin kian sejuk karena hanya asap dapur yang tercium, warna senja yang sepia, juga aroma kopi Toraja….

Tulisan ini dimuat juga di Indonesiana Tempo.

Tuesday, February 21, 2012

JOKOWI

Ketika hari pengumuman ia menang Pilpres 2014.
TAK banyak orang seperti Jokowi. Walikota Solo ini memberi teladan soal bagaimana seharusnya seseorang jadi pejabat--seseorang yang ditunjuk khalayak untuk dipercaya mengatur hajat hidup orang banyak. Dua jam ia duduk di kantor saya menjelaskan dengan tangkas bagaimana ia mengatur Solo yang dirundung banyak soal pada awal ia memimpin.

Hanya Solo yang kantor walikotanya dibakar hingga tiga kali. Politiknya labil dan banyak ideologi ekstrim berkumpul di sini. PKI dulu punya markas di Jalan Bumi, kini pesantren Ngruki juga ada di Solo. Dan, ya, kerusuhan Mei 1998 dimulai dari kerusuhan kecil di Solo. Jokowi mewarisi itu semua, belum lagi soal birokrasi yang lamban.

Setiap hari ia hanya satu jam duduk di kantornya. Urusan klerikal sudah ia serahkan kepada kepala dinas. Izin-izin dan surat yang perlu diteken sudah ada staf yang mengurusnya. Sisanya, ia habiskan di lapangan: mendengar keluhan-keluhan, melihat apa yang kurang dan bobrok, lalu mencari solusinya dengan cepat. Untuk masalah-masalah yang tak bisa ia putuskan karena menyangkut kepentingan orang banyak, Jokowi mengajak ngobrol mereka dan mengkompromikan solusinya. Bagi dia tak ada soal yang tak bisa diputuskan dengan dialog.

Pemindahan pedagang itu ia harus mengundang para pedagang yang tak mau dipindahkan sebanyak 54 kali sarapan di rumah dinasnya. Ia ngomong langsung, membujuk, dan memaparkan rencana dan keuntungan-keuntungan jika pasar dipindahkan. Pada sarapan ke-54, semua pedagang bersepakat memindahkan lapak mereka. Kini pasar itu terpusat dan tertata rapi. Jokowi menjadi satu dari sedikit Walikota yang berhasil memindahkan pasar tanpa harus ada penggusuran, seperti di banyak kota lain.

Saat periode pertama jadi Walikota, Jokowi membuat "rembug Solo". Pentolan-pentolan masyarakat ia undang sampai tingkat kelurahan. Ada 600 orang dalam setiap pertemuan. Tahun pertama ia hanya diam mendengarkan. Semua orang memaki dan mencurahkan kekesalannya kepada pemerintah. Dari gedung DPRD juga tak sedikit yang mengepruknya.

Tahun kedua, para pemaki mulai bosan marah, mereka menunggu solusi. Jokowi memerinci soal-soal penting yang harus diselesaikan segera. Soal pembuatan KTP, misalnya. Orang Solo mengeluh karena proses membuatnya bisa sampai dua bulan, itupun harus nyogok petugas dengan uang tak sedikit. Jokowi berjanji pembuatan KTP maksimal satu jam dengan biaya administrasi Rp 5.000.

Ia kumpulkan pejabat di bawahnya dan menyampaikan gagasan itu. Tak sedikit yang menolak meski sudah dijelaskan manfaatnya. Pejabat yang plintat-plintut dengan rencana itu ia ganti. Hanya sekali mereka yang menolak diajak rembugan. Ia cari orang yang setuju dengan gagasannya. Dan membuat KTP kini tak kurang satu jam.

Begitulah, Jokowi menjinakkan birokrasi yang lelet. Dalam soal pendidikan dan kesehatan ia juga membuat sistem asuransi yang efektif. Kabarnya, sekolah hingga SMA di sana gratis dan puskemas menyediakan layanan cuma-cuma untuk orang miskin. Hasil mengefektifkan manajemen birokrasi itu, Solo bisa menambah pendapatan asli daerah dari Rp 50 miliar menjadi Rp 176 miliar. "Itu hanya merapikan, loh, bukan menambah pos seperti menaikkan restribusi," katanya.

Mendengar orang seperti Jokowi berbicara, rasanya, Indonesia bisa beres jika ada sepuluh orang seperti dia. Di balik perangainya yang lembut dan ndeso, kita bisa tahu dan melihat gagasan besar terwujud, kita bisa melihat bahwa niat tak hanya berhenti sebanyak retorika. Barangkali bukan gagasan besar juga, itu hanya gagasan kecil yang bisa direalisasikan. Kita menilai membuat KTP yang mudah, murah, dan cepat itu sebuah gagasan besar karena tak banyak pejabat yang bisa melakukan itu.

Dengan kerja yang efektif, politik juga jadi efesien. Pada periode kedua, Jokowi menang mutlak dengan meraup 94 persen suara. Itu artinya, 40 persen orang yang tak suka kepadanya saat terpilih pada periode pertama sudah bisa menerima gagasan dan kerjanya. "Tapi sekarang juga masih ada 6 persen orang Solo yang tak suka saya," katanya.

Ia punya perhitungan politik yang detail. Ketika ia digadang-gadang jadi Gubernur Jakarta, ia tak segera setuju karena belum jelas perhitungan politik dalam soal dukungan. "Buat apa maju, kalau untuk kalah," katanya.

Ia selalu bilang, tak punya potongan jadi Gubernur. "Ini bukan basa-basi, saya selalu mengitung dengan cermat setiap tindakan," katanya. Tahun pertama jadi Walikota Solo saja, katanya, ia sering dikira ajudan ajudannya. Setiap orang yang ia temui menyalami lebih dulu si ajudan yang, kata Jokowi, "Mmmmbodi sekali." Daripada repot, si ajudan dengan terpaksa ia ganti dengan, "Yang postrunya lebih pendek dari saya."

Selama tujuh tahun jadi Walikota, ia tak pernah mengambil gajinya yang Rp 5,5 juta plus tunjangan. Ia bilang, sudah tak perlu gaji karena semua sudah disediakan pemerintah: rumah, mobil dinas, biaya telepon, tiket pesawat. Barangkali karena ia memang sudah kaya dari sononya: bapaknya juragan mebel yang ia teruskan usahanya. "Tapi, kebutuhan saya memang tak banyak, dan saya sudah merasa cukup," katanya.

Dan pada Jokowi kita masih bisa berharap bahwa karir politik itu ada. Dia datang dari PDI Perjuangan, tapi tak ada kabar ia memakai jalan politik untuk menggelembungkan pundi-pundi partainya.

Selama ini, politik seperti tak punya struktur dan sistem untuk memunculkan para pemimpin. Jika di masa represif Orde Baru kita bisa melihat orang-orang yang menonjol dalam pergerakan, setelah reformasi, kantung-kantung itu mengempis dan tak kelihatan orang yang bisa diharapkan tampil ke panggung politik.

Mungkin jalan demokrasi kita harus memutar lebih dulu sehingga orang-orang politik lahir bukan dari karir partai. Dengan sistem partai yang acak-adul seperti ini, dengan biaya yang begitu besar plus syahwat para pengusaha hitam merongrong kekuasaan, demokrasi kita melahirkan orang-orang seperti Nazaruddin di DPR. Mereka yang masuk dunia politik bukan untuk bekerja bagi kepentingan orang banyak, tapi mencari untung untuk kantong pribadi dan partainya.

Pada Jokowi, mungkin juga Dahlan Iskan, kita tahu Indonesia masih punya harapan....