Di perempatan itu, sebuah simpang yang sibuk di jalan Matraman dan Proklamasi, anak enam atau tujuh tahun itu menggendong bayi, menengadahkan tangan kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat makan. Bayi di gendongannya yang melorot (mungkin baru setahun), sementara itu, tidur terkulai. Bekas ingusnya berleleran di pipi, lehernya penuh daki, ....
Saya tak perlu meneruskan deskripsi yang absurd ini. Sebab ini pemandangan umum di setiap perempatan di Jakarta. Para pengemis seperti patah tumbuh hilang berganti. Anak-anak kian meruyak. Siapa ibu-bapaknya? Kenapa orang-orang itu membikin mereka jika tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Kenapa mereka... Ah, saya juga tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Menanyakan soal ini seperti berteriak di pasar malam.
Di perempatan itu, ada juga yang memberikan koin 500 atau seribu, lebih banyak yang melambai. Di depan saya saja, anak bermuka tirus dan kumal itu mendapatkan kurang lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke belakang berapa orang lagi yang memberi koin kepadanya.
Jarak antara lampu merah ke hijau, dan dari hijau ke merah, sekitar 5 menit. Lima menit 5.000. Jika si bocah ini mengemis 12 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 144 kali lampu merah. Jika tiap lampu merah dia dapat 5.000 maka penghasilannya sehari bisa sampai Rp 720 ribu. Saya bolak-balik memeriksa kalkulator setelah mengalikan angka ini. Ini sama dengan, kira-kira, gaji direktur kantor saya yang ke mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.
Matematika mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Di jalanan Jakarta rumus-rumus penjumlahan bisa mengelabui. Sebab, menurut tayangan CNN belum lama ini yang diberi judul "Oliver Twist dari Asia", pengemis anak-anak ini setiap hari menyetor 40 persen penghasilan mereka kepada induk semangnya yang menunggu di kolong-kolong jembatan. Dan mereka tetap saja tinggal di sana seumur hidup. Kemana uang mereka itu?
Jika sepertiga dari 13 juta penghuni Jakarta pada siang hari memberi koin 500 kepada pengemis ini maka ada Rp 2 miliar dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, gerbong kereta, bus-bus reot. Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun berarti Rp 730 miliar--ini dua kali subsidi pemerintah untuk menekan harga pupuk.
Dan kini subsidi minyak bakal kembali dipangkas. Itu berarti harga bensin bakal naik lagi, yang mengakibatkan ongkos angkut beras naik juga, harga nasi pun jadi berlipat. Anak-anak itu--yang menurut konstitusi adalah tanggungan negara, yang terus diproduksi oleh para pengemis di kolong-kolong jembatan--harus membuat sandiwara atau menghiba lebih dalam agar bisa tetap makan.
No comments:
Post a Comment