Sebalah kaki seorang wartawan berpijak di pengadilan. Ini pameo yang sering dikutip di kalangan wartawan dan kena benar: menjadi jurnalis adalah menempuh sebuah pekerjaan yang penuh risiko. Tak hati-hati, jeruji penjara menunggu.
Belum lagi risiko saat liputan. Sejauh ini belum ada asuransi khusus kecelakaan karena meliput peristiwa dan mencari informasi.
Tapi, bukan, bukan karena penjara para wartawan takut menulis. Penjara hanyalah salah satu persianggahan saja jika memang itu pilihan terakhir yang harus ditempuh. Yang paling menakutkan para wartawan adalah runtuhnya kredibilitas. Media adalah bisnis kepercayaan. Sekali orang tak percaya tamatlah riwayat media itu. Ia tak akan mendapat tempat.
Karena itu orang meminta undang-undang yang mengatur pekerjaan wartawan itu lex specialist, tidak disamakan dengan pengadilan untuk seorang kriminal. Pengadilan pun ditempuh dengan pengadilan sebelumnya, yakni prosedur dan kode etik. Dua hal inilah yang akan menentukan kredibilitas seorang wartawan masih tegak atau runtuh. Saya kira, wartawan yang terpaksa masuk penjara setelah dua hal krusial ini terpenuhi akan melenggang dengan dada membusung.
Setiap kali selesai menulis sebuah laporan investigasi, saya selalu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah saya menempuh prosedur itu dengan benar. Kaitan fakta-fakta, logika cerita, sampai kesimpulan yang nampak dari seluruh tulisan itu. Juga soal adil. Sudahkah saya adil terhadap fakta, data, informasi yang saya dapatkan lalu saya kunyah lalu saya muntahkan itu; dan adil kepada narasumber.
Para "tersangka" dalam sebuah tulisan jurnalistik adalah tertuduh dengan tanda kutip. Mereka, dalam jurnalisme yang sehat, juga punya hak mendapat tempat. Sebab, kebenaran terdapat di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka. Maka lahirlah kemudian wejangan yang menyebutkan agar wartawan memelihara sikap skeptis dan mau terus menguji asumsi dan hipotesis-hipotesisnya.
Tulisan jurnalistik tentu saja bukan pengadilan publik. Kesimpulan yang ada di sana adalah kesimpulan yang terbatas pada fakta yang terungkap di sana saja. Wartawan bukan seorang penyidik--meski metode yang tempuh keduanya mirip. Penyidik, dengan segala kewenangannya yang dilindungi undang-undang, bisa meminta semua data, merokonstruksi fakta-fakta dan kesaksian, lalu menjatuhkan vonis.
Karena itu ada "kebenaran jurnalistik" ada "kebenaran hukum". Dua-duanya bisa sama, dua-duanya seringkali berbeda. Dalam jurnalistik--karena keterbatasan daya jangkau para wartawan--selalu ada ruang salah dari kebenaran-kebenaran yang ditampilkan itu.
No comments:
Post a Comment