DI Bone-Bone kabut tak hendak beringsut. Ini sebuah desa di lereng Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan, di ketinggian 1.200 mdpl. Jaraknya sekitar 100 kilometer dari pusat Kabupaten Enrekang. Dari desa paling dekat, kita harus menempuhnya satu bukit lagi, dengan sepeda motor karena jalanan berlumpur. Bagi orang luar, ongkos ojek dipatok Rp 100 ribu.
Bone-Bone terkenal karena Pak Idris, kepala desa sejak 2008. Pak Idris orang asli sana. Ia menggagas desanya bebas asap rokok sejak 2000, ketika masih kepala dusun saat Bone-Bone belum memekarkan diri jadi desa mandiri. Upayanya berhasil dan Bone-Bone jadi desa terbaik tingkat nasional tahun ini. Cerita tentang bagaimana dia membebaskan Bone-Bone dari rokok hingga tak ada lagi anak-anak putus sekolah, makanan pewarna, kebisingan penjaja makanan, dan kewajiban bagi pengantin baru menanam sepuluh pohon, saya tulis untuk majalah Tempo dan dicuplik di sini.
Saya tertarik pada--dan ini yang akan kita bincangkan--bagaimana ia dan warga Bone-Bone memandang sekolah.
Desa ini nyaris terputus dari dunia luar, kecuali jika jalan beton yang sedang dibangun sekarang sudah bisa menembusnya. Kontur Bone-Bone curam. Sekitar 200 rumah panggung itu seperti menempel pada dinding gunung, membentuk terasering yang menakjubkan. Hampir semua penduduknya bertani kopi dan nilam dan beternak kerbau juga sapi. Tapi bangunan sekolah di sana permanen dan tak ada anak yang tak sekolah. Usaha Idris membebaskan desanya dari rokok juga awalnya karena banyak anak putus sekolah dengan alasan tak ada biaya sementara orang tua mereka merokok tak henti-henti.
Idris sendiri sarjana syariah lulusan IAIN Alauddin Makassar. Di papan-papan pengumuman di balai desa, sekretaris desa menulis namanya diawali titel Doktorandus. Tapi titel itu sesuatu yang biasa saja. Tak ada yang menyanjungnya sebagai seorang lulusan perguruan tinggi di ibukota provinsi. Tapi ia sangat dihormati karena kepemimpinannya. Di Bone-Bone sekolah dan berpendidikan tinggi sama seperti kewajiban makan dan minum sehari-hari. Tak ada yang istimewa.
Mereka tak menganggap sekolah sebagai sebuah batu loncatan untuk menaikkan status sosial atau menggapai kecukupan materi. Karena itu tak ada yang mencemooh jika ada seorang sarjana dari kota pulang kampung dan jadi petani. Dari delapan anak, lima saudara Idris tamat S1 dari universitas negeri. Ada yang jadi guru, petani kopi, atau pegawai di kabupaten. Dengarlah kutipan Pak Idris yang saya comot dari ingatan:
"Bagi kami sekolah adalah cara agar bisa panjang akal dan panjang pikiran. Karena itu orang yang sekolah tak akan hidup susah. Jika karena sekolah akibatnya materi dan harta jadi berlimpah, itu bonus saja. Yang utama sekolah membuka wawasan kita tentang hidup."
Saya tak bisa membayangkan kutipan ini lahir dari seseorang yang hidup di Jawa, dengan segala kemudahan dan kecukupan infrastruktur. Di Jawa, praktis sekolah dipandang sebagai sebuah teknik menaikkan prestise. Maka para sarjana ogah pulang kampung. Mereka memenuhi kota agar diberi label "orang sukses". Kampung selalu identik dengan keudikkan dan ketertinggalan. Kompetisi antar manusia, karena itu, tak bisa dihindari. Kita jadi sejenis mahluk yang saling memangsa satu sama lain.
Maka dengan cara pandang Pak Idris dan orang Bone-Bone pada pendidikan seperti itu, saya tak heran desa itu--kini diikuti tiga desa lain--bisa sukses membasmi rokok yang menguras kantong dan menyemburkan virus dari kampung mereka. Pertanyaan saya kepada Pak Idris adalah kenapa keinginan dan peraturannya bisa diikuti? Di belahan dunia mana orang mau turut pada seorang kepala desa?
Pak Idris tak bisa menjawab. Ia hanya mesem-mesem. Mungkin ia juga tak tahu kenapa perintahnya dipatuhi. Jawaban jitu saya dapat justru dari tukang ojek, yang saya sewa ketika berkunjung ke sana dua pekan lalu. Tukang ojek dari kampung sebelah Bone-Bone ini perokok berat. Tapi selama dia di Bone-Bone menemani saya, ia tak berani mengeluarkan bahkan korek api. Ia bertahan tak ngebul dalam suhu dingin hari hujan. Ia, misalnya, tak turun satu kilometer ke batas desa tempat di mana siapapun bebas dari peraturan Pak Idris. Atau merokok saja di pos ronda toh tak akan ada orang yang tahu ia menghisap tembakau ketika para kepala keluarga terjebak hujan di kebun dan sawah.
Tukang ojek yang umurnya kira-kira sebaya dengan Pak Idris ini memberi jawaban yang mengejutkan. "Bukan saya tak berani, tapi saya menghormati Pak Desa. Dia sudah kami pilih sebagai pemimpin kami. Tak baik melawan para pemimpin, apalagi yang punya niat baik untuk hidup kami. Di sini kami diajarkan bagaimana cara menghormati orang yang dituakan."
Jika saya terharu mendengarnya, barangkali karena saya orang Jakarta, tempat di mana saling percaya antar manusia lambat laun memuai, tempat di mana kita tak lagi percaya kepada mereka yang tampil di pucuk kekuasaan--modal sosial yang memberi ruh dan merekatkan setiap orang dalam komunitas yang dibayangkan bernama "bangsa".
Dengan modal sosial yang tumbuh di setiap orang Bone-Bone seperti itu, plus cara pandang mereka terhadap arti penting punya akal dan pikiran, tak heran jika aturan yang dibuat Pak Idris--betapapun tak disukai pada awalnya--dipatuhi. Dan dengan kebajikan hidup semacam itu orang Bone-Bone menjalani keseharian secara wajar dan tertib, di bawah kabut yang tak lekas kisut.
2 comments:
Di Jakarta, polusi sepertinya sudah merasuk jiwa
Merasuk segalanya, mas :)
Post a Comment