Showing posts with label sepak bola. Show all posts
Showing posts with label sepak bola. Show all posts

Friday, June 20, 2014

WASIT


Wasit adalah tanda hadirnya peradaban dalam sepak bola. Ia bukanlah pusat perhatian di lapangan hijau, tapi keberadaannya menentukan permainan dan membuat kita bisa menikmati pertandingan. Seorang wasit, dengan warna kostum mencolok dan berbeda dengan kostum dua tim yang bertanding, memang ikut berlari ke mana arah bola menggelinding, tapi tak punya hak menyentuhnya.

Ia hakim di lapangan yang keputusannya mutlak. Tak ada hukum apa pun yang bisa menganulirnya ketika peluit telah ia tiup. Richard Mulcaster, seorang guru olahraga di sekolah menengah Merchant Taylor's, Inggris, ketika mengkampanyekan perlunya wasit dalam pertandingan sepak bola pada 1581, awalnya memang ingin permainan ini sebagai olahraga untuk kebugaran. Karena melibatkan orang dalam jumlah banyak, perlu aturan agar pertandingan tak berakhir rusuh.

Sejak Marco Polo mengenalkan calcio di Italia setelah lawatannya ke Jepang dan menontonkemari pada abad ke-13, sejarah sepak bola Eropa adalah permainan brutal yang tak mengenal aturan. Raja-raja Inggris dan Prancis secara bergantian melarang sepak bola dan meminta gereja mengeluarkan fatwa bahwa ini adalah permainan setan yang dibenci Tuhan.

Mulcaster tampil sebagai penengah konflik raja dan rakyatnya itu. Ia membuat aturan agar fute-ball tak sekadar saling berebut bola di lapangan luas. Mula-mula, ia menganjurkan jumlah pemain dua tim yang bertanding harus sama, perlu gawang sebagai batas dan tujuan permainan, serta orang yang menghitung skor sebagai cikal bakal wasit. Sejak itu, meski sepak bola masih menjadi lambang permainan kaum bawah hingga abad ke-18, sepak bola Inggris mulai tertib.

Kini, aturan-aturan itu kian kompleks dan wasit bertugas menegakkannya. Dengan tensi pertandingan yang tinggi, seorang wasit dituntut tak boleh kecolongan oleh kepura-puraan pemain di tengah gemuruh penonton dan jeli melihat sebuah kesalahan. Pemain yang melanggar disemprit, yang berbuat curang diperingatkan, yang melanggar dengan sengaja dikeluarkan. Seperti hakim, para wasit membuat keputusan dengan mengukur niat para pemain.

Mungkin karena dituntut berkonsentrasi penuh itu wajah para wasit terlihat sangar, serius, dan kaku. Tapi karena peran wasit itulah kita menyaksikan seni di lapangan hijau: manusia berebut bola, beradu cepat, dan mengharmonikan strategi untuk satu tujuan, yakni saling mengalahkan. Dalam Piala Dunia seperti hari-hari ini, sepak bola adalah drama dua babak tentang nasionalisme selama 90 menit.

Ada emosi dan strategi di sana. Di televisi itu kita menyaksikan kelincahan para pemain Cile membantai juara bertahan Spanyol yang kelelahan karena usia dan dipaksa tak bisa mengembangkan tiki-taka. Kesolidan pemain bertahan tim Cile yang dipadukan dengan kecepatan para pemain muda membuat kita menikmati sepak bola sebagai sebuah teater kolosal tanpa skenario.

Di tribune, para penonton bersorak dalam gemuruh yang pekak. Mereka larut dalam emosi kemenangan karena tim yang didukungnya unggul, atau bersedih karena timnya kalah. Dalam sepak bola modern, penonton telah menjadi pemain ke-12, karena perannya menyemangati para pemain untuk menang. Tapi, di sebuah peradaban, seorang wasit tidak perlu takut pulang tak selamat karena setiap keputusannya pasti merugikan satu kubu sekaligus menguntungkan kubu yang lain.

Dan itulah pertandingan. Kata ini mengandung makna bahwa persaingan dan saling menundukkan tetap terbatas pada aturan. Sepak bola, kata Marxis Italia, Antonio Gramsci, menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik, tapi dia dikendalikan oleh peraturan tak tertulis tentangfair play. Wasit menjaga aturan itu tetap tegak dengan kewibawaannya sebagai pengadil agar olahraga ini tetap berada dalam maknanya, yakni “sportivitas”.

Pada akhir pertandingan, kita mengenang gol yang indah, mencatat nama pemainnya, memuji strategi efektif para pelatih, lalu melupakan wasit yang memimpinnya.

Kolom Piala Dunia di Koran Tempo, 20 Juni 2014.

Monday, July 02, 2012

BATAS-BATAS BOLA


Bagja Hidayat
Wartawan

Seorang komentator sepak bola mengatakan, hari-hari ini kita menyaksikan gelora nasionalisme di lapangan hijau. Patriotisme 90 menit, kata sosiolog Skotlandia, Grant Jarvie. Sepak bola adalah perang, kata pencetus total-football asal Belanda, Rinus Michel. 

Tapi pengertian-pengertian itu kini agak membingungkan ketika sepak bola telah melintasi batas-batas negara. Giovanni Trapattoni mengomandoi kesebelasan Irlandia untuk menahan gempuran tim Italia, negaranya sendiri, dalam penyisihan Piala Eropa. Italia menang, sementara Irlandia pulang dengan kekalahan.

Empat tahun lalu, Guus Hiddink juga berjingkrakan setiap merayakan gol Rusia ke gawang Belanda. Negeri asal Hiddink itu harus pulang lebih cepat dengan kekalahan memalukan. Sedangkan Rusia, tim yang ia latih, melaju ke babak berikutnya dengan mudah.

Atau Lukas Podolski. Penyerang Jerman asal Polandia itu adalah pemain yang dengan golnya menyingkirkan tim tanah leluhurnya dalam Piala Dunia 2010. Presiden Polandia ketika itu meradang dan menyatakan akan mencabut paspor Polandia milik Podolski.

Pemain Jerman lain, Jerome Boateng, lebih runyam lagi. Dalam Piala Dunia 2010, bek yang dalam Piala Eropa kali ini begitu tangguh hingga tak gampang dilewati Cristiano Ronaldo tersebut menghadapi kesebelasan adiknya, Kevin Prince-Boateng, yang memilih bermain untuk Ghana, negara asal orang tua mereka. 

Dalam pertandingan itu, Jerman menghentikan gaya impresif Ghana dengan skor 1-0. Di mana nasionalisme?

Sepak bola barangkali bukan sebuah “komunitas yang dibayangkan”. Tak ada bangsa, tak ada negara. Sepak bola telah melintasi batas-batas itu, kata Albert Camus. Ketika imigrasi tak terbendung dan naturalisasi menjadi tren, pemain sepak bola bukan lagi orang “pribumi”. Kesebelasan Prancis lebih banyak diisi oleh mereka yang berdarah Maroko atau Aljazair. Tapi apa yang pribumi, apa yang pendatang?

Dalam sepak bola, negara hanya geografi pada atlas, paspor sekadar sebuah penanda, selain kostum, bendera, dan lagu kebangsaan. Setelah itu, para pemain bahu-membahu membuat gol ke gawang lawan--tujuan utama permainan ini. Dan lawan itu bisa tanah kelahiran, asal-usul nenek moyang, atau sesama teman di klub. 

Tapi sejarah sepak bola telah menunjukkan bahwa kekacauan "tanah air" itu tak menimbulkan chaos. Hiddink masih bisa pulang dan ditawari pula menukangi Belanda kembali. Kemarahan orang Polandia tak sampai membuat Podolski takut mengunjungi neneknya. Dan di Senayan, 24 Mei lalu, penonton Indonesia lebih banyak memakai kostum Internazionale Milan ketimbang kaus merah. Mereka bersorak tiap kali para pemain klub Italia itu membuat gol. 

Kita pun menyambut Piala Eropa atau Piala Dunia selalu dengan antusias. Rela begadang untuk menonton tim dukungan kita, membela amat serius di Twitter atau Facebook. Padahal tak ada tim Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan itu. Kita sudah bosan bertanya mengapa tak ada 11 saja di antara 240 juta orang Indonesia yang jago menggocek bola hingga bisa tampil di kejuaraan dunia.

Hiddink dengan enteng mengatakan dirinya seorang profesional. Mungkin benar. Nasionalisme barangkali tak tepat benar dirumuskan dalam sepak bola modern. Toh, kita bisa mendukung kesebelasan Belanda tanpa harus repot mengingat pelajaran sejarah tentang penjajahan.

Suatu saat, tim sepak bola barangkali hanya perlu meminjam nama sebuah negara. Atau, negara nanti hanya perlu menyewa sebuah tim untuk berlaga. Negara hanya hadir sebagai nama, sekadar penanda dan pembeda.

Dimuat Koran Tempo edisi Euro 2012 edisi Kamis, 28 Juni 2012

Friday, June 22, 2012

GOOOOOLLLL.....


SEPAK bola mempersatukan dunia dengan satu kata yang menjadi inti permainan ini: gol. Dari Meksiko sampai Ceko, dari Rusia sampai Tasikmalaya, tak ada orang yang tak mengerti ketika berbarengan meneriakkan “Gooooooooool”.

Kita bisa berdebat apakah permainan ini lebih tepat disebut soccer atau football; sepak bola atau bola sepak seperti halnya tangkis bulu, meski ada juga bola voli. Gol bisa diterima di mana saja untuk menandai skor ketika bola telah melewati garis gawang. Kata ini telah meniadakan perbedaan ragam nama di seluruh dunia.

Gol atau goal dalam bahasa Inggris adalah evolusi dari kata “gal” atau “gol”, sebuah kata abad Pertengahan yang artinya “batas”. Sejak tsu chu atau kemari dimainkan di zaman Dinasti Tang di awal abad 2 sebelum masehi hingga pauckhakowohog atau calcio di Eropa, gol menjadi penanda jelas permainan ini. Pertandingan ini berhenti ketika salah satu tim memasukkan bola melewati garis di antara dua tiang atau apapun sasaran yang menjadi kesepakatan bersama untuk menandai skor.

Tsu chu dimainkan para tentara istana Cina kuno untuk berlatih fisik dan memahirkan kung fu. Tsu chu dimainkan seperti bola voli zaman sekarang. Sebuah jaring yang bolong tengahnya memisahkan dua tim. Setiap orang dalam tim harus berjuang agar bola tak menyentuh tanah lalu dengan akurasi jitu menendangnya ke bolong jaring itu. Tim yang paling banyak menyarangkan bola ke jaring adalah pemenangnya.

Orang Jepang memindahkan jaring itu ke ujung lapangan ketika memainkan kemari. Satu jaring untuk tiap tim. Marco Polo yang melihatnya ini di abad 14 menularkannya sepulang di Italia dan Inggris menyempurnakannya di abad 18. Semua orang kini sepakat bahwa gol adalah masuknya benda bundar yang jadi rebutan para pemain melewati dua tiang itu. Jika ini terjadi, permainan berhenti dan diulang dari awal jika waktu yang disepakati masih tersedia.

Sebab, gol adalah tujuan utama permainan ini, batas permainan ini. Betapapun sengit para pemain berebut bola, betapapun jitu setiap taktik disusun, bagaimana pun hebatnya kerjasama antar pemain dalam satu tim, seluruh enersi dikerahkan untuk menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan. Tanpa tujuan menciptakan gol, permainan ini hanya disebut “rebutan” bola belaka, perjalanan tanpa tujuan.

Suku Gahuku-Gama di Papua memang memainkan sepak bola agar skor tetap imbang. Sebab, di sana sepak bola adalah ritual tentang keseimbangan nafsu mengalahkan dan kebajikan menerima kekalahan. Orang Gahuku, seperti laporan perjalanan ahli strukturalis Prancis Claude Lévi-Strauss, akan bermain bola berhari-hari, terus tak berhenti, jika satu tim masih memenangi permainan.

Tapi sepak bola di lain tempat punya ciri sama yakni saling mengalahkan. Tim yang menang adalah tim yang membuat gol paling banyak dari lawannya. Karena gol ini pula permainan sepak bola jadi menarik—drama kolosal 2 x 45 menit, kata Milan Kundera. Tak harus menghitung poin seperti bola keranjang, sepak bola begitu digemari setiap orang di seluruh dunia karena praktis dan mudah.

Bahasa Inggris tak membedakan antara proses membuat, tujuan, hingga tiang sasaran bola. Bahasa Indonesia lebih spesifik. Proses dan hasilnya disebut gol sementara sasaran dua tiang itu disebut gawang. Dan bahasa Indonesia melahirkan kekayaan ragam istilah dalam permainan ini. Halaman-halaman olah raga di koran bertaburan metafora unik dan nyeleneh.

“Iker Casillas memetik bola”, “Spanyol mengandangkan Kroasia”, “Mario Gomes menanduk si kulit bundar”... Dan semua itu terhenti ketika kita bersama-sama meneriakkan “Goooooo0-l”.