Friday, August 22, 2014
GRAFOMANIA
Internet mengkhawatirkan karena ia memudahkan hal-ihwal. Internet membuat cemas karena telah membuat kita malas.
Seorang wartawan senior bercerita, dulu, jika akan menulis, ia cuma mengandalkan bahan-bahan yang dicetak. Ia harus berkutat di perpustakaan, membaca banyak buku--tentu saja tidak dengan sambil lalu--untuk mencari perspektif dari apa yang akan ia tulis. Ia menandai bahan-bahan penting, lalu menyusunnya agar mudah ditemukan lagi ketika proses menulis dimulai. Pendeknya, menulis adalah sebuah kerja yang militan.
Kini kita hanya perlu koneksi. Google akan menjawab semua pertanyaan wartawan tua itu. Tak perlu membaca buku dari daftar isi hingga bab penutup, cukup klik "find" untuk menemukan kata atau topik yang ingin dilihat. Wikipedia memuat segala hal dengan jaringan yang tak putus-putus. Orang bisa mendapat bahan dengan mudah dan cepat. Tapi betapa mengkhawatirkan, paling tidak bagi seorang teman.
Ia mengeluh kini kian sedikit ia menemukan tulisan-tulisan jernih dengan gaya yang tetap menghibur. Setiap hari orang mengirimkan buah pikirannya untuk kolom-kolom media massa, untuk diterbitkan di buku-buku, untuk situs-situs publik. Tapi buah pikiran itu baru sebatas buah bibir. Tak perlu ditulis, buah pikiran cukup bisa diucapkan. Padahal orang menulis karena "kata tak cukup untuk berkata". Orang menulis karena lisan tak cukup menampung "percikan permenungan".
Teman itu membuat kesimpulan agak ganjil. Ketiadaan para penulis yang mahir mengolah kata dan bahasa itu terjadi karena kini tak ada lagi seleksi. Para penulis tak belajar di mana kekurangan-kekurangannya. Dari hal elementer sampai soal pokok gramatikal. Ada penulis yang namanya malang-melintang sebagai kolumnis, tapi masih belepotan membedakan "di" sebagai imbuhan dan "di" sebagai kata depan. Mereka tak bisa membuang kata-kata yang sudah jadi klise.
Bagi dia, yang penting adalah isi. Padahal isi bisa dituang di mana saja. Para penulis itu bergulat dengan rahasia dan keajaiban kata untuk melahirkan bentuk luar. Bentuk itulah yang pertama menyapa, sebelum kita menikmati isinya. Kini kita menghadapi serangkaian isi seperti melihat-lihat celana jins di supermarket. Tak ada keunikan.
Barangkali karena kini orang bisa menyiarkan tulisan kapan dan di mana saja. Buah permenungan itu langsung menyapa publik yang luas tanpa editor yang bertindak sebagai algojo. Media sosial yang riuh mendorong orang melontarkan gagasan sebatas celetukan. Saya teringat kembali Milan Kundera yang mempopulerkan istilah ajaib semacam "grafomania", istilah yang setengah mencemooh orang yang gandrung mencetak dan menyiarkan soal remeh-temeh. Dan saya kini mengerti kenapa ia ngotot membedakan "penulis" dan "novelis".
Saya masih menganggap kesimpulan teman saya itu ganjil. Internet adalah jawaban atas pertanyaan dan perjuangan tentang kebebasan. Zaman ini menyuguhkan pertarungan "pasar" para penulis sesungguhnya. Hanya mereka yang bandel dan keras kepala yang kelak menyandang gelar "penulis", kata Orhan Pamuk di The New Yorker. Ia sendiri menentang nasib yang mengarahkannya menjadi juru gambar, dengan terus menulis, memperbaiki, menulis, memperbaiki, hingga membuat novel-novel yang teruji.
Tulisan ini sendiri bukan lahir dari sikap keras kepala semacam itu. Tulisan ini mungkin masih lahir dari ego seorang grafomania dengan memanfaatkan apa yang ia khawatirkan: Internet-betapapun kekhawatiran itu kian menemukan alasan.
Kolom di Koran Tempo, 12 Agustus 2014.
Wednesday, August 06, 2014
ANAK-ANAK YANG KEHILANGAN SUNGAI
Koran Tempo, 31 Juli 2014
MENYIAPKAN ongkos, berdandan, dan membekali diri dengan sabun dan handuk, mereka menempuh perjalanan jauh agar bisa berenang. Mereka berdesakan di mobil bak terbuka yang mengangkut mereka ke kolam renang di kecamatan. Ketika sungai-sungai kering, orang-orang membangun kolam dengan tiket dan satpam.
Anak-anak yang kehilangan sungai tak lagi bebas beradu tangkas menjajal palung dan oplak. Di kolam buatan itu, mereka menemui kedalaman yang sama dan terukur, seperti kolam renang di kota. Mereka tak belajar bagaimana cara menjelajah. Mereka kehilangan permainan.
Barangkali ini romantisme, atau ketakjuban mudik Lebaran. Dulu sungai adalah arena menjajal nyali. Kami harus mencuri kesempatan berenang di Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kanak-kanak kepada orang tua. Mereka takut kami tenggelam atau dimakan buaya.
Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sepanjang umur Cisanggarung, kami tak pernah sekali pun melihatnya. Kini sungai itu tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyeberangkan orang-orang kampung yang akan ke pasar. Hampir setiap rumah punya sepeda motor. Mereka lebih senang ke pasar atau ke kota menempuh jalan memutar melewati jembatan Belanda. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor, melainkan lantaran perahu tak ada lagi.
Kematian sungai itulah pokoknya. Air memang menghilang dari kampung kami ini. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan dunia itu, karena hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak.
Sebelum penjarahan itu, sungai kami pelan-pelan hilang ketika di kampung seberang ada "orang Jakarta" yang membangun pabrik aspal, sekitar 25 tahun lalu. Orde Baru, yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok, membutuhkan pengusaha macam ini. Demikianlah, batu-batu sungai diangkut untuk digiling.
Petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Pasir pun lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah padas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.
Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: bermain PlayStation, berenang di kolam renang porselen, serta ngebut dengan sepeda motor. Tak ada lagi yang bermain gundu atau gasing. Selepas magrib, kampung sepi, anak-anak berkhidmat di depan televisi. Mereka tak mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bertukar cerita tentang palawija dan legenda, juga takhayul yang paling semprul.
Setiap Lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Kini saya merasa seperti orang-orang tua dulu: senang mengenang sungai, lapangan sepak bola, serta kebun buah-buahan yang sudah tak kelihatan bekasnya. Tapi bukankah 20 tahun terlalu cepat untuk membuat kampung ini berubah dan menjadi asing?
Anak-anak yang kehilangan sungai tak lagi bebas beradu tangkas menjajal palung dan oplak. Di kolam buatan itu, mereka menemui kedalaman yang sama dan terukur, seperti kolam renang di kota. Mereka tak belajar bagaimana cara menjelajah. Mereka kehilangan permainan.
Barangkali ini romantisme, atau ketakjuban mudik Lebaran. Dulu sungai adalah arena menjajal nyali. Kami harus mencuri kesempatan berenang di Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kanak-kanak kepada orang tua. Mereka takut kami tenggelam atau dimakan buaya.
Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sepanjang umur Cisanggarung, kami tak pernah sekali pun melihatnya. Kini sungai itu tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyeberangkan orang-orang kampung yang akan ke pasar. Hampir setiap rumah punya sepeda motor. Mereka lebih senang ke pasar atau ke kota menempuh jalan memutar melewati jembatan Belanda. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor, melainkan lantaran perahu tak ada lagi.
Kematian sungai itulah pokoknya. Air memang menghilang dari kampung kami ini. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan dunia itu, karena hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak.
Sebelum penjarahan itu, sungai kami pelan-pelan hilang ketika di kampung seberang ada "orang Jakarta" yang membangun pabrik aspal, sekitar 25 tahun lalu. Orde Baru, yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok, membutuhkan pengusaha macam ini. Demikianlah, batu-batu sungai diangkut untuk digiling.
Petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Pasir pun lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah padas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.
Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: bermain PlayStation, berenang di kolam renang porselen, serta ngebut dengan sepeda motor. Tak ada lagi yang bermain gundu atau gasing. Selepas magrib, kampung sepi, anak-anak berkhidmat di depan televisi. Mereka tak mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bertukar cerita tentang palawija dan legenda, juga takhayul yang paling semprul.
Setiap Lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Kini saya merasa seperti orang-orang tua dulu: senang mengenang sungai, lapangan sepak bola, serta kebun buah-buahan yang sudah tak kelihatan bekasnya. Tapi bukankah 20 tahun terlalu cepat untuk membuat kampung ini berubah dan menjadi asing?
Tuesday, August 05, 2014
PULANG
Jalan Pulang - dphotographer.co.uk |
Kini sawah, ladang, dan huma begitu sunyi. Tak ada lagi anak-anak yang berlari riang menggembala kerbau atau sapi. Ladang menjadi hutan atau ditumbuhi alang-alang karena jarang terjamah tangan manusia. Orang desa yang masih setia dengan cangkul dan arit adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Selama mudik Lebaran ini saya berkeliling ke dua bukit untuk mengenang ladang-ladang permainan di kampung. Tak ada satu pun anak muda di sana. Mereka yang bertahan di saung-saung ladang adalah orang-orang tua dengan sisa otot yang keriput, mereka yang bertubuh liat ketika saya masih kanak. Tak ada yang meneruskan mengolah sawah itu, huma itu, ladang penghidupan itu.
Anak-anak muda lebih senang ke Jakarta, ke kota, menjadi buruh bangunan atau berdagang es cincau keliling. Mereka berhitung sangat praktis. Sebulan berjualan di Jakarta, hasilnya setara dengan penghasilan satu musim palawija, yang membutuhkan tenaga dan perhitungan modal serta musim yang cermat. Berdagang es campur cukup dengan dengkul dan sedikit ongkos bus. Sebab, modal dan peralatan disediakan para "bos" yang menghimpun persekutuan pedagang es keliling, atau mandor yang datang ke kampung mencari tenaga kerja membangun kota.
Praktis sawah-sawah kehilangan tenaga produktifnya. Mereka yang setia menggarapnya akan berpikir dua kali menanam jagung atau kacang karena tak mungkin semua pekerjaan ia lakukan sendiri. Tak ada orang yang bersedia menjadi buruh yang dibayar untuk menggarap kebun. Dan musim yang bergeser membuat sawah-sawah kekeringan di musim kemarau. Para petani harus memompa dan mengalirkan air dari sumur-sumur dan mata air. Itu artinya butuh bensin untuk diesel, butuh modal yang tak sedikit. Kini tenaga saja tak cukup untuk menggarap sawah.
Saya tak bisa membayangkan apa jadinya desa ini ketika mereka yang masih bertahan menjadi petani kini sudah tak ada lagi. Sawah dan ladang itu mungkin segera jadi hutan alang-alang yang pelan-pelan didiami dedemit dan genderuwo dan menjadi tempat asing bagi bocah-bocah yang kini masih ingusan. Sepuluh atau 20 tahun lagi mereka akan mengikuti jejak ibu-bapaknya mencari hidup di kota-kota.
Dan mereka kembali ke kampung sebagai turis, yang sekadar transit setiap Lebaran, dengan membawa cukup uang untuk membangun rumah, tempat mereka kembali, tempat mereka pulang, setelah kota tak membutuhkannya lagi. Itu artinya, sawah-sawah segera akan menjadi rumah.
Barangkali esai ini juga semacam suara turis, anak hilang yang tercengang setiap kali mudik Lebaran karena menganggap kampung telah berubah, berbeda suasananya dengan keadaan 20 tahun lalu. Bagaimanapun, saya termasuk dalam arus urbanisasi itu, rombongan yang meninggalkan kampung dengan menganggap kota sebagai masa depan, lalu memaknai "pulang" sebagai sebuah tetirah ke kampung halaman untuk menghidupkan kembali kenang-kenangan.
Koran Tempo, 4 Agustus 2014.
Subscribe to:
Posts (Atom)