Saturday, November 22, 2014

INTERSTELLAR


Jika kita tua karena tak cukup cepat mengimbangi gerakan waktu dalam dunia tiga dimensi, siapakah yang menciptakan masa depan?

Christopher Nolan tak hendak menjawab pertanyaan pokok yang purba ini di Interstellar. Ia hanya menggambarkan dengan sangat telak apa yang sudah umum diinsyafi ilmu pengetahuan: tentang dimensi, tentang waktu, tentang ketakmungkinan menyentuh masa lalu.

Ketika Cooper terperangkap dalam dunia lima dimensi, ia bisa melihat dirinya hidup di dunia tiga dimensi. Secara logika mereka yang hidup di dimensi lebih tinggi akan bisa memasuki dunia dengan dimensi lebih rendah tanpa bisa memasuki konsep waktunya. Maka dunia ini tiga dimensi + waktu. Kita bisa menyentuh cicak tanpa bisa memasuki dimensi waktu yang merungkupnya.

Di dunia lima dimensi yang memerangkap Cooper itu, ruang terlipat dan waktu tertinggal. Ketika ia melihat ia berpamitan kepada anaknya hendak melesat ke luar galaksi dalam misi mencari planet pengganti bumi, di titik yang sama di dunia tiga dimensi peristiwa itu sudah terjadi 30 tahun lalu. Saat Cooper melihat mereka bercengkrama, anaknya sudah berusia 37 tahun menurut waktu tiga dimensi.

Waktu terbentuk oleh gravitasi yang menyebabkan bumi layak dihuni. Semakin jauh kecepatan kita dan ruang tempat kita berada terhadap kecepatan cahaya, semakin lambat waktu yang melingkupinya, demikianlah Einstein bersabda. Karena Cooper berada di dimensi yang sangat cepat terhadap waktu relatif di bumi, hidupnya baru beberapa hari sementara di bumi sudah berpuluh tahun.

Gravitasi membuat kita tua dengan sendirinya, meski di Interstellar tak digambarkan apa yang terjadi dengan massa benda dalam perbedaan waktu itu. Mengapa tubuh Cooper tetap berotot dengan wajah ganteng yang itu-itu juga. 

Para ahli yang terlalu serius menonton film ini telah banyak mengkritik Christopher Nolan jauh sebelum pertanyaan ini mengemuka: jangankan memasuki, benda-benda tak akan bisa mendekati lubang hitam—jalan pintas menuju dimensi lain. Bahkan masih jadi perdebatan apakah lubang cacing itu benar-benar berwujud. Cooper harusnya menjadi renik dan ruh ketika memasuki lubang hitam untuk hijrah ke dimensi lebih tinggi itu. Tapi memvisualkan ruh tentu tak menarik lagi dalam film sains.

Konon, setelah melewati lubang cacing di luar galaksi kita itu, waktu melepuh dan ruang menghilang. Adakah masa depan? Kitab-kitab suci hanya menyebut dunia ini fana dan dunia lain abadi. Barangkali demikianlah akal kita menakar sesuatu yang berada di luar nalar. Interstellar tak cukup punya waktu menjabarkan dan menjawabnya.

Jika dimensi lain abadi, dunia tiga dimensi sebaliknya. Sebab kita bergerak terhadap waktu dan waktu bergerak terhadap ruang yang melingkupinya. Tak akan ada ruang tanpa waktu, sama seperti tak ada waktu jika tak ada ruang. Kita mengisi di dalamnya, mengarungi peristiwa-peristiwa. Kita seperti anak panah dalam dimensi itu, yang terus maju. Cooper di dimensi lima hanya bisa melihat dirinya sendiri di dimensi tiga tanpa bisa menyentuhnya. Perbedaan dimensi itu yang menyekat ia dan ia di dimensi lain.

Kata “mengarungi” mungkin tak cukup tepat karena itu berarti peristiwa-peristiwa telah tersedia dan kita memasukinya akibat waktu yang bergerak lebih cepat dari gerak benda-benda. Sebab, konsekuensinya adalah kesimpulan bahwa sejarah yang menuntun manusia, bukan manusia yang menciptakan sejarahnya—perdebatan dan pertanyaan manusia sejak mulai mempertanyakan keberadaannya. Sebab waktu dan ruang bergerak dalam waktu yang stabil menuju pada ketiadaan.

Sampai sini, pertanyaannya adalah di manakah kehendak bebas manusia? Apakah kehendak-kehendak kita yang tak dipolakan itu tak menuntun kita sendiri memasuki peristiwa—bahkan menciptakan peristiwa—yang disediakan waktu di masa depan itu? Interstellar tak menjawabnya, dan mungkin akal manusia hanya menjangkau sejauh itu. Selalu ada jalan buntu membicarakan takdir. Barangkali karena itulah manusia menciptakan agama, cara akal mengorganisasikan iman untuk menjawab problem-problem di luar logika.

Sebelum ceracau ini kian mengacaukan akhir pekan, akibat deadline yang selalu menggoda beromong kosong, baiknya disudahi dengan satu testamen: tontonlah Interstellar agar tak menyesal sembari tua....


No comments: