Rancangan Undang-Undang Kebudayaan memasukkan kretek sebagai
warisan budaya Indonesia. Artinya, kretek disamakan dan sederajat dengan
Borobudur, sendra tari, angklung, wayang golek, wayang kulit, batik. Karena
sejajar itu pula kretek harus dipromosikan agar warisan itu tak menghilang
ditelan zaman.
Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu
baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna
DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah
ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan,
yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.
Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya
mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang
Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang
harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah
membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek
dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid
lain.
Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak
henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian
akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka
lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok
juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya
pendidikan.
Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris
yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa
Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu
dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal
melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di
rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.
Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang
bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia
melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi
atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.
Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya.
Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu
itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana
bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan
anak-anak mereka.
Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima
anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes
pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi,
Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone
sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.
Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir
bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan
kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan
berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu
bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.
Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena
Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta.
Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia
lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu
atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja
sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.
Tentu saja aturan itu segera ditentang. Idris mendatangi
penduduk yang ngedumel. Ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak
bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris
mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Berikutnya ia
mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.
Di sana Idris mengajak berhitung. Untung satu bungkus rokok
adalah Rp 1.000-2.000. Untung ini hangus karena para pedagang menghabiskan dua
bungkus rokok sehari. Jadi, sebetulnya mereka rugi menjual rokok. Kerugian itu
bahkan tak sepadan dengan perjuangan mendatangkan rokok yang dibeli dari pasar.
Jarak pasar ke Bone-Bone 20 kilometer, melewati jalan tanah yang berkubang jika
hujan.
Fakta itu telah membuka pikiran para pedagang bahwa mereka
justru menggerogoti modal warung dengan menjual rokok. Walhasil mereka setuju
tak lagi menjual rokok sejak debat dengan Idris itu. Sejak pasokan rokok
dihentikan, Bone-Bone pun bebas dari rokok.
Sejak aturan itu dibuat hanya sekali penduduk yang
melanggar. Itu pun ia merokok di rumahnya ketika ada tamu. Tetangganya melapor
kepada Idris dan ia mendapat sanksi sosial: memintaa maaf lewat speaker masjid
lalu membersihkan selokan. Sejak itu penduduk ini kapok dan tak merokok lagi.
Sanksi kedua justru untuk para pejabat dari Kabupaten
Enrekang. Syahdan, mereka diutus Bupati La Tinro La Tunrung untuk memberi
penyuluhan bagaimana menjadikan Bone-Bone jadi desa teladan. Pemerintah pusat
akan datang menilai pada desa-desa yang diusulkan. Bubar penyuluhan Idris
mendapat laporan dari anak-anak yang menemukan puntung rokok di rumah terakhir
sebelum perbatasan.
Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro, 100 kilometer
jauhnya, lewat telepon seluler. Bupati dari Golkar ini sangat mendukung Idris.
Ia berhenti merokok dua bungkus Marlboro putih sehari setelah berkunjung ke
Bone-Bone. Mendengar aduan Idris, La Tinro memanggil semua kepala dinas yang
baru pulang dari sana. Mereka mengaku telah merokok karena perjalanan tercegat
hujan. “Saya suruh mereka kembali untuk minta maaf dan bayar denda,” katanya.
Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf
telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan,
dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp 1,5 juta bahkan ada
yang menanggung biaya pembuatan 30 meter jalan beton.
Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012
Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering
bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia
memimpin desa dengan efektif dan berhasil.
Terutama karena anak-anak kembali ke sekolah setelah tak ada
rokok di desanya. Sewaktu saya ke sana, tak ada satu pun anak yang tak sekolah.
Di kebun hanya ada orang-orang tua dan anak-anak muda lulusan SMP atau SMA.
Bone-Bone yang dingin kian sejuk karena hanya asap dapur yang tercium, warna
senja yang sepia, juga aroma kopi Toraja….
Tulisan ini dimuat juga di Indonesiana Tempo.
Tulisan ini dimuat juga di Indonesiana Tempo.
No comments:
Post a Comment