Rupanya Pak Daus makin terkenal. Setelah saya tulisprofilnya pada 2012, ia menjadi bintang tamu acara Hitam Putih Trans7 dengan
pemandu mentalis Deddy Corbuizer dan dua kali nampang di koran Kompas dan
diliput TVOne. Pak Daus layak untuk itu karena ia inspirasi tentang semangat
pantang menyerah dan kerja keras.
Nama lengkapnya Firdaus Ahmad. Ia lahir 57 tahun lalu dari keluarga
Betawi di Sentiong, Jakarta Pusat. Ayahnya adalah sekretaris Wahid Hasyim jika
Menteri Agama pertama ini (1949-1952) menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama yang kantornya di Kramat itu. Tapi Pak Daus buru-buru menjelaskan bahwa
jabatan sekretaris zaman itu tak usah dibayangkan sebagai orang hebat.
“Tugasnya menyediakan koran dan membuat kopi,” katanya.
Setelah mengenalnya cukup lama, saya tahu itu kalimatnya yang merendah,
tapi bisa jadi kenyataannya seperti itu. Pikiran Pak Daus sangat sederhana. Ia
tak melihat dunia dari sisi yang rumit. Ia tak suka melebih-lebihkan sesuatu,
bahkan cenderung apa adanya, meski yang apa adanya itu sebetulnya tinggi juga.
Misalnya, kepada semua tamu Wisma Indonesia ia selalu menyebut dirinya
sopir tiap kali menjemput mereka dari bandara Heathrow atau Gatwick. Biasanya
orang percaya karena mereka berhubungan dengan Usya Suharjono, istri Pak Daus.
Padahal, justru Daus pemilik penginapan 10 kamar bertarif 25 pound semalam di
Colindale, London, itu. Ketika saya menyindirnya “sok merendah”, dia bilang,
“Kan kenyataannya saya menjemput, menyopiri, mengantar tamu sesuai tujuan
mereka.” Benar juga, sih…
Pak Daus mungkin memilih sudut pandang seperti itu. Dan saya kira itu
cara berpikir yang mengantarnya sukses seperti sekarang. Tentu saja, sukses itu
ukuran menurut saya, yang kagum menyimak perjalanan hidupnya yang berwarna:
dari seorang kondektur mikrolet jurusan Kampung Melayu-Bekasi menjelma
pengusaha restoran Indonesia yang besar di London, salah satu kota termahal di
dunia.
Setelah lulus SMA 1 Indramayu, Jawa Barat, Daus kembali ke
Jakarta. Tak punya pekerjaan dan tak bisa kuliah, ia menjadi kondektur mikrolet
itu. Di Indramayu sebetulnya dia “dibuang” gurunya karena berkelahi di sekolah.
Ia tinggal di rumah neneknya yang sudah meninggal, sehingga harus menyediakan
keperluan sekolah dan biaya sendiri. Maka sepulang sekolah ia suka ikut truk
sayuran agar bisa dapat tips dari sopir karena ikut menurunkannya di pasar.
Pada pertengahan 1981, Daus membaca berita rencana
perkawinan Putri Diana dan Pangeran Charles di koran yang disebut “perkawinan
abad ini”. Pak Daus suka punya pikiran nyeleneh tapi serius. Ia bilang ke
ibunya, ingin bisa melihat langsung perkawinan Putri Diana. Ibunya tertawa
mendengar omongan anak sulungnya. Daus dianggapnya sedang mengigau.
Dan igauan itu mulai terlihat jadi kenyataan ketika seorang
kerabat jauh yang bekerja jadi sopir di Kedutaan Indonesia di London pulang ke
Indonesia. Daus meminta dibukakan jalan bisa ke London, tapi tak punya uang
untuk tiket.
Setelah merengek terus, kerabat itu mungkin jengkel juga. Ia
mengirim tiket sekali berangkat. Sayangnya, tiket dikirim September, dua bulan
setelah pernikahan akbar itu. Daus pun terbang ke London tanpa tujuan pasti. Ia
hanya ingin melihat kerabatnya bekerja di negara Ratu Elizabeth tu sambil
berharap siapa tahu ketemu pangeran dan putrinya sedang jalan-jalan di taman.
Ya, siapa yang tahu, mereka runtang-runtung tanpa pengawalan…
Hari keberangkatan pun ditentukan dan kerabat itu berjanji
menjemputnya di bandara Gatwick. Setelah perjalanan panjang 18 jam dengan
Garuda Indonesia lewat Riyadh dan Paris, Daus tiba di London. Di bandara besar
ini orang banyak sekali dan semua tulisan di sana tak ia mengerti. Ia tahu itu
bahasa Inggris tapi tak paham artinya. Maka setelah melewati meja imigrasi ia
bingung mencari pintu keluar.
Daus tak tahu harus menghubungi siapa. Ia pun duduk termangu
selama dua jam. Jauh hari kemudian ia baru tahu jika si kerabat itu menunggu
dengan jengkel dan putus asa di tempat jemputan. Ia hampir saja pulang dan
mengira tamunya tak jadi datang seandainya Daus tak mendapatkan ide cemerlang
setelah dua jam duduk.
Ia perhatikan semua penumpang. Ia berasumsi mereka yang
kusut masai adalah penumpang yang baru tiba dari perjalanan yang jauh. Maka
mereka pasti menuju pintu keluar untuk pulang ke rumahnya. Daus pun mengikuti
mereka menuju pintu bertuliskan “EXIT”. “Saya baru tahu artinya ‘exit’, ya,
hari itu,” katanya, terbahak tiap mengenang peristiwa itu. Pintu EXIT itu sudah
ia lihat selama duduk dua jam itu. Haduh…
Dan mulailah perjalanan hidupnya di London. Kunjungan
sebulan itu ia manfaatkan dengan ikut bekerja sebagai sopir. Jika kerabatnya
berhalangan ia yang menggantikan, sampai ia mendapat pekerjaan sebagai “DJ”
atawa pencuci piring di sebuah restoran Indonesia yang tukang masaknya adalah
seorang koki dari Malaysia.
Tiba-tiba perusahaan itu bangkrut, setelah Daus pulang dan
memperpanjang visa. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah menyita
lalu menjualnya. Dan pembelinya adalah tukang masak dari Malaysia itu! Hidup
benar-benar seperti roda. Restoran itu kini masih berdiri dengan tukang masak
orang Indonesia yang tadinya pemilik rumah makan itu.
Seorang pengusaha Singapura lalu mendirikan restoran Nusa
Dua. Daus diajak serta. Kali ini pangkatnya lebih tinggi, sebagai chef. Sewaktu
menjadi “DJ” itu, Daus belajar bagaimana memasak. Masakannya enak dan pengusaha
itu tertarik membuat resto baru dengan masakan racikan Daus.
Restoran baru itu juga tak berjalan lama. Pemiliknya tak
meneruskan cicilan modal sehingga Royal Bank of Scotland mengambil alih. Daus,
pada 1991 itu sudah memperistri Usya Suharjono, mahasiswi sekolah manajemen di
London, kelimpungan tak punya pekerjaan. Ia pun punya ide yang absurd pada masa
itu: mengambil alih restoran dan menjalankannya sendiri. Tapi bagaimana
caranya?
Ia dan Usya mendatangi RBS untuk bernego. Usya yang menjadi
negosiator karena bahasa Inggrisnya lebih lancar. Usya tinggal di London
mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai wartawan BBC seksi Indonesia.
Sejak lulus SMA 2 Jakarta pada 1983 ia pindah ke London dan kuliah di sana,
lalu ketemu Daus dan menikah.
Daus menawarkan mengambil alih restoran Nusa Dua di SOHO
itu, daerah elite dan pusat keramaian London. Ia bilang, daripada RBS keluar
uang pajak memelihara aset yang tak menghasilkan lebih baik diberikan
kepadanya. Keuntungan RBS adalah mendapat cicilan kembali dan tak perlu bayar
pajak karena sudah ia tanggung. Jika dalam setahun cicilan 1.000 pound (Rp 17
juta kurs sekarang) tiap bulan macet, RBS bisa ambil kembali restoran itu dan
uang yang sudah dibayarkan Daus hangus. Deal. Daus kini jadi pemilik Nusa Dua.
Ia belanja sendiri dan masak sendiri juga menservis tamu
sendiri. Ia bekerja keras mengembalikan pelanggan-pelanggan yang kabur akibat
restoran tutup. Karena kualitas masakan tak berubah, pelanggan lama kembali dan
pelanggan baru datang. Para pesohor dunia jadi pelanggannya, seperti gitaris
Beatles Paul McCartney, Simon Cowell, Sade… Daus bisa mencicil utang 100 ribu
pound secara rutin hingga lunas enam tahun kemudian.
Ia jadi pemilik mutlak restoran itu. Saya bertemu Pak Daus
di restorannya pada 2012. Sewaktu diundang pemerintah Inggris melihat persiapan
Olimpiade, seorang humas Kedutaan Inggris menyelipkan namanya karena saya minta
kontak orang Indonesia di London yang bisa dijadikan bahan tulisan.
Awalnya saya tak berminat karena menyangka Daus tak menarik.
Dari namanya dan nama istrinya yang tak umum untuk nama Indonesia biasa, saya
menduga mereka pasangan dari keturunan keluarga tajir yang buka restoran di
London sekadar iseng saja. Maka sewaktu janjian bertemu, saya membayangkan
sebuah wawancara yang garing. Pak Daus mungkin orang kaya ngehek yang tak
berkeringat mendapat kekayaan melimpah.
Dugaan itu buyar begitu bertemu. Restorannya masih tutup
karena masih siang, sebab koki masih memasak untuk jam makan malam. Ia memakai
kemeja kotak-kotak lengan pendek yang agak lusuh, bukan jas mahal. Hanya
bercelana jins dan kalau tertawa malu-malu. Ketika berbicara ia juga lebih
banyak menunduk. Sewaktu mulai sesi wawancara ia menolak dan malah menyilakan
makan. “Sudah seminggu makan sandwich terus kan?” katanya.
Waktu itu memang menggiurkan. Di meja penuh masakan
Indonesia: sayur asam, ayam kremes, krupuk, terong balado, soto ayam. Tiap kali
mau wawancara yang serius dengan menggali profilnya, Daus melengos dan merasa
tak pantas diberitakan. “Saya ini dulu penggemar Tempo, Pak,” katanya. “Saya
suka baca di kantor Bapak saya. Yang jadi berita kan orang-orang hebat, masak
saya ditulis di Tempo?”
Gaya bicaranya ceplas-ceplos dan kental dengan logat Betawi,
logat yang melekat ketika ia bicara Inggris dengan pelanggannya. Ia berpikir
lama sampai akhirnya setuju profilnya dimuat. Bagi wartawan, mendapat
narasumber seperti Daus ibarat perjaka bertemu pacarnya yang menempuh hubungan
LDR. Menggairahkan. Profil Daus sungguh berwarna, dramatis, unik, nekad. Tak
banyak orang seperti dia.
Bersama Usya mereka punya dua anak perempuan dan satu
laki-laki. Dua anak perempuannya sudah bekerja di lembaga-lembaga internasional
di lain negara. Si bungsu masih kuliah di London.
Pemerintah Kota London menilainya sukses menggelar acara di
Trafalgar Square. Jika tahun-tahun sebelumnya Usya harus antri menyewa landmark
Kota London itu, tahun ini pemerintah yang bertanya apakah ia akan memakainya
lagi dan menyediakan waktu 14 Agustus 2016.
Usya beberapa kali bertemu Wali Kota London Boris Johnson.
Alih-alih mengundang pemerintah Indoensia, Boris malah mengundangnya dalam
perayaan Idul Fitri tahun lalu. Maka Usya satu-satunya orang yang bukan ofisial
pemerintahan di antara banyak undangan.
Tahun ini Nusa Dua pindah ke ruangan yang lebih luas di
China Town yang lebih ramai, di jantung London. Daus kini sedang mengincar
sebuah gedung besar bekas mal yang disita pemerintah karena bangkrut. “Saya mau
bikin bangunan itu jadi hotel,” katanya. *
Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo.