Showing posts with label obituari. Show all posts
Showing posts with label obituari. Show all posts
Thursday, May 01, 2014
CEPOT
ASEP Sunandar Sunarya meninggal di usia 58, Senin lalu. Dalam dunia wayang golek, dia seperti Srimulat bagi para pelawak. Asep menjadi pionir dan kiblat mendalang di zaman modern. Inovasi panggungnya sangat terkenal: cepot berkaki satu dengan kepala bisa mengangguk, Gareng sebagai tambahan punakawan, buta copot kepala hingga wayang bisa memuntahkan mi.
Dan bukan hanya karena itu Asep dikenang banyak orang. Ia menghibur karena memenuhi daya khayal penonton akan dunia lain yang disediakan pewayangan. Kita datang ke pertunjukan Asep tak hanya untuk menonton nayaga dan panggung Giri Harja III yang megah, tapi juga menyimak "dunia lain" yang dimodifikasi Asep dari kisah Ramayana dan Mahabharata dengan sangat lokal dan kontekstual.
Di antara sekian banyak tokoh wayang yang berkarakter karena suaranya berbeda-beda, agaknya Asep identik atau mengidentikkan diri dengan Cepot. Inovasinya mendalang sangat bertumpu pada tokoh ini. Asep menciptakan kaki dan kepala Cepot bisa mengangguk, yang membuatnya terkenal ke seluruh dunia. Dan Cepot komplet sebagai tokoh. Meski memanggil Semar dengan "ayah", Cepot bukan anaknya. Ia bayangannya sehingga selalu ada di sisi Semar tiap kali tampil.
Astrajingga bermuka merah karena ia gampang naik darah. Ia pemarah yang lucu. Muka merah itu berkombinasi dengan hidung minimalis dan bibir menyeringai tertawa lebar menunjukkan satu gigi. Ia punakawan paling lucu dan pintar sekaligus paling filosofis. Ada satu cerita Cepot patah hati serius karena cintanya ditolak seorang putri dan kemarahannya membuat Tumaritis dan Hastinapura guncang.
Tentu saja Cepot tak ada dalam cerita asli Ramayana atau Mahabharata. Cepot kreasi asli dalang-dalang di Jawa Barat untuk dua epos besar India itu. Dan dalang yang berhasil adalah dalang yang bisa memainkan Cepot dengan sempurna: lucu, gampang marah, cerdas, sekaligus omongannya penuh renungan. Sebab, dengan sifat yang witty seperti itu, Cepot ditunggu penonton.
Dalam sebuah jeda perang Ayodya dan Alengka memperebutkan Dewi Shinta, Cepot tampil dengan pikirannya yang unik. Ia berdebat dengan seorang kesatria tentang perlunya berdoa di zaman perang "konyol" itu. Kesatria itu menyergah bahwa doa tak diperlukan manusia karena Tuhan telah menggariskan nasib dan Ia mahatahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Dengan gaya humornya, Cepot sampai pada jawaban-jawaban filosofis yang masuk akal dan membumi.
Bagi Cepot, berdoa tak semata meminta dan memohon pertolongan dari sesuatu di luar akal manusia, kekuatan yang tak teraba pancaindra. Bagi dia, berdoa adalah cara bersyukur dan mendekat kepada Tuhan. Pada momen berdoa, kata Cepot, ada pengalaman individual yang transenden dan kejujuran pengakuan sebagai makhluk yang dhaif. Dan itulah iman, sesuatu yang membedakan manusia di mata Tuhan.
Dengan cara berpikir seperti itu, Astrajingga sesungguhnya tokoh sentral dalam wayang golek. Ia tak melulu arif seperti Semar, tak selamanya bijak seperti Kresna, atau selalu melucu layaknya Gareng. Astrajingga paduan itu semua. Ia mengingatkan pada Nasruddin Hoja atau Abu Nuwas, filsuf yang berpikir dari sisi humor. Asep Sunandar mentransformasikannya dalam kesenian yang amat digemari di Jawa Barat. *
Kolom di Koran Tempo edisi 2 April 2014.
Monday, March 10, 2014
JOJON
JOJON meninggal, dan kita kehilangan satu cermin.
Para pelawak adalah pantulan kita di alam nyata. Mereka selalu mengingatkan bahwa tertawa adalah momen penting dalam hidup yang disediakan humor. Ada pepatah dalam bahasa Sunda, suku yang melahirkan bodor macam Kabayan, "hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh". Hidup itu cuma tawa dan duka, tergantung cara kita melihatnya.
Karena itu, betapa mulia menjadi pelawak. Mereka hadir meminta ditertawakan, sesuatu yang dihindari banyak orang. Kita tak ingin dianggap lucu karena itu merendahkan. Ada ungkapan bahwa "tak lucu" untuk apa saja yang dianggap tak sesuai dengan norma umum. "Tak lucu kalau ulama korupsi." Padahal, dalam dunia banyol, ulama korupsi justru lucu karena begitu keterlaluan menyalahi kaidah normal.
Satir semacam itu telah lama menjadi bahan humor untuk meledek betapa kita dan hidup yang nyata lebih lucu dari lawakan paling menggelitik sekalipun. Jojon dan para pelawak lain bekerja menjungkirbalikkan logika umum yang kadung dianggap sebagai nilai-nilai adiluhung. Gaya melawak Jojon itu sendiri memakai banyak hal yang saling bertabrakan.
Tampangnya bloon. Di Grup Jayakarta, ia selalu menjadi obyek cemooh teman-temannya yang lain: Cahyono yang sok wibawa, Uu preman yang tengil, atau Esther yang gemulai. Ia memakai dasi kupu-kupu, aksesori resmi dalam jamuan makan malam, dipadukan dengan kaus atau kemeja motif cerah plus overall untuk menahan celana ngatung yang kedodoran. Fasad itu kian absurd karena Jojon yang memelas dan nyengir mengibakan itu memakai kumis ala Hitler-diktator Jerman yang sadisnya melebihi setan.
Dunia jungkir-balik itu menghadirkan tawa bagi kita, para penonton yang melihatnya di panggung atau film-film mereka. Jojon dan para pelawak telah menghadirkan dunia di seberang yang tak umum dipahami banyak orang. Dari situlah kita becermin bahwa nilai dan logika, juga mungkin kebenaran, selalu punya perspektif dan kebenaran lain jika ditinjau dari cara pandang berbeda. Kumis Hitler kehilangan keangkerannya ketika menempel di mimik Jojon yang memelas.
Para pelawak, dengan begitu, mengajak kita untuk selalu bersedia memikirkan segala kemungkinan bahwa manusia tak pernah mencapai final yang selesai. Humor yang menyebabkan manusia ketawa, demikian para filsuf menyimpulkan, adalah satu misteri yang belum bisa dipecahkan filsafat. Bahkan para pelawak ditempatkan lebih tinggi dibanding para pemikir.
Sebelum mereka menjungkirkan logika kita, para pelawak mesti memahami logika umum terlebih dulu, lalu mencari celah untuk memandangnya dari titik yang berbeda. Dari situlah humor hadir karena meruntuhkan tatanan logika yang ajek dalam ingatan kolektif kita. Humor, karena itu, pernah dianggap subversif oleh rezim yang represif. Slogan grup Warkop adalah "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang".
Slogan Dono-Kasino-Indro itu terasa lucu bukan saja karena anjurannya menggelikan, tapi juga mengandung satire tentang kemungkinan ada larangan orang ketawa, hak manusia paling asasi. Karena itu humor adalah cermin, memantulkan hidup dan kenyataan lewat banyolan.
Esai di Koran Tempo, 8 Maret 2014.
Subscribe to:
Posts (Atom)