Bagja Hidayat **)
Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng,
tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka,
atau tertipu, karena kebohongan beritanya.
[Goenawan Mohamad, 2009]
SEBAB tiap informasi yang disampaikan setiap
wartawan segera akan menjadi milik publik, ditafsirkan, dipercakapkan,
dikomunikasikan. Sebab informasi, susunan fakta-fakta, dalam sebuah berita bisa
mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil para pembaca. Berita,
informasi, fakta, yang salah atau bias karena itu bisa menyesatkan. Dan
kemungkinan ada orang yang celaka akibat informasi yang sesat dan bias itu.
Paling tidak berita yang bias itu menjengkelkan.
Independensi tak berbicara soal netralitas.
Jurnalisme baru (new jurnalism) yang muncul sejak 1960 dimulai di
Amerika Serikat membolehkan opini para wartawan masuk ke dalam berita, menyusup
di antar fakta dan data yang mereka tulis. Anasir story behind the news
dalam penulis majalah berita bahkan mencantumkan opini setelah unsur flashback,
kronologi, kutipan, analisis, dan anekdot.
Dengan kata lain, dalam era jurnalisme seperti
sekarang para wartawan tidak hanya menyajikan fakta begitu saja. Mereka
memberinya interpretasi agar pembaca bisa memahami informasi yang mereka
sajikan secara efesien. Jika begitu, apakah media dan wartawan yang seperti itu
masih bisa kita anggap independen?
Independensi, sekali lagi, harus dibedakan dari
netralitas. Jika netralitas diartikan tak berpihak kepada siapapun dan apapun, independensi dimaknai
bebas dari kepentingan tertentu, kecuali kebenaran. Sebuah media, atau seorang wartawan, bisa saja tak netral dengan memihak satu pihak karena menilai keburukan akan terjadi seandainya mereka tak menyatakan keberpihakannya, karena publik yang buta tak menerima fakta yang benar dari pihak jahat di seberang pihak yang didukung mereka.
New York Times secara terbuka mendukung Barrack Obama menjadi presiden Amerika Serikat dalam pemilihan 2008 karena menilai membiarkan Republikan berkuasa lagi hanya melanggengkan kekerasan di Timur Tengah atas nama "perang terhadap terorisme". Tapi New York Times tetap independen karena keputusannya berpihak itu didasari oleh nilai-nilai yang lebih luhur, yakni kemanusiaan, ketimbang kepentingan pragmatis dalam politik, dan bukan atas dasar lobi dari tim kampanye Obama untuk mendukung calon yang mereka sokong. Jika netral tak menunjukkan sikap terhadap sesuatu, independen tak ada campur tangan pihak lain di ruang redaksi atas keputusan-keputusannya menulis sebuah berita dan menyajikan fakta.
Ada anekdot yang terkenal di kalangan wartawan bahwa seorang reporter tak dilarang berpacaran dengan seorang tukang sirkus, bahkan tidur dengan mereka, asal reporter itu tak menulis pertunjukan sirkusnya. Sebab ada kemungkinan bias dalam cara menulis wartawan terhadap pertunjukan sirkus tersebut. Para wartawan perlu menjaga jarak dengan objek yang mereka tulis. Seba para wartawan bekerja mencari dan mendekati kebenaran seakurat mungkin. Bias akan terjadi jika mereka telah menjadi bagian dari objek yang mereka tulis itu. Loyalitas pertama dan utama wartawan adalah kepada publik, kata Bill Kovach. Maka independensi adalah kebebasan yang tetap memihak, yaitu kepentingan publik yang lebih luas yang mengingikan pertunjukan sirkus secara akurat, bukan promosi terselubung sirkus tersebut karena si wartawan tahu betapa grup sirkus itu kesulitan uang.
Dan tak ada yang netral dalam berita. Pemilihan judul dan lead, diksi, dan penyusunan cerita dalam berita itu saja sudah sebuah opini—opini wartawan yang dilandasi temuan fakta mereka.
Di Guatemala, wartawan tak cukup hanya menulis.
Mereka berkampanye. Seperti yang dilakukan José Rubén Zamora. Ia pemimpin
redaksi El Periodico, yang harfiah nama ini berarti "koran".
Saya ketemu dengan pahlawan kebebasan pers 2006 ini sewaktu ia berkunjung ke
Jakarta untuk mengajarkan teknik investigasi bagi wartawan Indonesia, dua tahun
lalu. Ia dinobatkan sebagai "pahlawan" karena tak henti membongkar
skandal di negerinya, dan selalu lolos dari upaya pembunuhan.
Barangkali riwayat hidup semacam itu tak lagi
aneh. Di negara-negara berkembang selalu saja terdengar ada wartawan yang gigih
membongkar keburukan pemerintahnya. Kita tak kekurangan jenis wartawan seperti
dia. Yang membedakan adalah cara Zamora membongkar kebobrokan itu. Sebermula ia
menetapkan tentara di negerinya sebagai musuh. Para tentara sering
berkolaborasi dengan mafia narkotika mengeskpor mariyuana ke Meksiko, ke
Amerika. Para tentara juga korup dan sering meneror wartawan di sana.
Kemudian, setelah selesai membongkar satu
kasus, Zamora membuat iklan. Ia memajang foto para “tersangka” dari hasil
investigasi para wartawannya. Tak hanya di korannya, tapi di media massa
seluruh Guatemala, di sebar sebagai pamflet.
Di sana berita dan fakta saja tidak cukup,
apatah lagi netral. Iklan itu tak berhenti sampai ada reaksi. Misalnya,
tersangka itu mengundurkan diri dari parlemen, menteri, atau jabatan publik
lainnya. Atau rakyat turun ke jalan berdemontrasi. Satu upaya yang tak
ditemukan di Indonesia. Wartawan di Indonesia lebih beruntung, kita hanya
menulis seuah penyelewengan yang sistemik maupun yang sementara lalu berharap
perubahan akan datang.
Meski berkampanye dan bersalin rupa jadi jaksa,
Zamora tak menanggalkan inti dan jantung jurnalisme: verifikasi. Verifikasi
membuatnya begitu yakin akan temuan fakta dan data yang diperoleh dari hasil
liputannya. Ia yakin informasi yang ia peroleh tak menyesatkan. Ia menyampaikan
juga metode liputan agar publik tahu bahwa informasi yang ia peroleh tidak
salah. Zamora tetap memegang teguh kredo jurnalistik di seluruh dunia: fakta
itu suci, sementara interpretasi dan opini itu relatif.
Verifikasi juga membedakan kerja jurnalisme
dengan hiburan, infotainment, propaganda, fiksi, atau seni. Sikap netral
tanpa verifikasi bisa menjebak karena hanya akan menghasilkan liputan yang
kosong. Wartawan yang memilih dan meminjam mulut narasumber untuk menyampaikan
pikirannya agar terlihat objektif dan coverboth side sebenarnya sedang
melakukan penipuan.
Karena itu wartawan yang tak bisa dibeli adalah
mutlak dalam hidup media yang independen. Aliansi Jurnalis Independen terus
menerus mengkampanyekan agar wartawan menolak amplop dan memberi kesadaran
kepada para pejabat pemerintah agar tak usah repot membekali wartawan untuk
ongkos taksi atau ojek. Hanya pers yang bebas yang bisa membongkar kebobrokan
dan penyelewengan di lembaga-lembaga pemerintahan. Budaya amplop yang masih
menjamur hingga hari ini telah menggerus dan memandulkan peran media dalam
fungsi penting ini.
Bahkan wartawan dilarang terlibat dalam
peristiwa, atau terlalu loyal kepada narasumber. Semakin ia terlibat dan tak
bisa mengambil jarak dengan narasumber ia kian jauh dari fakta yang sebenarnya.
Informasi yang dihasilkannya akan bias bahkan menyesatkan jika narasumbernya
memberikan informasi yang menguntungkan dan menyembunyikan fakta yang
merugikannya. Cek dan ricek dan verifikasi akan menjadi saringan dan senjata ampuh
bagi para wartawan untuk tetap bebas dari pengaruh pembelokkan fakta dan
kebenaran.
Independensi, karena itu, tak bisa ditawar lagi
jika ingin media kita sehat dan berfungsi sebagaimana tujuan awal media dibuat
pada awal abad 17 di kafe-kafe di Inggris: sebagai sarana komunikasi antara
para pembuat kebijakan dengan publik. Ketika konsep negara dan masyarakat kian
kompleks, peran media juga kian rumit yakni sebagai clearinghouse
information agar tak terbit benih permusuhan dan perselisihan. Dan media
berperan mengkomunikasikan dialog, bukan menyebarkan kebencian.
Dengan peran mulia seperti itu, media dituntut
bebas dari segala kepentingan. Ia tak melayani faksi tertentu untuk menghantam
faksi yang lain. Tantangannya, media kini sudah menjadi bisnis yang harus
dikelola sama baiknya dengan perusahaan dan pabrik tegel. Kemampuannya
membentuk opini publik seringkali dimanfaatkan oleh para pengusaha mendirikan
media untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya.
Setelah reformasi, ketika “pers perjuangan”
sudah lewat, media kita kian ditantang mempertanyakan independensi mereka
sendiri. Sebab, jangankan wartawan harus bebas dari pengaruh para pemodal, para
jurnalis harus bebas dari kepentingan-kepentingannya sendiri dan ideologinya.
Janet Steele, profesor di George Washington
University, pernah meneliti berita-berita nasional di majalah Tempo
antara tahun 1971 sampai 1980. Di awal-awal majalah ini terbit, begitu temuan
Janet yang dibukukan dalam Wars Within (2007), berita-berita seringkali
dimulai dan berpihak kepada korban, rakyat kecil. Tapi seiring membaiknya
ekonomi dan oplah majalah ini kian banyak karena itu kesejahteraan wartawan
kian bagus, berita-berita hanya cenderung menyuarakan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang elitis. Untungnya para wartawan di Tempo segera sadar
akan buaian kenyamanan ini.
Atau ketika Tempo tergoda mengembangkan
bisnisnya. Ada pilihan apakah akan merambah bisnis selain media, misalnya,
membuat hotel atau usaha lain yang lebih menguntungkan. Keinginan ini segera
mendapat pertanyaan serius: apakah wartawan Tempo akan tetap menulis
hotel mereka jika, misalnya, ada pembunuhan di hotel itu yang berimplikasi pada
sepinya tamu setelah beritanya ditulis. Pilihan ini akhirnya ditinggalkan dan Tempo
tetap setia pada bisnis media.
Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali
orang tak percaya, atau pembaca curiga, wartawan menulis berita pesanan
selamanya mereka tak akan percaya bahkan ketika para wartawan itu menulis
berita yang objektif. Sebab atasan wartawan bukan redaktur, pemilik modal, atau
pemimpin redaksi mereka. Atasan dan majikan para wartawan adalah publik. Sekali
mereka membuat bias, akibatnya publik yang akan celaka.
*) Makalah pelatihan jurnalistis tingkat
mahasiswa se-Jabotabek di Universitas Mercu Buana Jakarta, 14 Juni 2010
**) Wartawan majalah Tempo
Referensi
1. Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme.
Institut Studi Arus Informasi. Jakarta
2. Steel, Janet. 2007. Wars Within. Dian Rakyat. Jakarta
No comments:
Post a Comment