Showing posts with label media. Show all posts
Showing posts with label media. Show all posts

Thursday, June 21, 2012

MENGAPA MEDIA HARUS INDEPENDEN? *)



Bagja Hidayat **)




Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng,
tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka,
atau tertipu, karena kebohongan beritanya.

[Goenawan Mohamad, 2009]




SEBAB tiap informasi yang disampaikan setiap wartawan segera akan menjadi milik publik, ditafsirkan, dipercakapkan, dikomunikasikan. Sebab informasi, susunan fakta-fakta, dalam sebuah berita bisa mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil para pembaca. Berita, informasi, fakta, yang salah atau bias karena itu bisa menyesatkan. Dan kemungkinan ada orang yang celaka akibat informasi yang sesat dan bias itu. Paling tidak berita yang bias itu menjengkelkan.

Independensi tak berbicara soal netralitas. Jurnalisme baru (new jurnalism) yang muncul sejak 1960 dimulai di Amerika Serikat membolehkan opini para wartawan masuk ke dalam berita, menyusup di antar fakta dan data yang mereka tulis. Anasir story behind the news dalam penulis majalah berita bahkan mencantumkan opini setelah unsur flashback, kronologi, kutipan, analisis, dan anekdot.

Dengan kata lain, dalam era jurnalisme seperti sekarang para wartawan tidak hanya menyajikan fakta begitu saja. Mereka memberinya interpretasi agar pembaca bisa memahami informasi yang mereka sajikan secara efesien. Jika begitu, apakah media dan wartawan yang seperti itu masih bisa kita anggap independen?

Independensi, sekali lagi, harus dibedakan dari netralitas. Jika netralitas diartikan tak berpihak kepada siapapun dan apapun, independensi dimaknai bebas dari kepentingan tertentu, kecuali kebenaran. Sebuah media, atau seorang wartawan, bisa saja tak netral dengan memihak satu pihak karena menilai keburukan akan terjadi seandainya mereka tak menyatakan keberpihakannya, karena publik yang buta tak menerima fakta yang benar dari pihak jahat di seberang pihak yang didukung mereka.


New York Times secara terbuka mendukung Barrack Obama menjadi presiden Amerika Serikat dalam pemilihan 2008 karena menilai membiarkan Republikan berkuasa lagi hanya melanggengkan kekerasan di Timur Tengah atas nama "perang terhadap terorisme". Tapi New York Times tetap independen karena keputusannya berpihak itu didasari oleh nilai-nilai yang lebih luhur, yakni kemanusiaan, ketimbang kepentingan pragmatis dalam politik, dan bukan atas dasar lobi dari tim kampanye Obama untuk mendukung calon yang mereka sokong. Jika netral tak menunjukkan sikap terhadap sesuatu, independen tak ada campur tangan pihak lain di ruang redaksi atas keputusan-keputusannya menulis sebuah berita dan menyajikan fakta.


Ada anekdot yang terkenal di kalangan wartawan bahwa seorang reporter tak dilarang berpacaran dengan seorang tukang sirkus, bahkan tidur dengan mereka, asal reporter itu tak menulis pertunjukan sirkusnya. Sebab ada kemungkinan bias dalam cara menulis wartawan terhadap pertunjukan sirkus tersebut. Para wartawan perlu menjaga jarak dengan objek yang mereka tulis. Seba para wartawan bekerja mencari dan mendekati kebenaran seakurat mungkin. Bias akan terjadi jika mereka telah menjadi bagian dari objek yang mereka tulis itu. Loyalitas pertama dan utama wartawan adalah kepada publik, kata Bill Kovach. Maka independensi adalah kebebasan yang tetap memihak, yaitu kepentingan publik yang lebih luas yang mengingikan pertunjukan sirkus secara akurat, bukan promosi terselubung sirkus tersebut karena si wartawan tahu betapa grup sirkus itu kesulitan uang. 

Dan tak ada yang netral dalam berita. Pemilihan judul dan lead, diksi, dan penyusunan cerita dalam berita itu saja sudah sebuah opini—opini wartawan yang dilandasi temuan fakta mereka.

Di Guatemala, wartawan tak cukup hanya menulis. Mereka berkampanye. Seperti yang dilakukan José Rubén Zamora. Ia pemimpin redaksi El Periodico, yang harfiah nama ini berarti "koran". Saya ketemu dengan pahlawan kebebasan pers 2006 ini sewaktu ia berkunjung ke Jakarta untuk mengajarkan teknik investigasi bagi wartawan Indonesia, dua tahun lalu. Ia dinobatkan sebagai "pahlawan" karena tak henti membongkar skandal di negerinya, dan selalu lolos dari upaya pembunuhan.

Barangkali riwayat hidup semacam itu tak lagi aneh. Di negara-negara berkembang selalu saja terdengar ada wartawan yang gigih membongkar keburukan pemerintahnya. Kita tak kekurangan jenis wartawan seperti dia. Yang membedakan adalah cara Zamora membongkar kebobrokan itu. Sebermula ia menetapkan tentara di negerinya sebagai musuh. Para tentara sering berkolaborasi dengan mafia narkotika mengeskpor mariyuana ke Meksiko, ke Amerika. Para tentara juga korup dan sering meneror wartawan di sana.

Kemudian, setelah selesai membongkar satu kasus, Zamora membuat iklan. Ia memajang foto para “tersangka” dari hasil investigasi para wartawannya. Tak hanya di korannya, tapi di media massa seluruh Guatemala, di sebar sebagai pamflet.

Di sana berita dan fakta saja tidak cukup, apatah lagi netral. Iklan itu tak berhenti sampai ada reaksi. Misalnya, tersangka itu mengundurkan diri dari parlemen, menteri, atau jabatan publik lainnya. Atau rakyat turun ke jalan berdemontrasi. Satu upaya yang tak ditemukan di Indonesia. Wartawan di Indonesia lebih beruntung, kita hanya menulis seuah penyelewengan yang sistemik maupun yang sementara lalu berharap perubahan akan datang.

Meski berkampanye dan bersalin rupa jadi jaksa, Zamora tak menanggalkan inti dan jantung jurnalisme: verifikasi. Verifikasi membuatnya begitu yakin akan temuan fakta dan data yang diperoleh dari hasil liputannya. Ia yakin informasi yang ia peroleh tak menyesatkan. Ia menyampaikan juga metode liputan agar publik tahu bahwa informasi yang ia peroleh tidak salah. Zamora tetap memegang teguh kredo jurnalistik di seluruh dunia: fakta itu suci, sementara interpretasi dan opini itu relatif.

Verifikasi juga membedakan kerja jurnalisme dengan hiburan, infotainment, propaganda, fiksi, atau seni. Sikap netral tanpa verifikasi bisa menjebak karena hanya akan menghasilkan liputan yang kosong. Wartawan yang memilih dan meminjam mulut narasumber untuk menyampaikan pikirannya agar terlihat objektif dan coverboth side sebenarnya sedang melakukan penipuan.

Karena itu wartawan yang tak bisa dibeli adalah mutlak dalam hidup media yang independen. Aliansi Jurnalis Independen terus menerus mengkampanyekan agar wartawan menolak amplop dan memberi kesadaran kepada para pejabat pemerintah agar tak usah repot membekali wartawan untuk ongkos taksi atau ojek. Hanya pers yang bebas yang bisa membongkar kebobrokan dan penyelewengan di lembaga-lembaga pemerintahan. Budaya amplop yang masih menjamur hingga hari ini telah menggerus dan memandulkan peran media dalam fungsi penting ini.

Bahkan wartawan dilarang terlibat dalam peristiwa, atau terlalu loyal kepada narasumber. Semakin ia terlibat dan tak bisa mengambil jarak dengan narasumber ia kian jauh dari fakta yang sebenarnya. Informasi yang dihasilkannya akan bias bahkan menyesatkan jika narasumbernya memberikan informasi yang menguntungkan dan menyembunyikan fakta yang merugikannya. Cek dan ricek dan verifikasi akan menjadi saringan dan senjata ampuh bagi para wartawan untuk tetap bebas dari pengaruh pembelokkan fakta dan kebenaran.

Independensi, karena itu, tak bisa ditawar lagi jika ingin media kita sehat dan berfungsi sebagaimana tujuan awal media dibuat pada awal abad 17 di kafe-kafe di Inggris: sebagai sarana komunikasi antara para pembuat kebijakan dengan publik. Ketika konsep negara dan masyarakat kian kompleks, peran media juga kian rumit yakni sebagai clearinghouse information agar tak terbit benih permusuhan dan perselisihan. Dan media berperan mengkomunikasikan dialog, bukan menyebarkan kebencian.

Dengan peran mulia seperti itu, media dituntut bebas dari segala kepentingan. Ia tak melayani faksi tertentu untuk menghantam faksi yang lain. Tantangannya, media kini sudah menjadi bisnis yang harus dikelola sama baiknya dengan perusahaan dan pabrik tegel. Kemampuannya membentuk opini publik seringkali dimanfaatkan oleh para pengusaha mendirikan media untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya.

Setelah reformasi, ketika “pers perjuangan” sudah lewat, media kita kian ditantang mempertanyakan independensi mereka sendiri. Sebab, jangankan wartawan harus bebas dari pengaruh para pemodal, para jurnalis harus bebas dari kepentingan-kepentingannya sendiri dan ideologinya.

Janet Steele, profesor di George Washington University, pernah meneliti berita-berita nasional di majalah Tempo antara tahun 1971 sampai 1980. Di awal-awal majalah ini terbit, begitu temuan Janet yang dibukukan dalam Wars Within (2007), berita-berita seringkali dimulai dan berpihak kepada korban, rakyat kecil. Tapi seiring membaiknya ekonomi dan oplah majalah ini kian banyak karena itu kesejahteraan wartawan kian bagus, berita-berita hanya cenderung menyuarakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang elitis. Untungnya para wartawan di Tempo segera sadar akan buaian kenyamanan ini.

Atau ketika Tempo tergoda mengembangkan bisnisnya. Ada pilihan apakah akan merambah bisnis selain media, misalnya, membuat hotel atau usaha lain yang lebih menguntungkan. Keinginan ini segera mendapat pertanyaan serius: apakah wartawan Tempo akan tetap menulis hotel mereka jika, misalnya, ada pembunuhan di hotel itu yang berimplikasi pada sepinya tamu setelah beritanya ditulis. Pilihan ini akhirnya ditinggalkan dan Tempo tetap setia pada bisnis media.

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali orang tak percaya, atau pembaca curiga, wartawan menulis berita pesanan selamanya mereka tak akan percaya bahkan ketika para wartawan itu menulis berita yang objektif. Sebab atasan wartawan bukan redaktur, pemilik modal, atau pemimpin redaksi mereka. Atasan dan majikan para wartawan adalah publik. Sekali mereka membuat bias, akibatnya publik yang akan celaka.

*) Makalah pelatihan jurnalistis tingkat mahasiswa se-Jabotabek di Universitas Mercu Buana Jakarta, 14 Juni 2010
**) Wartawan majalah Tempo


Referensi

1.  Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Institut Studi Arus Informasi. Jakarta
2.  Steel, Janet. 2007. Wars Within. Dian Rakyat. Jakarta


Tuesday, August 18, 2009

LIPUTAN INVESTIGASI*



Bagja Hidayat**



Seorang terpelajar harus adil sudah sejak dalam pikiran...
[Pramoedya Anant Toer, Bumi Manusia]



Rapat redaksi Tempo, 2014.
SEBUAH liputan investigasi seringkali dimulai dari pertanyaan sederhana. Liputan tentang tambang emas di Busang, Kalimantan Timur, oleh Bondan Winarno pada 1997 dimulai dari pertanyaan: kenapa mayat Michael de Guzman cepat sekali ditemukan di kelebatan hutan tropis Kalimantan? Padahal, banyak pesawat jatuh tak diketemukan bangkainya hingga sekarang.

De Guzman adalah seorang ahli eksplorasi perusahaan penambangan emas Bre-X asal Filipina. Ia yang menyampaikan bahwa Busang menyimpan cadangan emas dalam jumlah banyak. Bre-X kebanjiran duit dari investor yang ingin membeli sahamnya di bursa saham Toronto, Kanada.

Tiba-tiba ia dikabarkan mati dengan terjun dari helikopter yang membawanya. Mayatnya ditemukan mengambang di rawa tiga hari kemudian. Kecurigaan Bondan bekerja: bagaimana bisa benda seberat 80-90 kilogram jatuh dari ketinggian mengambang di hutan rawa?

Liputan Bondan kemudian menemukan bahwa Guzman memalsukan kematiannya untuk menghindari jerat hukum karena Busang ternyata hanya pepesan kosong. Wartawan yang kini terkenal sebagai pembawa acara kuliner di televisi itu berhasil membuktikan bahwa itu mayat orang lain. Berdasarkan cerita keluarganya, Guzman memiliki gigi palsu di rahang atas. Sementara menurut dokter forensik yang ditemuinya, mayat itu tak memiliki gigi palsu satupun.

Hidup Guzman tetap misterius sampai sekarang. Tapi liputan Bondan menguak kongkalikong antara penguasa Orde Baru dengan perusahaan eksplorasi emas asal Kanada itu. Tahun lalu ada kabar pengadilannya di Kanada tetap berjalan dan ditemukan bukti-bukti baru ihwal kebohongan eksekutif dan para peneliti di Bre-X.

Dalam meliput kasus itu, Bondan telah mempraktekkan naluri wartawan investigasi yang paling dasar: sikap skeptis. Ia menyebutnya metode "daya bertanya".

Seorang wartawan investigasi akan terus meragukan temuan-temuannya, mengolah kembali informasi dan cerita yang ia terima, memverifikasinya, lalu mengonfirmasikannya kepada banyak sumber. Sikap skeptis sebetulnya tak hanya harus dimiliki wartawan investigasi. Setiap wartawan harus memiliki sikap ini. Sebab skeptis akan menyelamatkan wartawan terjerumus ke dalam sikap partisan, tak seimbang, memihak.

Di Tempo ada tim khusus yang menangani berita-berita investigasi. Ini desk yang menelisik informasi yang masih sumir tapi menarik yang waktu penelusurannya tak cukup hanya sepekan—ritme terbit majalah ini. Waktu yang dibutuhkan tak selalu sama dari setiap cerita. Ada yang pendek, ada juga yang panjang karena susah konfirmasi dan verifikasinya. Bertahun-tahun kami mengelola desk ini akhirnya sampai pada kesimpulan: tak ada yang mudah dalam berita investigasi.

Sebuah cerita awalnya kelihatan gampang ditelusuri dan ditulis, tapi ternyata membutuhkan waktu lima bulan sampai pada kesimpulan akhir. Pada akhirnya kami tak pernah menggolongkan berita gampang atau berita susah. Sebab gampang atau susah metodenya tetap sama: disiplin verifikasi dan konfirmasi dengan sikap skeptis secara terus menerus.

Liputan tentang kematian Lambang Babar Purnomo, seorang arkelog yang sedang menangani pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radyapustaka, Solo, dimulai dari pertanyaan sederhana: kenapa dia yang segar bugar tiba-tiba mati ketika sedang mengusut kasus ini?

Penelusuran atas kematiannya—melalui wawancara dengan puluhan teman, kolega, rival, dan keluarganya, ditambah catatan hasil otopsi—membuhulkan kesimpulan ia dibunuh. Penyidikan kematiannya juga menguak persekongkolan Keraton Solo, pengusaha terkenal, kolektor, calo, pedagang barang antik, hingga makelar benda seni dari balai lelang terkenal di luar negeri.

Lambang hanya pelanduk yang terjepit di antara permainan para gajah itu. Dua pekan lalu Aliansi Jurnalis Independen memilih liputan tentang mafia purbakala yang terbit akhir September tahun lalu sebagai liputan terbaik.

Cerita soal akal-akalan biaya admin listrik juga tak dimulai dengan setumpuk dokumen atau bahan cerita bombastis. Mula-mula cerita seorang anggota tim yang baru saja membaca sebuah surat pembaca di koran. Ia merasa heran karena surat keluhan soal biaya administrasi dalam pembayaran setrum secara online tak sekali-dua muncul. Tak hanya di koran, keberatan pengenaan pungutan itu juga muncul di pojok diskusi maya, blog, situs jejaring sosial. Berhari-hari dengan keluhan yang sama.

Tim ini juga baru sadar ada komponen biaya itu di tagihan listrik rumah mereka. Lalu mereka memutuskan memverifikasi secara serius soal itu di tengah liputan lain yang sudah ditentukan waktu terbitnya. Verifikasi kepada orang bank dan orang dalam di PLN menghasilkan kecurigaan ada sesuatu yang salah dalam penerapan biaya admin listrik. Kita tak pernah tahu biaya ini karena tak dibahas bersama komponen tarif di DPR. Ujug-ujug ada dengan besaran yang sudah ditentukan.

Kecil, memang. Hanya Rp 1.500-Rp 8.000 per tagihan. Tapi kalikan jumlah itu dengan 40 juta pelanggan. Kemana uang publik itu mengalir? Siapa yang menikmatinya? Bagaimana pungutan itu bisa muncul? Kenapa pembayaran telepon yang juga melalui online tak dikenakan biaya administrasi?

Sederet pertanyaan itu menuntun pada beberapa orang sumber yang mengetahui riwayat pungutan ini dan menguak praktek kotor penilapan uang publik secara diam-diam. Kami menyebutnya korupsi legal, seperti ketika kami menelusuri penjualan mobil mewah melalui jalur diplomatik setahun sebelumnya.

PLN memberi privilege kepada sebuah perusahaan jasa online untuk mengelola pungutan ini bersama bank-bank yang ditunjuk. Perusahaan ini mengelola data pelanggan listrik tak melalui proses lelang. Pengelola perusahaan ini ternyata para pejabat atau bekas petinggi perusahaan negara itu. Yayasan PLN juga ternyata punya saham di perusahaan ini.

Alhasil, ini cerita yang sangat menarik. Apalagi ketika proses konfirmasi berjalan sumber-sumber di dalam PLN, perusahaan jasa, dan bank memberi keterangan berbeda-beda. Pemilahan informasi dari pelbagai sumber menunjukkan mana informasi bohong mana cerita yang betul-betul terjadi. Sebulan lalu tulisan yang terbit Januari 2009 ini menggondol Mochtar Lubis Award.

Seorang redaktur menyebut proses liputan investigasi seperti mengupas bawang: selapis-demi-selapis sampai ketemu intinya. Inilah yang membedakan liputan investigasi dengan liputan jurnalistik lainnya. Liputan investigasi ditulis secara mendalam, topiknya seringkali luput dari perhatian banyak orang, menyingkap hal tersembunyi atau disembunyikan, menghasilkan kesimpulan yang jelas tentang siapa yang bersalah, dan kebenaran yang disajikan bukan berdasarkan omongan orang tapi karena temuan fakta di lapangan.

Liputan investigasi berbeda dengan liputan tentang investigasi. Yang kedua, sumber ceritanya para penyidik yang memberi informasi tentang sebuah kasus yang sedang mereka tangani. Wartawan menceritakan bagaimana aparat hukum memproses sebuah kasus hingga ketemu terdakwanya dan bagaimana kasus itu terjadi. Ia tak menggali sendiri cerita dari sumber-sumber pertama, memilah, dan menunjuk siapa yang salah.

Liputan tentang skandal Watergate oleh dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, pada 1972 adalah reportase investigasi murni pada awalnya, sebelum para penyidik menelusuri kasus korupsi yang menjungkalkan Richard Nixon dari kursi Presiden Amerika Serikat. Dimulai dari liputan kasus pencurian dokumen di kantor Partai Demokrat di Gedung Watergate, penelusuran “Woodstein” sampai pada aliran dana untuk kampanye Nixon.

Karena sifatnya yang investigatif, liputan jenis ini seringkali membutuhkan teknik khusus. Misalnya, menyamar. Dalam liputan aborsi di Jakarta Februari lalu, tim Tempo harus menyamar untuk membuktikan rumah-rumah bersalin dijadikan tempat praktek aborsi. Cara ini ditempuh karena mendatangi klinik dengan mengaku wartawan tak menghasilkan cerita apapun.

Dalam dunia jurnalistik—di Indonesia maupun dunia—menyamar masih menjadi perdebatan dari sisi etika. Sebab prinsip utama kerja wartawan adalah akuntabilitas. Ia tak boleh berbohong kepada narasumbernya. Para wartawan harus menjelaskan posisinya sehingga orang yang diajak berbicara tahu omongannya akan dikutip dan muncul di media. Menyamar hanya jalan terakhir yang ditempuh karena tak ada pilihan lain.

Informasi off the record dan sumber anonim juga harus diperlakukan secara ketat. Informasi off the record harus dilihat dari motif orang yang menyampaikannya. Apakah kebenaran materi atau hanya sekadar fitnah belaka. Sumber anonim punya beberapa syarat: apakah si sumber orang yang menyaksikan sebuah peristiwa, saksi kunci, atau terancam keselamatannya jika identitasnya dibuka.

Woodstein mendapat petunjuk penelusaran kasus Watergate dari seorang yang diberi nama sandi Deep Throat—judul sebuah film semi porno yang sedang populer saat itu. Identitasnya baru terkuak pada 2005 ketika ia muncul di depan publik dan dikenalkan sebagai Mark Felt, Direktur FBI zaman Nixon. Petunjuknya yang sangat terkenal kepada Bernstein adalah: follow the money... Felt meninggal pada 2007.

Kemunculan Felt atas inisiatifnya sendiri menjawab kepenasaran publik. Tapi wartawan harus membuka identitas sumber anonimnya jika kelak terbukti si sumber menyampaikan sebuah cerita bohong dengan tujuan memfitnah. Karena itu sebelum wartawan setuju memuat ceritanya, ia harus memverifikasi cerita itu ke sumber lain dan mengonfirmasikan posisinya dalam kasus yang sedang ditulis.

Sebab tanggung jawab wartawan kepada publik karena ia menulis hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Publik berhak dan harus tahu bagaimana metode kerja wartawan sampai menghasilkan informasi yang mereka tulis. Dalam dunia demokratis, liputan jurnalistik bisa menjadi referensi bagi orang banyak untuk menentukan tindakannya.

Pada liputan aborsi kami menyiasatinya dengan jalan konfirmasi. Kami mengirim orang yang berbeda setelah wartawan yang menyamar menjadi pasien mendapat bukti beberapa rumah bersalin tempat praktek dokter terhormat dan terkenal di Jakarta melakukan aborsi. Kami beritahu bahwa orang yang datang itu wartawan. Kami memberi ruang para dokter dan bidan itu menyanggah cerita yang diperolehnya. Sebulan setelah liputan itu terbit, polisi menggerebek klinik aborsi yang kami tulis.

Meski dituntut bersikap skeptis, wartawan harus tetap mengedepankan sikap adil. Wartawan tak dibenarkan memvonis sikap narasumber sampai benar-benar ketemu fakta yang dapat ia pertahankan. Wartawan senior Goenawan Mohamad kerap mengingatkan bahwa “kebenaran ada di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka.”

Pada akhirnya, wartawan mesti mengingat aforisme Minke, seorang wartawan Medan Prijaji, dalam novel Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Anantar Toer seperti dikutip pada awal tulisan ini.

* Materi Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Nasional di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro, Lampung, 14 Agustus 2009
** Wartawan majalah Tempo

Bahan bacaan:

1. Winarno, Bondan. 1997. Bre-X : Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta
2. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel, 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
3. Gaines, William C., 2007. Liputan Investigasi untuk Media Cetak dan Siaran. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
4. Mohamad, Goenawan. 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo, Jakarta
5. Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Hasta Mitra
6. Kurnia, Septiawan Santana. 2003. Jurnalisme Investigasi. Yayasan Obor Indonesia