Thursday, December 11, 2014

BAHASA DAERAH DI MEDIA MASSA[1]


Bagja Hidayat[2]

PADA akhirnya Bahasa Indonesia adalah himpunan bahasa daerah, tak hanya bahasa Melayu yang menjadi akarnya ketika ditetapkan sebagai bahasa persatuan 86 tahun lalu.

Jika dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa dan Sunda yang paling banyak mempengaruhi bahasa Indonesia. Bahkan, dari lebih 6.000 bahasa di dunia, jumlah penutur bahasa Jawa menempati urutan ke-11.

Media massa adalah biang utama fusi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Setelah pidato-pidato pejabat tak lagi menguasai ruang publik, media massa mengambil alih peran itu dengan mempengaruhi cara bertutur dan menulis para pengguna bahasa Indonesia. Dan agaknya peran tersebut bukan tak disengaja, melainkan bagian dari upaya mendekatkan kata pada makna yang bisa dijumpai di sekitar penuturnya. Dengan sifatnya yang populer, teknik menulis di media massa sebisa mungkin dekat dengan para pembacanya.

Kosa kata bahasa Jawa dan Sunda kian lazim dipakai dalam percakapan dan bahasa tulis populer. Para sastrawan yang menghasilkan buku-buku berpengaruh tak lagi dimonopoli orang Minang, Riau, dan semenanjung Andalas yang menjadi tanah air bahasa Melayu. Jawa dan Sunda malah menjadi “pusat” para sastrawan modern.

Para penulis dan wartawan berupaya mendekatkan istilah dan bahasa asing dengan padanan yang terdengar lebih lokal. Pada 1971 para wartawan kesulitan mencari padanan “relax” dalam bahasa Indonesia. Tak ada padanan dalam kamus kecuali jurus mudah dengan menyerapnya menjadi “rileks”. Adalah Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu, yang mengenalkan “santai” sebagai padanan “relax”.

Waktu itu majalah Tempo menurunkan liputan gaya kerja para eksekutif perusahaan negara yang tak mesti datang ke kantor untuk mengendalikan perusahaannya. Mereka tinggal di Bogor padahal memimpin perusahaan gula di Medan. Wartawan Tempo ketika itu melukiskan bahwa “Di antara para direktur-direktur perusahaan negara, direktur pabrik gula yang paling bisa santai relaks.” [3]

Menurut Goenawan Mohamad[4], pemimpin redaksi Tempo waktu itu, “santai” adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, asal Bur Rasuanto. Ketika itu Goenawan—seorang aktivis, penyair dan penulis esai—meminta para penulis mencari padanan bahasa-bahasa asing yang populer karena sering diucapkan pejabat dan bintang film. Relax, kata dia, tak terlalu enak diucapkan dan bagi sebagian besar pembaca Tempo terdengar asing. Maka, demikianlah, relax pelan-pelan menghilang digantikan “santai”, apalagi setelah Rhoma Irama membuat dan menyanyikan lagunya enam tahun kemudian.

“Betot” adalah istilah baru di sekitar penemuan kata “santai” pada 1971 yang dipopulerkan Benjamin Sueib, seorang penyanyi Betawi paling tenar masa itu. Dalam lagu “Main Pandjat-Pandjatan” ia menyebut kata itu sebagai variasi “menarik” dengan makna yang lebih spesifik. Benjamin ingin menggambarkan adegan sseeorang ditarik lengannya oleh orang lain hingga terjatuh. “Betot” diterima sebagai bahasa lumrah ketika kata itu kian banyak dijumpai dalam cerita-cerita pendek Putu Wijaya, sutradara teater yang juga wartawan Tempo. Tak ada penolakan berarti dari khalayak karena selain dijumpai di Betawi, kata ini juga umum di kalangan orang Sunda.

“Cuek” kini juga menjadi lumrah sebagai bahasa pergaulan variasi dari “acuh tak acuh yang terdengar lebih formal. Majalah Tempo pertama kali menuliskannya pada 1987, mengutip penyanyi Henny Poerwonegoro di rubrik “Pokok Tokoh” tentang ketakpeduliannya dianggap anah bernyanyi sambil menggendong drum[5]. Kata ini “seangkatan” dengan “ngeceng” sebagai padanan “jual tampang” dan “nongkrong” yang umum dipakai anak-anak muda Jakarta yang hobi “mejeng” di lintas Melawai, Jakarta Selatan. Tahun-tahun itu, ekonomi Indonesia sedang stabil, anak muda menampilkan gaya dengan bahasa unik dan prokem yang diambil dari bahasa percakapan sehari-hari orang Betawi dan menjadi tren yang diminati para wartawan.

“Kabar burung” adalah istilah yang lebih tua dari itu. Pencetusnya adalah Oei Kim Tiang, penulis cerita silat tahun 1950-an yang tinggal di Tangerang. Burung di sana tak merujuk pada unggas, melainkan sebuah kata Sunda yang berarti “gila”, “sumir”, “tak jadi tumbuh”. Maka “kabar burung” = gosip, berita yang belum jelas kebenarannya.

Setelah itu kian banyak kosa kata bahasa Sunda yang menjadi umum dan diterima sebagai lema baru kamus Bahasa Indonesia. Kini tak ada yang tak tahu arti “ngabuburit” karena peran televisi yang mengkapitalisasi acara-acara ibadah agama Islam. Ngabuburit berasal dari kata burit yang artinya sore/petang/senja. Awalan “nga” sama dengan “me” dalam bahasa Indonesia yang berarti “menjadikan sore” dengan merujuk pada kegiatannya. Maka “ngabuburit” adalah kegiatan menunggu berbuka puasa.

Ketika Lebaran, kita pun akrab dengan kata “mudik”, pulang ke kampung halaman. Agaknya, kata ini hanya merujuk pada kepulangan secara bersamaan orang-orang yang merantau di kota ke tempat kelahirannya, yakni kampung. “Pulang kampung” di luar bulan Syawal hanya disebut “pulang” saja. “Mudik” sudah menjadi kata dasar yang dicomot dari kata “udik” yang berasal dari Betawi—barangkali karena Jakarta sebagai ibu kota diidentikkan dengan perantauan. Arti sebenarnya adalah Selatan, berlawanan dengan “ilir” (utara), atau hilir yang menjadi muara sungai, karena laut adanya di Utara Jakarta. Mungkin karena daerah Selatan Jakarta dulu adalah perkampungan. “Mengudik” pelan-pelan meluluh menjadi tinggal “mudik”.

“Jangkung”, “buru-buru”, “boro-boro”, “kabur, “lumrah”, “tapak”, “baheula”, “keukeuh”, “tanjakan”, “tawuran”, “gering”, hingga “amburadul” yang sudah dipakai orang Sunda jauh sebelum Ruth Sahanaya—penyanyi asal Maluku—mempopulerkan lewat lagunya, kini lumrah sebagai bahasa Indonesia. Sebentar lagi mungkin kata “blusukan” akan masuk kamus karena sudah diterima dan menjadi umum sejak Joko Widodo menjadi tokoh paling banyak diberitakan dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012. Setelah menjadi presiden, ia “mematenkannya” menjadi e-blusukan, yakni pertemuan virtualnya dengan masyarakat di banyak tempat.

Blusukan dipahami sebagai pengganti “sidak”, bahasa khas Orde Baru yang merupakan akronim “insfeksi mendadak” pejabat negara memeriksa pekerjaan anak buahnya. Meski dalam bahasa Jawa kata blusukan mengandung makna tersesat, di era Jokowi kita menerimanya sebagai turni pejabat ke bawah. Maknanya positif karena lahir di era pejabat negara umumnya tak paham situasi dan kondisi pekerjaannya di lapangan. Blusukan menjadi tenar karena pemimpin yang melakukannya dianggap merakyat.

Beda dengan “wacana”, “retorika”, “pencitraan” yang maknanya menyempit akibat kampanye dan saling serang dalam politik, blusukan telah memuai dan menemukan makna baru yang dibawa oleh Jokowi lalu dipopulerkan media massa. Dalam bahasa, evolusi makna hal yang lumrah karena dalam kata dan bahasa selalu ada makna dan definisi yang tak tertampung.

Dan agaknya media massa menjadi salah satu acuan dalam menyusun kamus, salah satu ciri sebuah bahasa besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia sudah dicetak dalam edisi keempat dan berisi 90.000 lema, dari edisi sebelumnya yang hanya 78 ribu. Selain padanan istilah bahasa asing, terutama bahasa Internet karena perkembangannya yang pesat kini, bahasa daerah turut menyumbang lema dengan jumlah terus bertambah, baik diksi, frasa, maupun ungkapan dan peribahasa. Lema-lema tersebut masuk ke dalam kamus karena telah populer dan telah umum dipakai para wartawan.

Dan agaknya antara media massa dan ungkapan serta diksi populer saling melengkapi. Wartawan mencatat apa yang digunjingkan masyarakat, publik memakainya ketika bahasa tersebut sudah beredar luas melalui media massa. Sebab tak hanya diksi yang saling mempengaruhi, bahasa daerah juga bisa dilacak jejaknya dalam struktur bahasa Indonesia di media massa. Saya akan membahas terutama pengaruh struktur bahasa Sunda, suku asal saya, dan bahasa-ibu.

Dengan sejarah feodalisme yang panjang di Jawa dan Sunda, struktur bahasanya menjadi pasif. Susunan kalimat dalam bahasa Sunda seringkali menghilangkan subjek sebagai bagian dari sopan-santun, mengutamakan predikat agar maksud bisa langsung tertangkap. Dan struktur pasif memungkinkan apa yang diucapkan dan dituliskan memenuhi tujuan itu. “Kalimat pasif itu aman,” kata Stephen King, penulis Amerika, yang berbahasa-ibu Inggris.

Mungkin benar, meski kalimat pasif tak menggugah. Maka dalam bahasa Sunda kalimat paling frontal pun akan tersusun seperti ini: “gebug sia ku aing” (pukul kamu oleh saya). Menjadikan kalimat tersebut aktif akan terdengar aneh dan tak lazim: “aing gebung sia” (saya pukul kamu). Tak lazim karena menampilkan subjek di depan akan terdengar sombong. Lihatlah, ketika membentak pun orang Sunda tak bisa adigang adigung. Maka Kabayan dicitrakan orang yang tak bisa marah. Bahkan Abah yang setiap hari rungsing oleh ulah menantunya menunjukkan kemarahan dengan cara yang lucu.

Bahkan dari banyak jenis "jatuh" dalam bahasa Sunda--dengan makna yang sangat spesifik--semua berbentuk pasif. Tisoledat, tiseureuleuk, tigatruk, tijalikeuh, dan seterusnya, mengandung makna bukan karena kelalaian manusianya yang menyebabkan ia terjatuh. Sebab kejatuhan adalah benda-benda yang menyebabkannya: batu yang salah tempat, lantai licin, dst.

Jenis-jenis jatuh dalam bahasa Sunda ((Sumber: Anonim)

Ketakfrontalan itu berimbas pada diksi. Bahasa Sunda tak punya padanan untuk kata “cinta”. Orang Sunda menunjukkan cinta tidak dengan kalimat “aku cinta kamu”. Cinta dimaknai sebagai kata kerja yang menampilkan gerak tubuh dan perasaan. Paling banter, orang Sunda akan mengatakan, “Abdi bogoh ka anjeun” (Saya suka kamu), “Abdi sono ka anjeun” (Saya kangen kamu). Tak ada kata yang menghimpun dan mewakili semua perasaan itu, seperti dimiliki kata “cinta”. Barangkali karena mengatakan “aku cinta kamu” terlalu langsung dan tak menunjukkan perasaan yang sebenarnya.

Struktur dan diksi bahasa Sunda pun sangat berpengaruh pada struktur bahasa Indonesia kemudian, meski tak ada data berapa banyak orang Sunda yang menjadi wartawan.

Di sebuah persimpangan di Kebayoran Baru ada poster di sebuah toko “Menerima Pesanan Krei”. Siapa penerima dan siapa pemesan krei? Kalimat ini seolah aktif padahal pasif karena subjek dan objeknya hilang. Jika dimaknai sambil-lalu, makna kalimat tersebut adalah pemilik toko suka menadah krei yang dipesan orang lain entah di mana. “Kalimat lengkap iklan itu adalah “Saya menerima pesanan krei”. Dan ini pun masih rancu karena kata “pesanan” di sana kata benda. Maka yang ingin disampaikan penjual dalam iklannya itu adalah: “Saya menerima pemesanan krei”.

Di Koran Tempo ada judul berita “Everton yang Merisaukan Arsenal”[6]. Everton dan Arsenal adalah dua klub sepak bola Liga Inggris. Sekilas tak ada yang keliru dari kalimat tersebut. Ketika membaca judul tersebut saya meyangka bahwa Everton sedang risau oleh (permainan) Arsenal. Setelah saya baca isinya, maknanya ternyata terbalik dari apa yang saya duga. Rupanya yang risau itu Arsenal karena permainan Everton sedang bagus. Konteksnya, peringkat Arsenal yang lebih tinggi, sementara Everton klub menengah. Jika Everton terus bermain bagus, posisi Arsenal di empat besar bisa tergeser. Dengan arti seperti itu, nyatalah, kalimat tersebut ternyata kalimat pasif, bukan aktif meski kata kerjanya “merisaukan”.

Kalimat-kalimat seperti itu akan merancukan bahasa Indonesia dan menelingsut makna yang ingin disampaikan penulisnya. Benar bahwa setiap kalimat mengandung konteks, sehingga maknanya terikat pada konteks tersebut, namun membiarkan keambiguaan dengan makna yang mendakik cenderung mencelakakan. Jika kalimat tersebut diaktifkan, maka judul berita tersebut akan menjadi “Arsenal Risau Permainan Everton”. Lebih langsung, lebih kena. Hikmahnya adalah berpikir pasif itu mencelakakan.

Dari contoh “krei” dan “Everton” tadi terlihat bahwa bahasa Indonesia membuka ruang ambigu seperti itu sehingga peluang salah paham antara pembawa pesan dan penerimanya kian menganga. Beberapa waktu lalu ada anak sekolah dasar mendapat nilai 0 dalam ujian pengetahuan sosial karena hanya menjawab “benar” dan “tepat” di setiap pertanyaan. Ia memahami petunjuk soal secara letterlijk: Jawablah setiap soal dengan BENAR dan TEPAT. Cara menjawab seperti itu mengingatkan, lagi-lagi, kepada Kabayan yang tidur di bak mandi ketika Abah menyuruhnya MENGISI kulah. 

Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang hidup, setelah melewati kaidah baik dan benar. Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang menggugah, karena itu media massa disebut juga “media pembentuk opini publik”, dan menghibur. Bagaimana bisa ia menghibur jika sulit dipahami, alot, dan goyor? Memakai struktur kalimat yang ambigu tak hanya menyerimpet maknanya tapi juga menyesatkan. Padahal, rukun jurnalistik adalah “jelas” dan “jernih”.

Salah satu penopang “kejelasan” dan “kejernihan” itu adalah terhindar dari kesalahan menulis. Bagi orang Sunda, menulis memerlukan kewaspadaan yang berlebih. Setelah mengaktifkan kalimat pasif dalam pikirannya, seorang orang Sunda ketika menulis dalam bahasa Indonesia mesti pula mewaspadai kekacauan bentukan baru terutama kata serapan dari bahasa asing. Orang Sunda tak bisa melafalkan huruf “F” secara spontan.

Cadel ini anehnya melanda satu suku. Orang Sunda yang mempelajari bahasa asing pun masih terdengar kacau ketika melafalkan kata yang mengandung huruf “F”, “X”, “V”, “Z”. Dan pengaruhnya besar sekali. Di media massa, media sosial, poster resmi pemerintah, buku-buku, masih sering kita jumpai orang menuliskan “aktifis” padahal semestinya “aktivis”. “Napas” ditulis “nafas” atau “aktivitas” ditulis “aktifitas”. Kesalahan itu barangkali karena ada ketakutan yang tersembunyi tertukar menempatkan huruf “F” dan “V”. Dan kesalahan ini menular kepada orang dari suku nonsunda.

Struktur bahasa yang pasif mengakibatkan bahasa Indonesia penuh dengan eufimisme, karena ia aman dan sopan. Kita memaklumi makna bahasa yang tak terucapkan secara verbal. Yang paling kentara tentu saja kita dapatkan dalam perilaku politikus. Hingga hari ini kita tak tahu apakah dari hati nurani paling dalamnya Joko Widodo punya keinginan menjadi presiden. Ia tak pernah mendeklarasikan keinginannya itu bahkan setelah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, membuat maklumat pencalonannya. Jokowi patuh ketika ia disebut “petugas partai” dan menjalankan tugas itu.

Begitulah sopan-santun politik di Indonesia. Sebab mengumumkan keinginan berkuasa itu sebuah aib dan dosa dan tak akan disukai publik. Sejak dari Solo, Jokowi tak pernah menyatakan keinginannya menjadi Gubernur Jakarta, hingga ia kini jadi presiden. Maka orang yang mendeklarasikan keinginan berkuasa tak akan mendapat suara banyak. Yusril Ihza Mahendra, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, terpental dari pertarungan politik pemilihan presiden, karena sejak awal mendeklarasikan diri menjadi presiden. Bahkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini segera dicap sedang mencitrakan dirinya sebagai pejabat yang berhasil untuk mengincar kursi yang lebih tinggi ketika ia benar-benar bekerja memakmurkan kotanya.

Barangkali ini akar dari kesimpulan Richard D. Lewis ketika menyebut bahasa Indonesia adalah bahasa yang ambigu dan tak cocok sebagai bahasa diplomasi dalam bukunya, When Cultures Collide. Kemenduaan itu kian diperparah karena bahasa Indonesia modern kini berkiblat pada struktur bahasa Inggris, bahasa asing yang paling banyak dipelajari orang Indonesia. Menurut Lewis, bahasa Inggris juga punya struktur ambigu dengan humor kering. Saya menduga kecocokan keduanya karena latar politik kedua negara yang sama-sama berawal dari kerajaan yang hubungan antar pengguna bahasanya terbentuk antara “gusti-kawula”. Bagi orang Indonesia sangat jamak tertawa setelah berbuat salah.

Maka cocoklah pertautan itu: penutur bahasa Indonesia terbesar adalah suku Jawa dan Sunda yang cenderung eufimistik berserikat dengan acuan bahasa Inggris yang ambigu. Bahasa Melayu pun yang tak punya undak-usuk tergerus menjadi banyak tingkatan yang melahirkan homonim dan polisemi. “Anda” itu terlalu formal, sementara “kamu” terkesan bahasa pergaulan dan merendahkan. “Saya” (dari kata sahaya) itu terasa sopan ketimbang “aku” yang meninggikan diri.

Dalam bahasa percakapan, yang kekeliruannya disebarkan dengan suka cita oleh para wartawan, kata ganti itu acap kacau dalam pemakaiannya. “Kita sudah laporkan itu kepada presiden,” kata seorang menteri, sering dikutip mentah-mentah oleh wartawan, padahal yang melapor ia sendiri dan mungkin para stafnya dalam sebuah rapat. “Salam sejahtera untuk kita semua” sering terdengar diucapkan orang yang berpidato. Bagaimana bisa ia mengirim salam untuk juga dirinya sendiri? Di Jawa Barat, kata ganti “kita” bahkan dipakai untuk menyebut “kamu”, agar tak disebut kurang ajar.

Karena bahasa adalah kesepakatan, jika hal-hal seperti ini dibiarkan akan menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang kacau karena tak setia pada kaidah. Bahasa Indonesia mungkin bahasa yang paling mudah dipelajari oleh orang asing. Diduga karena keterangan dalam kalimat-kalimatnya tak memerlukan keterangan waktu dan durasi seperti bahasa Inggris, atau setiap kata tak memiliki kelamin seperti bahasa Jerman. Tapi karena strukturnya goyor itulah bahasa Indonesia sering rancu dan tak mudah dipahami bahkan oleh bangsanya sendiri.

Bogor, 9 November 2014





[1] Makalah untuk Seminar Bahasa Daerah dan Media Massa di Universitas Atmajaya, 11 November 2014
[2] Wartawan majalah Tempo
[3] Gula : Tak Selalu Manis, Tempo, 12 Januari 1971
[4] #kelaSelasa, Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media Massa, dan Teknik Menulis Berita (2014)
[5] Bernostalgia dengan The Singer. Tempo, 11 April 1987
[6] 8 Desember 2013

No comments: